Kegagalan Terbesar Seorang Muslim

Kamu pernah jatuh dalam hidup? Bukan hanya jatuh secara fisik. Tapi hidupmu yang terasa begitu berat, tidak semangat, dan mungkin tidak tahu harus melakukan apa lagi.

Terjatuh bukan hanya dialami oleh yang kecewa karena gagal mencapai suatu hal. Bahkan bagi orang yang sudah mencapai banyak hal juga bisa merasa jatuh dan kecewa. Dia merasa belum melakukan apa-apa, sedangkan orang lain dilihat sudah melakukan banyak hal. Padahal dia sendiri sudah melakukan dan mencapai banyak hal.  Sibuk melihat orang lain, tapi lupa melihat diri sendiri. Apresiasi diri, ini yang kerap orang lain abaikan.

Pernah suatu hari, saya berdiskusi dengan seorang teman yang entah sedang atau pernah terjatuh. Pertanyaan saya saat itu sederhana.

“Terus apa treatment-mu untuk meningkatkan apresiasi diri?”

“Baca Quran? Aku tahu ini kedengeran nggak nyambung. Tapi kayak apresiasi Allah terpenting banget buat aku.”

Saat saya membaca jawaban dari seorang teman ini, saya paham. Tapi paham pada saat itu hanya baru sampai pada pikiran, belum sampai pada perasaaan. Belum benar-benar merasakan. Apa kaitannya apresiasi diri dengan membaca Al-Quran?

***

Sebagai manusia, wajar bagi kita gagal. Manusiawi. Terima saja. Tapi tahukah apa kegagalan terbesar seorang manusia, terlebih lagi seorang Muslim? Gagalnya memahami bahasa Al-Quran. Padahal sehari-hari kita beraktivitas dengan Al-Quran. Dalam shalat, dalam bacaan. Bahkan harusnya kita juga sadar bahwa gagalnya kita memahami pedoman hidup adalah kegagalan terbesar dalam hidup. Al-Quran adalah pedoman hidup kan?

Kenapa kita gagal memahami bahasa Al-Quran? Semua itu bermula dari cara pandang.

Cara pandang yang mungkin selama ini kita pakai adalah bahwa ayat Al-Quran itu berbicara untuk orang lain. Untuk mereka para pendosa, untuk mereka para nabi, untuk mereka yang nun jauh di sana. Padahal sejatinya, cara pandang yang harus kita miliki adalah Al-Quran ini berbicara kepada diri kita masing-masing. Kepada dirimu, bukan dirinya.

“Sungguh telah Kami turunkan kepadamu sebuah Kitab (Al-Quran) yang di dalamnya terdapat peringatan bagimu. Maka apakah kamu tidak pernah mengerti?

(QS Al-Anbiya’ : 10)

Pasti kamu pernah saat membaca Al-Quran, dilanjutkan dengan membaca artinya lalu entah kenapa ayat tersebut begitu pas di hati. Seolah berkata “ayat ini gue banget.” Tentu itu sebuah pengalaman yang berkesan. Tapi seringkali kita hanya memilih ayat mana saja yang kita suka. Ayat lain seolah tidak relevan dengan hidup saat ini, lalu teabaikan begitu saja. Ya, inilah kekeliruan kita. Padahal ayat itu seluruhnya diturunkan untuk kita, tanpa terkecuali.

***

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Qur’an berbahasa Arab, agar kamu mengerti.”

(QS Yusuf : 2)

“Ya, Quran kan berbahasa Arab. Enak aja dong orang Arab bisa paham dengan Quran. Lah aku lahir sebagai orang Indonesia, nggak ngerti bahasa Arab. Wajar dong kalau nggak paham sama Quran.”

Bisa jadi ada yang berpikiran seperti itu. Mencari-cari alasan seolah menjadi kebenaran, padahal hanya pembenaran.

Apakah benar terlahir sebagai orang Arab adalah kunci agar memahami Al-Quran? Apakah benar fasih berbahasa Arab menjadi kunci utama agar memahami Al-Quran? Kalaulah alasannya begitu, kenapa pada zaman Rasulullah SAW masih banyak yang tidak mengikuti ajaran Islam, bahkan malah menentang dan berperang. Mereka bisa berbahasa Arab. Mereka tahu apa yang disampaikan melalui Al-QUran. Tapi kenapa tidak tunduk dan patuh? Ini adalah perihal hati, hati yang menerima.

Tentu kita tidak ingin menjadi penentang Al-Quran. Tapi kita juga tidak mau kan hanya menjadikan Al-Quran sebagai bacaan tanpa pemahaman? Masa sih hanya sebatas itu? Kita bisa mendapatkan hal lebih. Kita bisa berupaya lebih.

Tidak salah jika saat ini, berapapun usia kita saat ini, belum bisa memahami Al-Quran dengan hati. Tapi akan jadi masalah jika kita tidak peduli dengan usaha memahamkan diri dengan Al-Quran. Pertanyaannya, sudahkah kita peduli? Apa buktinya?

Bahkan visi kita harusnya lebih besar. Bukan hanya bagaimana diri lebih paham. Tapi bagaimana caranya 10 tahun lagi tidak ada pemuda Islam yang tidak paham dengan bahasa Al-Quran. Bukan hanya memikirkan, tapi juga mengambil peran. Tergerakkah kita bermimpi seperti ini? Coba tanya kepada hati sendiri.

***

Semakin canggihnya kehidupan, harusnya kita mampu semakin dekat Al-Quran. Karena apa? Karena ada banyak jalan dan alat  bagi kita untuk memahami Al-Quran. Tapi seringkali kita malah salah prioritas. Al-Quran hanya diperdengarkan sebagai murattal di kamar atau kendaraan sepanjang perjalanan. Al-Quran hanya dipelajari tajwidnya. Tentu hal tersebut penting, tapi hanya target sekunder. Lalu apa target utamanya? Paham dengan Al-Quran.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

(QS An-Nisa’ : 43)

Mungkin saat membaca ayat ini pikiran kita hanya sebatas:

“Mabuk itu ternyata diharamkan untuk dekat masjid ya.”

“Kalau nggak dapat air, ganti dengan tayamum.”

“Oh saya kan nggak mabuk, jadi nggak pas dengan ayat ini.”

Alhamdulillah jika kita dapat sesuatu dari ayat tersebut. Tapi coba rasakan lebih dalam. Maknai lagi lebih teliti. Ada redaksional

“janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid)”

Kita dilarang shalat dalam keadaan mabuk. Karena mabuk itu membuat diri tidak mengerti dengan apa yang diucapkan. Lantas bagaimana dengan diri kita yang selama ini membaca dan mengucapkan Al-Quran? Kita mungkin tidak mabuk, tapi kenapa belum paham? Ada yang salah dengan diri kita.

Jadi sekarang, kita harus apa?

***

Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.

(QS Al-Hadid 16)

Allah bertanya kepada kita, belumkah datang waktunya? Belumkah kita tergerak untuk mengingat Allah? Belumkah kita takjub dengan ayat Al-Quran? Belumkah kita berupaya untuk memahami Al-Quran? Allah bertanya, tidakkah kita menjawab ayat ini?

Allah juga mewanti-wanti, jangan sampai seperti orang dahulu yang hatinya keras. Nah, cara pandangnya harus diubah. Bukan berpikir “orang dulu itu hatinya keras ya”. Tapi berpikirlah “apakah hati saya begitu keras sehingga belum memahami bahasa Al-Quran.” Ingat, Al-Quran diturunkan untukmu, bukan untuknya. Coba lebih “egois” dalam memahami Al-Quran. Dahulukan nasihati diri sendiri, barulah peralahan orang lain.

Berbagai pertanyaan kontemplatif kita butuhkan untuk memahami ayat Al-Quran. Sehingga kelak, setiap ayat adalah life changing ayat.

“Sulit banget kayanya aku memahami bahasa Al-Quran. Hatiku sudah menjadi batu.”

Kita pendosa. Kita semua. Saya, kamu, dan mereka. Tak perlu saling membandingkan diri siapa yang lebih banyak dosanya. Itu tidak begitu penting. Tapi coba maknai ayat selanjutnya.

Ketahuilah olehmu bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran (Kami) supaya kamu memikirkannya.

(QS Al-Hadid 17)

Begitu mudah bagi Allah untuk menghidupkan bumi yang sebelumnya mati. Lantas apakah tidak mudah juga bagi Allah untuk menghidupkan hati yang sudah menjadi batu? Sangat mudah. Begitu mudah. Tentu jika kita berniat, berdoa, dan berupaya.

Mintalah kepada Allah. Mintalah. Apalagi kini bulan Ramadan yang diturunkannya Al-Quran. Harusnya interaksi kita lebih banyak dan lebih bagus kepada Al-Quran. Bagus jika bisa one day one juz. Tingkatlah lagi secara kuantitas, dan tentu kualitas. One day one ayat tafsir misalkan. Atau one day one ayat tadabbur yang pemaknaannya dituliskan sehingga diri sendiri dan orang lain merasakan manfaatnya. Adakah kita mempersiapkan upaya pendekatan diri kepada Al-Quran di bulan Ramadan ini? Atau hanya interaksi seperti biasa saja?

Apa upaya pendekatan kita kepada Al-Quran di bulan Ramadan ini? Carilah, temukanlah. Seperti halnya diri mencari seribu jalan untuk memperjuangkan impian, begitu pula harusnya kita mencari seribu jalan untuk dekat dengan Al-Quran. Semoga Allah lembutkan hati ini. Semoga.

Kita berharap agar kedekatan kita dengan Al-Quran ini bukan sebatas musim semi lalu berpindah menjadi musim gugur usai Ramadan. Kita berharap diri ini semakin hari semakin memahami bahasa Al-Quran. Perlahan semakin mendekat, perlahan semakin memahami. Semoga.

Berinteraksi dengan Al-Quran secara aktif, bukan hanya pasif. Bisakah kita? Semoga Ramadan ini menjadi momentum kebangkitan hati. Inilah saatnya bagi kita menjawab pertanyaan Allah.

Kembali ke jawaban seorang teman tentang apresiasi diri dengan membaca Al-Quran. Perlahan saya paham apa maksudnya.

Semoga kamu yang membaca ini juga ya. Doakan saya juga. Saling mendoakan agar kita lebih paham.

***

Tulisan ini adalah insight kajian Nouman Ali Khan untuk #MatrikulasiNAKIndonesia Kamu bisa menonton dua videonya di link berikut:

Begitu Pentingnya Memahami Al-Quran

Hati yang Terikat dengan Al-Quran

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *