Kecewa dengan PKS, Tapi …

Disclaimer di awal. Saya bukanlah kader partai. Walaupun pada beberapa pilihan, saya menitipkan suara ke PKS. Saat pileg kemarin misalkan. Pada tingkatan tertentu saya memilih PKS, sedangkan di tingkatan lain saya memilih partai lain. Saya sudah tuliskan di tulisan yang berjudul “Memilih Pemimpin Karena Apa?”

Jujur saja, saya kecewa dengan PKS atas beberapa keputusannya belakangan ini. Setidaknya karena tiga alasan.

Pertama, mulai dari yang terdekat. PKS Riau dan Pekanbaru tidak jadi mendukung Dr. Ikhsan yang merupakan Ketua Dewan Pakar PKS Provinsi Riau sebagai calon walikota. Padahal baliho beliau sudah bersebaran di mana-mana. Bahkan Ketua MPW PKS Riau, Ayat Cahyadi, sudah memberikan dukungan pada beliau.  Namun, bukannya menunjuk kader sendiri sebagai calon walikota. Yang diusung adalah Ketua DPD partai sebelah. Walaupun wakilnya dari PKS sendiri, yaitu anggota DPRD Provinsi Riau yang ketika pileg kemarin gagal terpilih untuk tingkat DPR RI.

Entah apa alasan DPW PKS Riau yang berlanjut ke DPP PKS tidak jadi memutuskan pilihan pada Dr. Ikhsan. Kalau soal kapasitas dan komunitas, saya yakin sudah terpenuhi. Mungkin kurang di isi tas. Bagi yang belum tahu dengan Dr. Ikhsan, silakan tonton video ini. Atas setiap masalah yang ada di Pekanbaru, beliau punya jawaban yang realistis.

Untuk menyikapi keputusan DPP PKS tersebut, Dr. Ikhsan sudah memberikan pernyataan yang terbagi dalam 8 poin utama. Silakan ditonton atau dibaca agar mengetahui bagaimana perjuangan beliau sosialisasi setidaknya selama 3 tahun belakangan ini. Apakah kelak beliau akan tetap maju atau tidak, entahlah. Semoga jalan yang terbaik untuk beliau dan Kota Pekanbaru.

Kedua, dukungan PKS ke Bobby Nasution di Pilkada Sumatera Utara dibandingkan petahana. PKS yang getol sekali menolak politik dinasti, tapi malah mendukung menantu presiden naik dari walikota ke calon gubernur. Padahal pada 2018 lalu, PKS mendukung Edy Rahmayadi di Pilkada Sumatera Utara yang kini maju kembali. Bahkan pada tahun 2020 saat Pilkada Solo, Gibran yang sebenarnya melawan calon boneka, sikap PKS adalah abstain. Tentu, pasti ada pertimbangan tersendiri dari PKS untuk mendukung Bobby dibandingkan Eddy. Namun, ya begitulah. Tetap sulit dipahami.

Ketiga, Pilkada DKI Jakarta. Inilah yang sedang panas-panasnya. PKS yang sejak 25 Juni sudah deklarasi mendukung pasangan AMAN (Anies Baswedan–M. Sohibul Iman) mulai beralih pilihan. Santer dihubungkan untuk masuk ke KIM Plus dengan tawaran menteri dan cawagub. Keputusan finalnya memang belum ada. Namun, inilah yang menjadi polemik.

Salah satu alasan yang membuat PKS mulai beralih pilihan adalah katanya tenggat waktu selama 40 hari bagi Anies Baswedan untuk meraih koalisi belum berhasil. Walaupun sebenarnya PKB dan Nasdem memberikan dukungan, tapi tanpa adanya SK dan surat rekomendasi, dukungan tersebut belum final. Anies sendiri mengaku tidak tahu menahu dengan tenggat waktu 40 hari itu. Karena memang batas waktu pendaftaran hingga 29 Agustus 2024. Entah siapa yang benar, tidak tahu juga. Namun yang pasti, sejak adanya deklarasi dan dukungan pasangan AMAN, Anies belum ada mendatangi PKS secara resmi. Bahkan baliho pasangan AMAN masih ada hingga kini di DPP PKS. Setidaknya hingga tulisan ini dipublikasikan.

Gara-Gara PKS Egois?

“Ini sih gara-gara PKS memaksakan calon wakil gubernurnya dari PKS. Makanya partai lain tidak ada yang mau jadi koalisi.”

Hei, kok senaif itu sih cara pikirnya. PKS adalah partai pemenang di DKI Jakarta dengan perolehan 18 kursi. Menyusul PDIP dengan 15 kursi, Gerindra 14 kursi, Nasdem 11 kursi, Golkar, 10 kursi, PAN 10 kursi, PKB 10 kursi dan menyusul partai lainnya. Dengan pencapaian suara tersebut, PKS pantas mendapatkan kursi di pilkada. Bukan hanya sebatas cawagub, bahkan cagub. Namun PKS tetap mendahulukan Anies Baswedan sebagai cagub.

FYI, di Pilkada 2007 terjadi persaingan PKS vs everyone. PKS partai tunggal mengusung Adang Daradjatun dan Dani Anwar melawan seluruh partai yang mengusung Fauzi Bowo dan Prijanto. Hasil akhir rekapitulasi perhitungan suara pun tidak jomplang. Fauzi Bowo dan Prijanto 2.109.511 suara (57,87%) sedangkan Adang Daradjatun dan Dani Anwar 1.535.555 suara (42,13%). Termasuk di Pilkada 2012, PKS tetap mengajukan kadernya sendiri dan menjadi partai tunggal yang mengusung Hidayat Nur Wahid dan Didik J. Rachbini.

Barulah di Pilkada 2017 lalu, PKS mengalah. Sebenarnya yang akan dimajukan adalah Sandiaga Uno dan Mardani Ali Sera. Namun kehadiran Anies Baswedan membuat PKS mengalah dan tetap legowo. Mardani Ali Sera pun menjadi ketua tim pemenangan Anies dan Sandi, dan menang. Bahkan Prabowo sendiri yang mengapresiasi bahwa panglima pemenangan Anies-Sandi adalah Mardani Ali Sera.

Belum cukup mengalah sampai di situ. Saat 2019 Sandiaga maju sebagai cawapres, kursi wagub harusnya untuk PKS. Sandi pun dengan tegas menyatakan, “Wagub untuk PKS, no more discussion.” Namun nyatanya, kursi wagub malah untuk Gerindra. Pun ketika akhirnya Gerindra memutuskan bergabung sebagai koalisi, PKS tetap setia berada di luar pemerintahan menjadi oposisi. Nyaris oposisi tunggal.

Sekarang, gara-gara kabar PKS akan mencabut dukungan terhadap Anies Baswedan, netizen pun murka.

“Good bye PKS. Ternyata semua partai sama aja.”

“Tanpa Anies, PKS tenggelam.”

“Menyesal sudah memilih PKS.”

Sebenarnya saya ragu. Mereka yang berkomentar seperti itu apakah benar-benar mendukung PKS? Atau hanya sebatas meramaikan saja? Entahlah, siapa yang tahu.

Sah-sah saja jika netizen kecewa. Saya pun sama. Namun, kekecewaan yang berlebihan tentu tidak bijak juga. Mengatakan bahwa tanpa Anies maka PKS akan tenggelam? Hei, lihatlah rekam jejak PKS sebelum mendukung Anies. Bahkan sebenarnya yang mendapatkan coattail effect tertinggi dari pasangan AMIN bukanlah PKS, melainkan Nasdem dan PKB. Datanya?

Di DPR RI pada 2019, Nasdem meraih 59 kursi, PKB 58 kursi, dan PKS 50 kursi. Sedangkan pada 2024, Nasdem meraih 70 kursi, PKB 68 kursi, dan PKS 53 kursi. Siapa yang lebih besar naik?

Bagaimana dengan DPRD Jakarta? Pada 2019, Nasdem meraih 7 kursi, PKB 5 kursi, dan PKS 16 kursi. Sedangkan pada 2024, Nasdem meraih 11 kursi, PKB 10 kursi, dan PKS 18 kursi. Siapa yang lebih besar naik?

Jadi, jika ada yang mengatakan suara PKS naik hanya karena Anies, atau bahkan PKS akan tenggelam jika meninggalkan Anies, mohon maaf, itu sepertinya berlebihan.

Ambang Batas yang Problematik

Begini. Dalam dukungan pilkada, ada batas ambang suara sebagaimana pilpres. Partai pengusung harus memiliki 20% suara. PKS tidak bisa mengajukan pasangan tunggal sebagaimana 2007 dan 2012 lalu. Di DKI Jakarta, suara PKS “hanya” 16,7%. Sedikit lagi untuk memenuhi ambang batas sebesar 20%. Ini pula yang terjadi di Pekanbaru dan Sumatera Utara. Tidak bisa mengajukan calon tunggal. Maka, yang seharusnya didesak bukan lagi PKS. Namun ketegasan dari PKB dan Nasdem. Tentu tidak adil rasanya saat Anies Baswedan yang dipasangkan dengan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, PKS langsung mendukung. Namun saat gantian meminta dukungan, PKB malah mengulur-ulur waktu. Pun begitu dengan Nasdem yang harusnya segera memberikan kejelasan. Bahkan jika mau ditelisik lebih jauh, yang harus dipertanyakan adalah kenapa ada begitu banyak pihak yang ngotot untuk menjegal Anies Baswedan maju di Pilkada DKI Jakarta? Bukannya malah membenturkan PKS dan Anies Baswedan.

Dengan perolehan suara dan kapasitas kadernya, PKS pantas untuk mengajukan kadernya di kontestasi Pilkada DKI Jakarta. Apalagi beliau adalah presiden partai pada masanya. Saya yang sebenarnya tidak mengenal betul siapa sosok M. Sohibul Iman, bisa mendapatkan banyak pencerahan dan berkualitasnya beliau dari obrolan di berbagai podcast. Simak saja dulu. Jangan hanya sebatas menilai sosok tanpa pernah mencari tahu. Bergelar Ph.D dari Jepang berduet dengan Ph.D dari Amerika Serikat. Canggih betul. Itu pun jika masyarakat ingin pemimpin yang cerdas.

Namun, begitulah masyarakat Indonesia yang kerap diremehkan dengan SDM rendah karena berbagai faktor. Mulai dari tingkat IQ rata-rata, tingkat kesopanan netizen yang rendah, hingga sistem yang membuat masyarakat tetap bodoh. Sebagaimana kontestasi politik lima tahunan. Banyak yang memilih serangan fajar dibandingkan caleg yang berkualitas. Bahkan banyak petahana yang tumbang gara-gara beberapa lembar uang dari pendatang. Dari kasus tersebut, kadang saya berpikir. Mungkin ada baiknya partai politik dibiayai oleh negara. Dengan begitu, ada batas dana kampanye yang digunakan oleh partai. Kemenangan tidak ditentukan oleh biaya pengeluaran. Bisa jadi saya benar, bisa jadi saya salah.

Kesalahan berpikir masyarakat lainnya adalah berpikir fatalis. Menyerahkankan nasib pada satu solusi tunggal.

“Anies adalah penyelamat Indonesia.”

“Khilafah adalah kunci kebangkitan umat.”

“Enggak nyunnah, enggak masuk surga.”

Berbagai pernyataan tersebut tentu keliru. Padahal ada banyak faktor lain untuk menentukan sebuah hasil. Tidak ada yang namanya satu solusi tunggal untuk setiap masalah. Bahkan syariat pun punya banyak pendekatan dan solusi. Apalagi hanya politik.

Atas keputusan PKS belakangan ini, jujur saja saya kecewa. Namun khusus yang terakhir, saya masih berharap keputusan yang ideal. Tetap mendukung Anies Baswedan dan tetap berada mengawal pemerintahan sebagai oposisi. Walaupun dulu di masa SBY saat menjadi koalisi PKS tetap garang terhadap pemerintahan. Namun untuk saat ini sepertinya oposisi masih menjadi harapan sebagian besar masyarakat.

Semoga ada jalan terbaik bagi PKS, Anies Baswedan, dan Indonesia ke depannya. Ngomong-ngomong, sampai sekarang saya masih penasaran. Kenapa sih berbagai cara dilakukan untuk menjegal Anies Baswedan? Ketua partai juga bukan, konglomerat apa lagi. Kok sampai segitunya ditakuti?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *