Kebahagiaan (Semu) di Tunangan dan Pernikahan

Sejak kepulangan ke kampung halaman, hampir setiap bulan saya mendatangi resepsi pernikahan teman. Jumlah yang lebih banyak dibandingkan saat dulu saya di Jakarta. Terlebih lagi di masa pandemi. Seingat saya, hanya satu pernikahan yang saya datangi. Teman di salah satu forum nasional, sekitar pertengahan Februari.

Menjelang akhir Februari saya pulang ke kampung halaman. Per awal Maret hingga kini, ada sekitar 6 teman dekat yang saya datangi resepsi pernikahannya. Itu teman yang memang saya kenal dekat karena memang satu sekolah ya. Kalau undangan lain seperti keluarga, saudara, kolega, rekan, atau pertemanan lain, entah sudah berapa.

Catatan yang saya tulis ini bukan ditujukan untuk menghakimi pernikahan yang saya datangi. Memang, tidak dimungkiri juga bahwa pernikahan yang saya datangi memberikan input atas tulisan ini. Lebih banyak lagi inputnya atas fenomena sosial, terutama yang terlihat di social media. Tapi sekali lagi, ini bukan tentang mereka. Ini adalah tentang kegelisahan atas apa yang saya lihat dan rasakan. Dan mungkin juga kamu mengalami hal yang sama. Apa itu?

Tunangan Rasa Akad

Entah fenomena ini sudah ada sejak dulu, atau menjadi budaya kekinian. Kini, tunangan serasa seperti akad. Diriaslah spot khusus dengan backdrop nama pasangan. Berpakaian seragam, bertukar cincin tanpa perantara, dan ditutup dengan foto mesra berdua. Ohya, tak ketinggalan ucapan:

“Dengan restu mama papa, saya terima lamaran darimu.”

Rangkaian agenda yang cukup teratur. Kalaulah di film-film, biasanya hanya memberikan cincin saat makan berdua, lalu keluarlah ucapan, “may you marry me?”

Resepsi Mewah

Mewah atau tidaknya sebuah resepsi, ya itu pilihan dari pasangan sendiri. Sesuai kantonglah. Kalau emang ada budget, pengeluaran untuk resepsi mewah adalah hal yang bisa dimaklumi. Akan jadi masalah kalau sampai hutang demi gengsi resepsi. Semoga itu bukan kita.

Sekali lagi, resepsi mewah sah-sah saja. Tapi sepertinya ada yang seringkali terabaikan di balik resepsi. Tidak perlu terlalu jauh membicarakan syariat agama. Karena suka atau tidak, sebagian dari kita enggan menjadikan syariat agama sebagai indikator utama sebuah pernikahan. Banyak alasannya. Mulai dari budaya, gengsi keluarga, atau memang minimnya ilmu yang dimiliki. Semoga Allah memberikan hidayah kepada kita semua.

Lantas apa lagi selain syariat agama? Ilmu. Sudahkah masing-masing dari pasangan menyiapkan ilmu tentang pernikahan dan keluarga? Sakralnya pernikahan memang dari ucapan akad. Tapi ingat, pernikahan adalah ibadah sepanjang usia. Tapi bukan berarti masanya yang panjang membuat kita tidak menyiapkannya dengan ilmu. Tidak bisa dengan alasan yang penting nikah dulu, belajarnya sambilan nanti.

Resepsinya mewah, ilmunya waduh.

***

Naik jabatan, deal project, dapat bonus. Semua itu, umumnya memberikan kebahagiaan. Tapi pastikah benar-benar memberikan kebahagiaan?

Bagaimana jika naik jabatan tapi harus menyikut kiri kanan?

Bagaimana jika deal project tapi harus menyogok pihak yang berkepentingan?

Bagaimana jika dapat bonus tapi dari hasil harta haram?

Apakah semua hal tersebut masih menjadi kebahagiaan bagi kita? Bukankah cara mendapatkan sama pentingnya dengan hasil yang didapatkan?

Begitu pula dengan tunangan dan pernikahan. Siapa coba yang tidak bahagia dengan hal tersebut. Salah satu momen hidup yang paling misteri dan dinanti akhirnya terjawab sudah. Dalam hati berkata, “Oh ternyata kamu orangnya.” Bahagia? Pasti. Tapi tidakkah kita menjadikan cara menuju hal tersebut sebagai hal yang sama penting?

Tunangan seperti another next level menembak seseorang untuk menjadi pacar. Bedanya saat ini direstui orang tua. Dilihat oleh mata kepala mereka dengan senyum bahagia.

Pernikahan mewah menjadi momen kebahagiaan bagi keluarga. Melepas tanggung jawab sang anak untuk mengarungi keluarga baru. Resepsi mewah menjadi saksi, sibuk untuk mencari saksi nikah dari tokoh bergengsi, tapi orang tua lupa untuk menurunkan ilmu pada anak yang dicintai. Pun ada ilmu, hanya modal pengalaman yang belum tentu benar. Tidak menjadikan agama sebagai panduan.

***

Tulisan ini tidak sedang men-julid-kan teman yang sudah menikah. Tidak sama sekali. Tulisan ini adalah catatan pengingat bagi saya pribadi dan mungkin bagi kamu yang belum mengalami momen itu.

Pun jika hal tersebut sudah terlewati, ya sudahlah. PR kita masih banyak. Akui hal tersebut sebagai kesalahan, bukan sebagai pembenaran yang harus dilestarikan. Mari katakan yang benar adalah benar, yang salah adalah salah. Sulit memang, tapi mari kita biasakan.

Akad nikah memang hanya sehari. Ucapannya hanya sekian menit. Tapi momen mempersiapkannya butuh waktu panjang dan ilmu yang tidak sedikit. Karena setelah hari itu, ada banyak PR yang harus diselesaikan. Bukan cicilan utang untuk resepsi. Bukan. Tapi sebuah pertanyaan yang harusnya sudah dijawab sebelum tunangan.

“Apa visi yang akan kamu perjuangkan bersama keluarga?”

Tidakkah pertanyaan itu penting untuk disiapkan?

Kita, karena terbiasa dengan hal-hal remeh yang sifatnya duniawi, tidak lagi menganggap penting hal ini. Padahal visi adalah energi. Visi adalah pegangan yang membuat kita menjadikan menikah bukan hanya “kewajiban” dua orang yang katanya saling mencintai. Alhasil, banyak keluarga yang tidak punya visi. Menjadi keluarga lemah dan mencetak generasi yang lemah. Padahal keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang kelak bisa berkontribusi bagi bangsa dan agama.

Kamu boleh saja tidak setuju atau tersinggung. Tapi kegelisahan ini memang harus saya tuangkan. Semoga itu bisa menjadi pemantik bagi kita untuk mencari solusi bersama.

“Ah kamu belum nikah, banyak omong doang.”

Karena belum menikah itulah harus dipersiapkan. Kan begitu logikanya. Saya pun menjadikan nasihat klise yang bernilai baik. Bahwa pernikahan bukanlah tentang cepat atau lambat, tapi di waktu yang tepat. Karena saya pribadi telah melihat banyak momen dari lingkaran pertemanan.

Ada yang menikah muda, tapi kini sudah berpisah.

Ada yang menikah muda, tapi gagap menjadi orang tua. Contohnya, menjadikan gadget sebagai pengganti kehadiran orang tua kepada anaknya.

Tapi ada juga yang menikah muda, siap dengan ilmunya, punya visi, walau memulai dengan ketidaksempurnaan.

Kita semua punya cerita. Mari kita petik makna sesama kita dengan sebaik-baiknya.

Tunangan dan pernikahan. Mari jadikan hal tersebut bukan hanya momen bahagia di dunia, apalagi hanya bahagia fana di social media. Tapi juga momen bahagia yang menjadi pemberat amal menuju surga.

Ini adalah PR bersama. Bukan hanya kepada dua sosok yang akan menikah. Tapi orang tua yang sadar akan ilmu agama dan menjaga anaknya dengan sebaik-baiknya. Menjadikan momen sehari dua hari sebagai contoh keteladanan bagi saudara dan kolega. Bukan hanya menjadikannya sebatas gengsi semata.

Untukmu yang menikah, selamat berbahagia. Semoga Allah lapangkan jalan agar masuk surga sekeluarga.

Untukmu yang belum, bersabarlah. Jika Allah bersama orang-orang yang sabar, bukankah itu sudah cukup bagi kita untuk bahagia?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *