Karena Instagram Reels, Mungkin Saya Berhenti Menulis

Baru-baru ini, pihak Instagram mengeluarkan pengumuman.

“Di Instagram, kami selalu berusaha membuat fitur baru yang membantu Anda memaksimalkan pengalaman. Saat ini kami berfokus pada empat bidang utama: Kreator, Video, Belanja, dan Perpesanan,” tweet akun @mosseri

Pesan utamanya, Instagram tidak lagi berfokus menjadi aplikasi berbagi foto, tapi video. Lantas, apa kaitannya dengan keinginan untuk berhenti menulis? Menulis kan bukan bagian dari video ataupun foto. Menulis ya lebih baik di blog. Begitu?

Jujur saja, di Instagram saya jarang sekali bikin konten dalam format video. Kecuali Instagram live ya. Repot aja gitu. Bahkan ketika fitur reels mulai rilis, saya agak kesuliltan untuk posting konten pertama kali. Padahal sudah banyak content creator lain yang bikin hal serupa.

Memang, pada dasarnya konten video, foto, gambar, desain, atau apa pun itu dimulai dari menulis. Mungkin tidak menulis kata demi kata, tapi menulis ide. Harus ada gambaran umum ingin bikin konten seperti apa. Dan jika ide itu dituangkan dengan kata demi kata, tentu akan lebih mudah untuk memprosesnya menjadi olahan selanjutnya. Walaupun tidak semua kreator menggunakan cara tersebut.

Saya adalah penulis. Sukanya ya nulis. Bukan bikin vlog, desain, voice over, atau cara berkarya lainnya. Bisa sih sebenarnya. Tapi yang nyamannya ya tetap menulis. Menuangkan kata demi kata.

“Bukannya jika kita mengubah bentuk ide dari tulisan menjadi konten lain lebih berpeluang untuk meluaskan distribusi kebaikannya?”

Saya setuju dengan pendapat ini. Begitulah yang dilakukan oleh influencer dan content creator lain kan? Tapi untuk prinsip ini, saya sependapat dengan Saihul Basyir. Penulis buku Kun Bil Qura’ni Najman dan alumni 30DWC. Saat Ngobrol Bareng Mentor di Instagram live, ada pesan menarik yang simpulkan.

“Karena kekuatan hati itu ada di konten kata. Jika suatu hal disingkat-singkat tapi mengurangi makna, yang kita sasar hanyalah disukai pembaca, bukan menyampaikan pesan utama.”

Jawaban itu didapat saat saya iseng bertanya tentang kontennya di Instagram dan di buku. Tidak seperti para influencer atau content creator lain yang fokus pada tata letak dan keindahan visual. Basyir memang fokus pada pesan utama. Bergizi tanpa menggurui. Di buku, tidak ada keindahan tata visual, tapi tetap nyaman dibaca karena pembawaannya yang mengalir. Di Instagram, tidak ada konten seperti microblog, carousel, one minute booster, atau konten kreatif lain. Cek saja. Apakah Basyir tidak bisa bikin konten kreatif? Saya rasa bisa saja. Tapi dia tidak ingin berfokus pada itu. Dia ingin berfokus pada pesan, bukan kemasan.

Mungkin ini unpopular opinion, tapi layak dijadikan perenungan. Terutama bagi para da’i milenial yang berkarya di social media. Menjaga niat itu berat. Apakah selama ini bikin konten demi follower atau demi menyampaikan pesan Allah? Tujuannya untuk membesarkan nama diri atau nama Allah? Jawabannya bisa dilihat dari konten yang dibuat, kecenderungan, dan kejujuran hati yang menjawab. Jawab saja tanpa perlu mencari pembenaran. Kalau memang karena Allah, maka angka yang turun bukanlah hal yang menyedihkan. Dipuji tidak terbang, dihina tidak tumbang.

***

Kembali ke fitur reels. Jadi harus bagaimana? Apakah mengikuti tren atau menjaga idealisme dalam berkarya sukanya gimana?

Begini.

Dalam berkarya, ada dua pihak yang tak bisa dilepaskan. Siapa saja? Pekarya dan penikmat karya. Jika kita berkarya hanya untuk dinikmati diri sendiri, sayang saja rasanya. Kita harus tetap bisa melihat penikmat karya agar karya kita bisa lebih luas manfaatnya. Maka tepat sekali pesan dari seorang teman beberapa tahun yang lalu.

“Jika kamu hanya menulis untuk diri sendiri, kamu egois. Tapi jika kamu menulis hanya untuk orang lain, itu omong kosong. Maka menulislah untuk diri sendiri dan orang lain.”

Dari pesan tersebut, ilustrasi sederhananya begini. Ada value pekarya yang ingin disampaikan. Ada kebutuhan audiens yang harus dipenuhi. Cari irisan dari dua hal tersebut, dan berkaryalah di sana.

Reels hanyalah fitur. Boleh diikuti, boleh juga tidak. Tapi kalau tidak dikuti, nanti ketinggalan dong?

FOMO. Fear of missing out. Takut ketinggalan tren. Banyak sekali yang merasakan seperti ini. Saya pun kadang juga merasakan hal serupa. Capek juga kalau semuanya harus diikuti. Tapi ada hal sederhana yang penting untuk dilakukan agar tetap semangat berkarya dan meminimalisir rasa insecure. Apa itu? Melihat milestone di masa lalu untuk mengapresiasi diri. Menjawab sebuah pertanyaan, saya sudah bikin apa?

Saya pun melihat perjalanan berkarya khususnya di Instagram. Milestone apa yang sudah saya lakukan?

  • #AskRezky : Konten QnA seputar kepenulisan. Bermula dari kebosanan untuk menjawab pertanyaan yang serupa berulang-ulang, akhirnya saya bikin konten di Instagram. Jadi kalau ada pertanyaan serupa, saya tinggal kasih link itu aja. Udah lebih dari 50 konten. Kalau dijadiin buku, oke kali ya.
  • #ReviewRezky : Bukan meresensi buku. Saya berbagi perspektif tentang kesan dari membaca sebuah buku. Membedah konsepnya dan menceritakan di Instagram. Harapannya agar pembaca bisa menangkap bagaimana proses pembuatan buku ini dan menduplikasikannya secara kreatif jika ingin menulis buku.
  • #MeetRezky : Bertemu dan berbagi cerita. Tokoh publik, expert di bidang tertentu, atau sosok sederhana yang bermakna. Kira-kira begitulah kategori yang saya ceritakan di Instagram. Harapannya, apa yang kami diskusikan plus pemaknaan saya dari pertemuan bisa bermanfaat bagi pembaca. Tak bertemu secara tatap muka, tapi pesannya bisa kita nikmati bersama
  • @InsightKajian : Saya bikin akun khusus sebagai catatan kajian yang diikuti di tahun 2018. Bermula dari story Instagram personal, lalu seorang teman merekomendasikan untuk bikin akun khusus. Saya bikin deh. Jadi tuh catatan digital dari kajian. Semoga bisa jadi pengingat bagi sesama.
  • #NGANTOR – Ngobrol Bareng Mentor: Konten ini ada dua versi sebenarnya. Di tahun 2020, saya menantang diri untuk mengajak 30 orang Instagram live bareng membahas kepenulisan. Memang tidak semuanya penulis buku. Tapi tetap ada perspektif menarik seputar kepenulisan yang saya dapatkan. Di tahun 2021 saya mencoba untuk melakukannya lagi dengan tamu yang berbeda. Kali ini yang diundang adalah alumni 30DWC. Karena itulah nama programnya Ngobrol Bareng Mentor. Konsepnya adalah 30 Instagram Live Challenges. Baik di tahun 2020 dan 2021, 30 orang sudah diundang dan sebagian besar saya tulis insightnya dalam bentuk microblog.
  • #30HariMenulisPalestina : Saya menulis konten ini bersamaan dengan 30DWC jilid 30. Berusaha untuk menantang diri bukan hanya sebagai mentor, tapi juga turut serta menulis dan menjadi Fighter. Sebagian peserta 30DWC jilid 30 terlibat dalam tantangan ini. Explore saja tagar tersebut di Instagram, itulah tulisan mereka. Saya pun alhamdulillah berhasil menembus 30 hari. Ohya, bagi kamu yang ingin ikutan 30DWC jilid selanjutnya, silakan daftar saja di sini

Ternyata lumayan banyak juga ya ide kreatif yang saya bikin di Instagram dengan konsep dasarnya menulis. Lantas apakah hanya karena fitur reels hadir dan lebih dinikmati banyak orang lalu saya berhenti menulis?

***

Menulis adalah satu aktivitas yang bisa dihubungkan dengan aktivitas lain. Profesi penulis pun aktivitasnya bukan hanya menulis dengan cara menuangkan kata. Kreatif dan adaptif adalah kunci untuk berkarya di dunia digital. Tapi apakah harus mengikuti semua arus?

Banyak memang penulis yang adaptif di dunia digital. Saya sebutin beberapanya ya.

  • @alfialghazi dengan konsep microblog dan quote.
  • @risalah_amar storytelling dalam konsep microblog
  • @edgarhamas dengan konsep quote dan ekspansi kebaikan berfokus sirah di @gen.saladin
  • @iqbalhape dengan sticky notes dan proses kreatifnya berkarya.
  • @kurniawan_gunadi yang sampai sekarang masih menulis di Tumblr dan di aktif QnA di Instagram story.
  • @azharnurunala menulis sajak di Instagram dan blognya di com
  • @fahdpahdepie menulis panjang bersambung di kolom komentar tentang gagasan dan opininya.
  • @indra.sugiarto penulis buku yang aktif menulis microblog dan TikTok
  • @fellexandro aktif menulis #BelajarBerkaryaBerbagi di Instagram, bikin Youtube dan podast, plus nulis buku You Do You
  • @alvisyhrn menulis dengan variasi microblog dan bedah karya di reels. Plus punya partner bertumbuh @ardhimd
  • @kartinifastuti penulis plus desainer yang mengembangkan sayap kebaikan dengan platform lain seperti @temancerita.official
  • @qooonit yang mendeskripsikan diri sebagai penulis #cintalewatcerita aktivis @baikberisik , dan pegiat media @smart_171
  • @fiersabesari mendeskripsikan diri dengan menulis, bermusik, merekam, berkelana. Lihat saja kontennya, sangat menggambarkan. Salah satu referensi utama anak indie, penikmat senja, pecandu kopi.
  • @js_khairen penulis yang bikin konten dengan mesin tik, bercerita kehidupan penulis, dan aktif juga di reels. Btw kami pernah sepanggung dulu. Saya tulis insightnya di Berkaryawan atau Berkarya.

Ada banyak lagi penulis lain yang adaptif di dunia digital. Mungkin kamu juga punya rekomendasi. Tambahi aja di kolom komentar ya.

Tapi adakah penulis yang tidak begitu adaptif di social media? Banyak. Tere Liye misalkan. Setahu saya sih aktif banget dan sering viral di Facebook. Di Instagram, dia bikin konten yang biasa banget. Saya nemu akun @tereliyewriter Tapi kalau saya perhatikan, sepertinya dia menggunakan social media sebagai bahan riset. Cek aja. Sepertinya sih begitu.

Baca juga:

Perspektif, Insight Penting bagi Penulis yang Saya Dapatkan dari Kurniawan Gunadi

10 Jam Bersama Azhar Nurun Ala, Inilah 10 Insight yang Saya Dapatkan darinya

***

Jadi gimana? Pengen berhenti nulis? Hmm, tidak dong. Karena social media dan berbagai fitur hanyalah tools. Pengen dipakai, ya silakan. Jika tidak, ya tidak masalah. Life must go on. Poin pentingnya adalah bisa mendefinisikan ingin menjadi penulis yang seperti apa. Kalau kata Gary Vee,

“Start making content for what you want to be known for, not for what you think will get the most likes.”

Saya, Rezky Firmansyah mendefinsikan diri sebagai “your partner to be writer.” Saya ingin menjadi teman bertumbuh dengan jalur konsultan kreatif penulis. Ilmu, pengalaman, dan perspektif yang saya miliki harapannya bisa menjadi jalan bertumbuh bagi calon penulis lain. Salah satu jalannya adalah 30DWC yang sudah berjalan sejak Oktober 2015. Bismillah, akan ada banyak program kreatif lainnya.

Berhenti menulis? tidak dong.

Keep writing and inspiring!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *