Belakangan ini viral anak muda dari Lampung yang mengkritik pejabat setempat. Kuliah di luar negeri, tapi mengkritik kampung halamannya. Apa akibat dari kritikannya? Mulai dari intimidasi keluarga, hingga ancaman kepada si pengkritik. Anda pasti sudah tahu dengan kasus ini kan? Tokoh publik kok antikritik?
Atas fenomena yang terjadi, kita tidak bisa melihat sebatas hitam dan putih saja. Sebagai manusia biasa, tokoh publik di Lampung wajar gerah dengan cara anak muda tersebut menyampaikan kritikannya. Namun posisi yang dikritik adalah pejabat sebagai tokoh publik yang mana kritikan adalah makanan sehari-hari yang dibutuhkan. Maka mengintimidasi bukanlah pilihan bijak. Tokoh publik kok antikritik?
Bima Yudho Saputro namanya. Kini dia sedang berkuliah mengambil jurusan program Diploma Pemasaran Digital, Komunikasi Digital dan Media/Multimedia di Australian College of Business Intelligence. Katanya, cara yang dilakukannya dengan kata-kata yang frontal bahkan kasar tersebut adalah strategi sendiri dalam menyampaikan kritikannya. Walaupun begitu kritikan yang disampaikannya adalah fakta. Menurutnya jika disampaikan secara santun, saran dan kritikannya tidak akan didengar. Ada benarnya juga sih. Toh buktinya viral dan ada tindak lanjut langsung atas kritikannya. Namun, kritikan “tidak beradab” tidak bisa dinormalisasi.
Sama halnya dengan opsi pemimpin. Pilih yang santun tapi korupsi atau suka berkata kasar tapi tidak korupsi? Pilihan yang dilematis kan? Padahal kita bisa memilih yang santun dan tidak korupsi. Jika belum ada, siapkanlah pemimpin yang seperti itu. Setidaknya, mulailah menjadi sosok seperti itu. Intinya, jangan dinormalisasi.
Bagi penyampai kritik, perlu dibiasakan untuk menyampaikan dengan santun. Bagi si penerima kritik, terlebih tokoh publik, biasakanlah diri untuk tidak terjebak pada kemasan pesan. Jangan antikritik. Jangan menunggu harus santun, dimuliakan, dipuja-puji dulu baru mendengar. Sebaiknya tidak begitu. Kritikan dengan kemasan apa pun, terima saja. Fokus pada esensinya. Karena memang posisi tokoh publik tidak bisa disamakan dengan posisi personal.
Sebenarnya tokoh publik bukan sebatas pejabat. Tokoh publik adalah siapa saja yang pekerjaannya tak lepas dari interaksi sosial. Entah itu ASN, polisi, TNI, anggota DPR, penceramah, karyawan, dan sepertinya memang siapa saja. Saya yang menulis dan Anda yang membaca sudah sewajarnya untuk membiasakan mindset tadi. Menyampaikan dengan santun, menerima dalam kemasan apa pun.
***
“Coba kasih review tadi gimana?”
Begitulah permintaan singkat dari seorang profesor. Malam itu beliau mendapat kesempatan untuk mengisi kajian di salah satu masjid. Saya yang hadir menyimak pun diminta untuk memberi feedback, bukan review. Pendapat berupa masukan dan kritikan, bukan ringkasan ulang. Saat bertemu tatap muka, saya sampaikan apa yang sudah baik dan apa yang perlu diperbaiki.
Setelah feedback diberikan, beliau membalas melalui chat. Dimulai dengan catatan feedback dan berlanjut dengan pesan,
“Evalusi merupakan suatu tahapan pembelajar. Sudah memberikan materi kemudian ada proses evaluasi. Apakah audience terpenuhi akan informasi yang disampaikan?”
Melihat jawaban beliau, saya sungguh takjub. Profesor yang rendah hati untuk menerima pendapat orang lain atas penampilannya. Padahal saya mah apah dibandingkan status sosial beliau.
Di lain kesempatan saat masih di Jakarta, saya sering hadir secara fisik di kajian seorang ustaz yang skalanya sudah nasional. Pernah punya program khusus di televisi juga bahkan. Sesi kajian virtual pun sering saya datangi. Bahkan beberapa kali kali beliau mengajak saya makan siang selepas kajian. Yang membuat saya takjub adalah, seringkali beliau bertanya.
“Apa feedback-nya tadi?”
Jujur saja, saya nyaris tidak melihat celah atas penyampaian beliau kepada jamaah. Pembawaannya memang bukan seperti orator. Pembawannya tenang dan selalu mencoba untuk menyelipkan inspirasi dan perspektif yang segar. Bisa jadi, sosoknya yang rendah hatilah yang membuat pesannya tersampaikan ke hati pendengarnya.
Terbuka untuk menerima kritikan dan nasihat adalah sesuatu yang mahal pada masa kini. Karena ada banyak orang yang sulit sekali menerima masukan. Entah karena status sosialnya yang lebih tinggi, merasa punya ilmu lebih, usia yang lebih tua, pengalaman yang lebih matang, dan banyak faktor lebih lainnya. Banyak kelebihan tapi berdampak negatif karena menutupi peluang pertumbuhan diri.
Di lain kesempatan, saya pernah diskusi dengan seorang ustaz. Beliau sampaikan begini.
“Semakin sering kita bicara, biasanya semakin sulit bagi kita untuk mendengar. Karena itulah belakangan ini saya sengaja mengurangi intensitas ceramah.”
Jujur saja, saya kagum sekaligus bingung dengan pendapat beliau. Satu sisi, saya kagum dengan kerendahan hatinya. Namun satu sisi, saya juga bingung. Penyampaian beliau jika ceramah sangat bergizi. Jika orang seperti beliau jarang bicara, bukan tidak mungkin malah “ceramah kosong” yang semakin banyak di kalangan masyarakat.
Mohon maaf, tapi itu bisa kita rasakan. Ada berapa banyak kita menyimak “ceramah kosong”. Materi yang disampaikan itu lagi-itu lagi. Tekstualis dan dekskriptif. Tak ada perspektif baru yang diberikan. Hanya memperbanyak tawa tapi minim makna. Tak jarang malah merendahkan saudara lainnya. Dan mohon maaf, tak jarang penceramah seperti ini berfokus pada amplop. Bukan peningkatan kapasitas diri sebagai seorang dai atau pemahaman jamaah. Maka jangan heran penceramah yang seperti ini disindir oleh bapak-bapak di warung kopi,
“Penceramah itu cuma CERitA MAHal.”
Seorang ustaz yang blusukan di warung kopi mendengarkan sindiran itu secara langsung dengan telinganya. Bisa jadi beliau tersinggung. Namun begitulah adanya. Penceramah seharusnya bukan menjadi pencerita mahal, tapi menjadi pencerah.
Sindiran sekaligus kritikan yang didengar langsung dari lapangan. Sebuah kesempatan yang bisa menjadi sarana nasihat dan perubahan ke arah kebaikan. Jika kita cukup rendah hati untuk mendengar dan menerimanya, percayalah akan banyak pintu kebaikan lain yang terbuka.
Dalam kesempatan lain, seorang ustaz memberikan ceramah tentang filosofi cermin dan nasihat. Ceramah tersebut diawali dengan hadits:
“Seorang mukmin adalah cermin bagi saudaranya. Jika dia melihat suatu aib pada diri saudaranya, maka dia memperbaikinya.” (HR Abu Hurairah)
Cermin bagi mukmin yang lain bermakna dua hal:
- Fisik yang terlihat dengan mata.
- Maknawi yang tidak terlihat dengan mata, tapi bisa dirasakan.
Bagaimana caranya menjadi cermin yang baik bagi saudara lainnya?
- Menampilkan bentuk secara halus. Sampaikan dengan kalimat baik dan paling mudah.
- Menampilkan saat di depan cermin. Bukan menceritakan pada orang lain
- Menampilkan gambar yang jernih. Tanpa dilebih-lebihkan dan niat yang ikhlas
Sebagai pemberi nasihat, cara ini sangat baik untuk dibiasakan. Namun sebagai pendengar, bukalah hati dan telinga. Seburuk apa pun kritikan dan nasihat disampaikan, jika pesannya benar, terimalah.
Dalam sebuah tulisan di ranahriau.com ada potongan kalimat yang menarik.
“Tidak ada istilah ‘kritik yang membangun’, karena sesungguhnya istilah tersebut hanya mencoba untuk mengaburkan makna penyampaiannya. Kritik yang disampaikan dengan penyebutan ‘kesantunan’ justru akan semakin tidak diperhatikan dan bukan disebut kritik, melainkan nasihat.”
Benar juga pendapat tersebut. Seringkali menghalus-haluskan kritikan membuat maknanya berkurang. Dan sebaliknya, kritikan yang disampaikan secara blak-blakan lebih terdengar jelas apa maksudnya.
Salah satu bukti keimanan adalah saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Tentu bukan hanya menasihati, tapi juga mendengarkan nasihat. Tokoh publik jangan antikritik. Ustaz jangan sulit menerima nasihat. Untuk penyampai kritikan dan nasihat, mari sampaikan dengan cara sebaik-baiknya. Cara baik bukan sebatas santun. Intinya, jangan menormalisasi kata-kata kasar.
Jadilah penyampai pesan yang baik sekaligus pendengar yang baik.
One thought on “Tokoh Publik Jangan Antikritik”