Banyak fenomena yang terjadi di negeri ini berefek pada mengacaukan standar kepemimpinan yang seharusnya kita yakini. Tidak percaya? Banyak contohnya.
- Jadi pemimpin negara nggak mesti jago ngomong bahasa asing
- Jadi pemimpin yang bicara kasar lebih baik asalkan nggak korupsi
- Kualiatas agama bagi pemimpin nggak penting-penting amat
Coba cari narasi lain. Kamu pasti dengan mudah menemukan. Narasi yang seolah dibenar-benarkan tapi sebenarnya menyesatkan. Tanpa sadar, ghazwul fikr masuk perlahan.
Sejujurnya belakangan ini saya kesal melihat kondisi negeri ini. Termasuk tingkah laku petinggi negeri. Banyak tingkah konyol yang sulit saya maklumi. Mulai dari kabur ketika wartawan bertanya, nanyanya apa jawabnya apa, politisi tanpa adab dengan yang lebih tua, apa lagi? Ah, kamu pasti bisa dengan mudah menemukan.
Yang terbaru? Ada politisi yang menuduh kasus Novel Baswedan adalah rekayasa. Dosen UI (entah beneran ngajar atau nggak) yang bikin coretan wajah Anies Baswedan seperti Joker. Hingga penangkapan para aktivis oleh aparat, eh tapi yang menyebar hoax dibiarkan. Dan lucunya lagi, kasus semacam ini hanya jadi perhatian khusus pihak sebelah. Pihak sebelah lain sibuk nyari celah lawan politiknya. Tidak percaya? Ya coba tanya sama kubu sebelah tentang BPJS naik, pelemahan KPK, janji pertumbuhan ekonomi, biaya pindah ibukota dan masih banyak isu lainnya.
Baca Juga :
Adab Politisi, Drama Menteri
Bukan Urusan Saya
Apa yang Harusnya Kita Perjuangkan
Belum lagi isu radikalisme yang didramatisasi seolah menjadi isu terbesar di negeri ini. Narasinya pun konyol. Digaungkan oleh menteri pula. Duh.
Dari KZL menjadi MLZ. Ya mungkin itulah respon wajar melihat kondisi terkini negeri. Melihat apa yang terjadi, kita pun seolah terbuai dengan standar kepempinan yang harusnya kita perjuangkan. Standar kepemimpinan yang kita perjuangkan untuk ada di negeri, dan juga ada bagi diri sendiri.
Internet dan social media jadi biang keladinya. Satu sisi, social media menjadi percepatan informasi. Bagi para “politisi”, bisa menjadikan social media sebagai alat untuk memoles citra diri. Bagi yang benar-benar berjuang untuk negeri, bisa menyebarkan kebaikan-kebaikan hingga pelosok negeri. Tapi kita lupa suatu hal penting. Social media membuat perhatian kita dalam mengenali sejarah berkurang. Kita seolah terpaksa untuk memaklumi apa yang terjadi kini, termasuk standar kepemimpinan. Jawaban pragmatis yang sering digaungkan adalah, “itu kan dulu. Sekarang nggak bisa lagi seperti itu.” Hmmm.
Guru saya pernah berpesan. Insight pesannya begini.
“Kalau kita nggak bisa mencapai suatu standar, ya jangan standar itu yang dihapus. Tapi usahanya dinaikin, hasilnya juga dinaikin. Tentu doanya juga. Standar itu ada sebagai batas minimal pencapaian kita. “
Sekarang begini. Kita punya standar kebenaran yang sudah ada sejak 14 abad lalu. Termasuk di dalamnya standar kepemimpinan. Rasulullah SAW yang mengajarkan. Tapi, karena kondisi terkini seolah tidak memungkinkan seperti kondisi zaman dahulu, akhirnya kita mengurangi bahkan menghapus standar itu. Memaklumi apa yang terjadi sekarang. Ya sudahlah. Begitu nada pesimisme yang dikeluarkan.
Mari kita flashback sejenak di masa pemilu 2019. Pilihan hanya ada dua. Jokowi dan Prabowo. Sejujurnya, saya enggan untuk menyebutkan bahwa dua sosok ini adalah dua putra terbaik di negeri ini. Ya gimana ya. Celahnya terlalu banyak. Tidak perlu saya sebutkan detail. Karena barisan massa yang kuat dan kantong yang tebal, hingga akhirnya ya sosok inilah yang bermunculan dengan proses yang panjang, dan tentu saja mahal. Pertanyannya, apakah tidak ada putra terbaik lain yang kualitasnya lebih dibandingkan mereka berdua? Jelas, banyak. Tapi tidak semuanya bisa dan “boleh” melewati proses yang panjang dan mahal itu. Ya, tak perlulah rasanya saya jelaskan alasannya apa.
Maka narasi realistis yang paling pas bagi saya saat memilih presiden kemarin adalah, bukan tentang siapa yang lebih baik. Tapi siapa yang mudaratnya lebih kecil. Hasilnya, ya sudahlah.
Apa yang terjadi adalah fakta. Dan fenomena seperti inilah yang membuat idealis kita terkikis.
“Ya nggak papa deh pemimpin kayak begitu. Yang penting dia baik. Kerja, kerja, kerja. Yang penting merakyat.”
Ops kita lupa suatu hal penting. Merakyat itu penampilan atau kebijakan?
Tanpa sadar, kita mencari-cari pembenaran. Melawan kubu sebelah tapi lupa ada banyak PR yang harus kita selesaikan bersama-sama. Tapi ya begitu. Menjadi oposisi bukan pilihan yang mudah.
Standar kepemimpinan kita mulai kacau. Tapi bukan berarti kita harus menghapus standar yang diterapkan untuk pemimpin negeri dan tentunya untuk diri sendiri. Bukankah Rasulullah SAW adalah suri tauladan terbaik? Lantas, sudah seberapa jauh kita mengenali sosoknya? Bagaimana kepemimpinannya bagi diri sendiri, keluarga, sosial, hingga menjadi pemimpin negeri? Sudah tahu belum? Jangan-jangan kita lebih banyak tahu pemimpin kekinian melalui social media.
Pertanyaan penutup. Sudah berapa kali kita melewati Maulid Nabi? Tapi sudah berapa jauh kita mengenali sosok nabi? Cintai dengan mengenali, bukan hanya sebatas shalawati. PR bagi kita, apalagi bagi saya.