“Bumi ini seperti buku.
Siapa yang tidak menjelajahi berarti hanya membaca satu halaman.”
Kutipan ini saya dapatkan dari sebuah buku yang saya baca kemarin. “Merantau, Tinggalkan Zona Nyamanmu!” karya Rio Alfajri.
Menarik memang pertemuan saya dengan buku ini. Saya kenal penulisnya ketika berkunjung ke UNPAD Jatinangor. Kalau tak salah Mei 2015. Udah lama sih. Dan ini adalah karyanya yang kedua, mungkin. Buku yang masih disampul plastik lemari rumah ini langsung saya ambil dan baca. Pas untuk jadi referensi buku selanjutnya. PPAP, Pulangnya Pemuda Anak Perantau. Maksa sih. Tapi intinya ya tentang perantau.
Merantau ini memang menarik. Merantau juga ada kaitannya dengan hijrah. Berpindah secara fisik. Bisa juga dikatakan berkelana. Karena dengan berkelana kita bisa membaca lebih banyak halaman dari sebuah buku yang bernama bumi.
Membuka pikiran atas perbedaan yang kita lihat di perjalanan kehidupan. Inilah yang masih menjadi PR besar bagi kita. Kali ini saya tak berbicara tentang globalisasi. Saya mengambil bagian tentang persatuan. Persatuan umat islam lebih tepatnya. Islam as unity.
Hijrah berarti berpindah. Berpindah dari buruk ke baik. Dari enggan sholat menjadi menanti sholat. Dari hidup yang kosong menjadi hidup yang berisi. Dari yang pacaran menjadi SAH, Sudahi Atau Halalkan.
Anak muda pun sedikit banyaknya terkena juga “virus” hijrah ini. Dengan berkembangnya kajian dimana-mana. Pembelajaran islam di berbagai media. Tak kalah juga, banyak anak muda yang sadar bahwa hidup harus bervisi menembus akhirat.
Hijrah. Sungguh indah memaknainya. Siapa yang tak mau hijrah coba. Seorang perempuan misalkan. Yang dulunya berpakaian apa adanya, kini menutup seluruhnya. Dari celana jeans ke gamis syari. Dari jilbab menutup leher menjadi menutup dada. Dari galau menunggu pacar menjadi siap untuk menikah. Indah bukan?
Sungguh hijrah adalah sebaik-baik perpidahan. Tapi ada fenomena unik yang tak jarang ditemui dari proses bernama hijrah. Aku berubah dan kamu melakukan bid’ah. JEDER!
Bid’ah, apa itu bid’ah?
Ah, saya tak mumpuni untuk menjelaskan secara detail apa itu bid’ah. Termasuk juga bid’ad hasanah. Biarkan para guru yang lebih paham untuk menjelaskannya. Tapi ada nasehat menarik dari seorang guru.
“Jika engkau sudah membid’ah seorang saudaramu, maka engkau sudah memasukkan dia ke dalam neraka. Karena setiap bidah adalah sesat, dan sesat itu letaknya di neraka.”
Nasehat yang patut direnungi kembali. Ngeri juga. Memasukkan saudara seiman dalam neraka.
Tapi ini fakta loh. Lihat saja ada banyaknya orang yang hijrah, menjadi lebih baik. Tapi sayang sekali dengan mudah menganggap perkara bid’ah. Padahal itu bukanlah perkara ushul (batang). Melainkan masalah furu’ (cabang). Perkara yang para ulama pun setuju dalam perbedaan pendapat. Tak hanya memaksakan satu pendapat. Karena setiap pendapat ada dalilnya.
Ngeri loh dengan mudah membid’ahkan saudara seiman. Saya sendiri enggan membid’ahkan sesama saudara seiman. Apalagi perkara perbedaan pendapat seperti maulid, yasinan, isbal, dan ada masih banyak lagi.
“Maulid nabi itu bidah!”
“Isbal itu letaknya di neraka!”
“Yasinan itu budaya hindu!”
Tunggu dulu, tunggu dulu. Kenapa dengan mudah membid’ahkan? Apalagi mohon maaf, baru belajar agama. Baru saja hijrah.
“Ya emang harus begitu. Bukankah hijrah harus totalitas?”
Tentu saya setuju bahwa hijrah itu totalitas. Tapi perlu ada prioritas dan kebijaksanaan. Sekarang mari bertanya, apa tanda seorang hijrah? Dari yang dulunya pacaran menjadi tak pacaran? Saya setuju. Dari yang dulunya asik nonton drama korea menjadi mendengar kajian? Saya setuju. Dari yang celananya dibawah mata kaki menjadi cingkrang? Ops, saya tak setuju.
Berbeda pendapat tentu pastinya ada dalil yang menguatkan. Bukan hanya isbal. Ada banyak hal lainnya. Jujur saja saya enggan untuk menanggapi ini (lagi). Silakan baca 37 Masalah Populer karya Abdul Somad LC, MA. Setiap perbedaan pendapat yang disertai dengan dalil yang menguatkan.
“Ah saya tak percaya itu. Hijrah itu harus totalitas. Itu bid’ah. Aku harus istiqomah!”
Maaf, maaf sekali lagi. Tentu diri ini tak punya hak atas kemana engkau hendak pergi. Itu jalan hidupmu. Tapi izinkan diri ini mengulang kembali nasehat sebelumya. Sudikah engkau memasukkan saudara seiman dalam neraka dengan mudahnya berucap bid’ah?
Sungguh sedih hati ini ketika terjadi perang saudara seiman dalam perkara bid’ah atas nama khilafiyah. Padahal masih ada banyak PR besar umat ini. Perang pemikiran, kristenisasi, kriminalisasi ulama. Tak bisakah kita bersatu dalam ukhwah? Tak bisakah kita sadari bersama, siapa musuh kita sebenarnya? Kalaulah hanya ini yang kita perselisihkan, maka percayalah musuh Islam yang sesungguhnya akan tertawa.
Tonton Video di sini > Dr Musthafa Umar Lc, MA – Musuh Islam Tertawa
Mengulang nasehat di awal. Merantaulah agar kelak engkau bisa melihat halaman buku yang lain. Agar tahu bagaimana kondisi umat terkini. Bukan hanya sekedar teori ataupun kajian di tempat tertentu saja.
Mengaji dan berinteraksi dengan banyak golongan. Inilah yang harus kita lakukan agar benar bisa mengerti kondisi umat ini. Saya pun mencobanya perlahan. Di perantauan, saya tinggal di lingkungan NU. Sedikit banyaknya saya mengadopsi kontribusi Muhammadiyah. Saya punya teman dan sering membaca buletin HTI. Belajar dengan metode Tarbiyah. Punya panutan di Jamaah Tabligh. Bahkan dengan Salafi yang dianggap bukan ormas atau kelompok dakwah, di kampung halaman saya belajar di masjid yang sama. Dengan ini saya belajar, untuk melihat dari berbagai sisi. Bukan membenarkan diri sendiri. Membuka halaman baru. Bukan hanya halaman pendahuluan saja.
Kita harus belajar lebih banyak. Terutama saya yang masih minim kontribusi pada umat. Belajar pada Masjid Jogokariyan yang berhasil memberdayakan jamaah masjid. Belajar pada Beli Indonesia yang mengkolaborasikan kekuatan umat dalam menggerakkan ekonomi masyarakat. Belajar pada Aksi Cepat Tanggap yang rela pergi ke daerah tepian dan konflik untuk menyelamatkan umat. Atau bahkan yang terkini, belajar pada Spirit 212 yang rela dituduh juru fitnah, anti NKRI, dan pemecah Bhineka Tunggal Ika. Lah saya, ngapain aja?
“Pokoknya itu bid’ah. Bid’ah itu sesat, dan sesat itu di neraka. Aku akan pegang pendapat ini seperti menggigit dengan gigi geraham”
Oke, bagaimana dengan ini.
Seorang da’i yang pergi ke pedalaman yan masih minim sentuhan Islam. Mengisi celah kebaikan yang para da’i lain lebih memilih pergi ke perkotaan dan nyaman di sana. Dia lebih memilih untuk ke pedalaman lalu memanfaatkan maulid nabi untuk menyampaikan kisah nabi. Apakah ini bid’ah bin sesat bin masuk neraka di saat lebih banyak da’i yang nyaman di perkotaan?
Sekelompok anak muda yang belajar berdakwah. Di saat tahun baru ada banyaknya maksiat yang bertebaran. Lalu mereka berinisiatif untuk melakukan muhasabah dan iktikaf di masjid. Karena mereka tidak hanya ingin menyelamatkan diri sendiri, tapi juga menyelamatkan saudara seiman dengan cara yang “mudah diterima”. Lantas apakah ini dianggap modifikasi agama yang menjadi bid’ah bin sesat bin masuk neraka?
Ada banyak contoh kasus lain yang bisa kita cari di kehidupan sosial ini. Lihatlah sekeliling. Masih banyak celah kebaikan yang belum terisi di saat satu titik kebaikan sudah terpenuhi. Bahkan melimpah.
“Akhi, kita ini sudah di akhir zaman. Tak ingatkah engkau dengan perpecahan umat islam menjadi 73 golongan dan hanya 1 golongan yang selamat. Maka itu kita harus menjauhi bid’ah.”
Sekarang, mari kita tanyakan kembali pada diri ini. Lantas sudikah engkau pergi ke pedalaman untuk berdakwah pada mereka yang masih telanjang? Apa solusi dari engkau ketika anak muda bermaksiat di jalan selain mengatakan tahun baru itu haram? Apa solusinya? Apa kontribusi yang bisa engkau berikan selain ucapan “Bidah,! Haram! Kafir!”
Saya kembali teringat dengan pesan seorang guru.
“Saya ini bukan mengajak manusia ke jalan Allah. Bukan karena saya masjid ini jadi ramai. Yang mengajak ke jalan Allah itu adalah mereka. Mereka yang pergi ke terminal bus untuk mengajak orang sholat. Mengajak calo tiket yang bertato untuk ke masjid. Mengetuk pintu tetangga untuk sholat berjamaah.”
Sungguh begitu mulia dakwah mereka. Lantas dengan mudah kita mengatakan firqoh mereka sesat?
Saudaraku seiman. Memang ada banyak perbaikan yang di sana sini dalam kondisi umat ini. Kondisi negara ini makin menyedihkan. Kriminaliasi para ulama, sang tersangka dilindungi mati-matian, dan adu domba antar umat pun dimunculkan. Lantas masihkah kita menyibukkan diri dengan perbedaan pendapat yang para ulama pun setuju untuk berbeda?
Apakah prinsip dakwah itu selalu “bid’ah itu sesat, dan sesat itu di neraka”. Apakah solusi yang engkau berikan hanya bersabar dan berdoa dalam kezaliman? Apakah solusi yang engkau berikan yang penting keluargaku aman dan aku berlndung saja di masjid?
Saudaraku seiman, Sungguh umat islam adalah puzzle. Kita hidup untuk saling melengkapi. Saling merangkul bukan memukul. Masuk surga bersama, bukan hanya satu golongan dakwah saja.
Puzzle mana yang hendak engkau isi? Puzzle sebagai garda terdepan layaknya FPI yang dianggap sebagai provokator? Layaknya bercocok tanam, mereka berani mengambil kontribusi sebagai pemusnah hama di saat orang lain lebih memilih sebagai menanam benih? Atau hendak menjadi puzzle di parlemen untuk memperjuangkan hak-hak umat islam bahkan kebaikan universal di saat para pengkhianat negeri ini memperjuangkan komunis dan liberalisme? Atau engkau hanya menjadi penonton dari puzzle yang menyatu ini. Atau engkau hanya ingin membentuk puzzle dari golongan yang sependapat saja? Begitukah?
Bukan hanya tentang kita yang baru saja hijrah. Bagi kita yang sudah lama hijrah ataupun masih menunggu waktu yang pas untuk hijrah, jangan malah memusuhi mereka yang baru saja hijrah. Ada proses dan progress. Ada preman yang baru tobat lantas dicap dosa besar ketika bacaan Quran masih keliru. Ada perempuan yang baru belajar menutup aurat, lantas dibilang telanjang ketika dia masih memakai jilbab dan celana. Janganlah seperti itu. Hargai mereka, rangkul mereka. Karena kita pun pernah berada di posisi itu.
Mendahulukan ukhwah dalam dakwah. Wahai saudaraku seiman, sadarilah siapa musuh kita sebenarnya. Lantas masih sibuk membid’ahkan?
Tulisan ini adalah curahan hati tentang kondisi terkini umat dan negeri ini. Jika engkau setuju, silakan berbagi. Jika tidak, maaf saya sudah selesai. Saya tak ingin lagi memperpanjang masalah cabang dalam agama ini. Saya hanya hamba bodoh yang terlihat pintar beretorika. Hanya pendosa yang tertutup aibnya. Tapi saya berharap, semoga Allah meridhoi setiap apa yang saya lakukan. Dan juga pastinya, terhadap engkau dan kita perjuangkan untuk bangsa dan agama ini. Aamiin.