Hasil SBMPTN:  Lulus atau Tidak, Tetap Alhamduilllah

Tahun 2012, tepatnya 9 tahun yang lalu, saya lulus dari SMA.

Tahun 2015, 6 tahun yang lalu, saya menulis refleksi tentang kelulusan SBMPTN dalam 2 tulisan.

Kini tahun 2021. Saya ingin mengulang kembali memori itu dengan perspektif yang disempurnakan. Semoga bisa mencerahkan.

Apa kabar diri setelah 9 tahun lulus SMA? Sebagian besar dari teman saya di akhir-akhir masa SMA-nya berjuang begitu ekstra demi meraih kampus impian. Saya? Pilihan saya beda sendiri. Mereka rajin belajar, saya malas belajar. Beneran.

Boleh dikatakan, sekolah saya pada masa SMA adalah salah satu sekolah terbaik di Riau, SMAN Plus Provinsi Riau. Didirikan oleh para tokoh Riau dan gratis untuk fasilitas asrama. Dua tokoh tersebut adalah Saleh Djasit (Gubernur Riau pada masanya) dan alm. Syarwan Hamid (Menteri Dalam Negeri periode Habibie). Tapi entahlah. Apakah saya layak disebut sebagai alumni yang baik dari sekolah ini.

Mari flashback masa SMA.

Semester 1 SMA, saya bisa meraih 5 besar. Coba tebak, kira-kira bagaimana 5 semester selanjutnya?

Naik ke 3 besar? Juara umum? Prestasi membawa nama baik sekolah? Tetot, salah.

Mulai dari semester 2 hingga semester 6, nilai akademik saya meroket kayak ekonomi. Meroket ke bawah. Keluar dari 10 besar, hingga konsisten di peringkat 20 ke bawah. Bahkan di Ujian Nasional, saya peringat 97 dari 97 siswa. Dengan hasil yang begini, apa yang diharapkan dari seorang Rezky Firmansyah bisa lulus di kampus impian?

Saya malas belajar. Beneran deh. Alasannya seolah-olah filosofis. Untuk apa sih belajar? Emang bermanfaat untuk karir di masa depan? Emang saya mau jadi apa? Apa pentingnya fisika, kimia, biologi, dan pelajaran lainnya? Kenapa masuk kampus harus tes akademik, bukan tes potensi? Banyak pertanyaan di pikiran saya. Pikiran yang berkeliaran, tapi tidak bisa memberikan pencerahan dan menggerakkan saya saat itu.

***

Pilhan Kampus Impian

Awalnya, saya menargetkan diri untuk masuk UI. Jurusannya manajemen atau psikologi. Alasannya? Karena saya suka dua bidang itu. Tapi ada alasan lainnya. Keren juga pakai jaket kuning.

Impian saya berubah saat mengenal sosok senior yang menginspirasi. Dia berhasil meraih medali perunggu olimpiade kebumian. Orangnya ramah, santun, dan shalih. Karena prestasinya, dia berhasil lulus tes jalur khusus untuk masuk ITB jurusan geologi. Selepas lulus dari ITB, dia pernah jadi dosen di ITERA.

Karena terinspirasi tapi tidak kenal diri, geologi pun menjadi pilihan saya saat itu. Saya memilih ITB sebagai daftar kampus impian. Tapi perlahan saya sadar diri bahwa sulit rasanya siswa pemalas seperti saya lulus ITB. Akhirnya jalur alternatif pun dipilih. Saya pilih kampus swasta dengan jurusan yang sama, UPN Jogja.

Bukan berarti mengambil jalur alternatif tapi saya setengah-setengah dalam usaha. Total, saya mengikuti tes dari 3 jalur. Tes tertulis, saya datang langsung ke lokasi dari Riau ke Jogja. Berkali-kali tes, hasilnya gagal. Tes jalur prestasi (seingat saya ada prestasi akademik dan organisasi) saya ikutan juga. Hasilnya, gagal. Tapi teman saya yang ikutan tes tertulis sebelumnya malah lulus. Terakhir, tes jalur kerjasama perusahaan. Hasilnya, masih gagal.

Mau ikhtiar apa lagi? Semua jalan sudah dicoba. Hingga akhirnya saya ambil keputusan untuk gap year untuk menjawab pertanyaan mendasar. Sebenarnya kamu pengen jadi apa sih?

Baca juga:

Mungkin Saya Belum Move On dari Universitas Indonesia

Ditolak Jadi Mahasiswa, Diundang Jadi Pembicara

***

Pengen Jadi Apa?

Setahun menjalani masa gap year, berbagai kota saya kunjungi. Mulai dari Jakarta, Bandung, Mekkah-Madinah, pulang kampung, Kediri hingga berlanjut ke masa kuliah di Surabaya. Selama setahun perjalanan dan beberapa lama setelah itu, saya mulai menemukan jawaban. Saya ingin jadi motivator, penulis, dan pengusaha. Tapi itu dulu. Kini saya tidak lagi berpikir untuk menjadi motivator. Dalam satu kalimat singkat, Rezky Firmansyah adalah konsultan kreatif penulis.

Jurusan apa yang tepat untuk pilihan itu?

FYI, saya adalah lulusan jurusan bisnis manajemen. Tidak ada pelajaran menulis di kurikulum kampus. Tapi kok bisa-bisanya jadi konsultan kreatif penulis? Pilihan karir yang mungkin terdengar asing. Kenapa bisa? Jawabannya sederhana. Karena kuliah tidak memastikan kita menjadi apa. Kuliah hanya menjadi puzzle penghubung untuk memperjelas kita ingin menjadi apa. Ingat, puzzle penghubung. Tugas kitaah yang menghubungkan titik demi titik pengalaman dalam bingkai yang dibangun.

Aktivitas saya apa? Penulis, pekarya, pembicara. Berbagai hal yang saya jalani. Menulis, bikin konten, mentoring, konsultasi, ngide, baca dan berbagai aktivitas pendukung lain.

9 tahun selepas lulus SMA, saya sudah dengan jelas melihat diri sebagai konsultan kreatif penulis. Walaupun sebenarnya saya sudah menulis sejak SMA, tepatnya 2010 yang dimulia dengan jurnal harian. Jejak perjalanan saya sekilas bisa kamu baca di sini

Apa pesan utama yang ingin saya sampaikan?

Untukmu yang lulus SBMPTN atau jalur kuliah apa pun, bersyukurlah. Tapi jangan terlalu lama nyaman di euforia keberhasilan. Pastikan apa yang kamu pilih sudah sesuai dengan impian masa depan.  Salah satu ikhtiarnya, kamu bisa ikutan program Life Planning Canvas dari Muda Inspiratif.

Untukmu yang belum lulus SBMPTN atau jalur kuliah apa pun padahal ingin sekali kuliah, bersyukur jugalah. Bahwa ikhtiar yang kamu lakukan tidak sia-sia. Kamu masih punya waktu setahun untuk memantapkan pilihan agar tak salah jalan.

Kini, saya menulis dan akan tetap menulis. Hingga tulisan ini dipbliikasikan, saya menulis 37 buku (cek di @karyarezky dan linktr.ee/karyadigitalrezky), membantu para penulis melalui program 30DWC di 30 angkatan (dan berbagai program kreatif lainnya), menjadi pembicara seputar kepenulisan, dan berbagai proyek asik lain.

Tidak lulus SBMPTN, tidak masalah. Karena masa depan bukan hanya sebatas SBMPTN.

Untukmu yang ingin membaca dua tulisan saya lainnya, silakan klik di link bawah ya. Ada kisah tentang junior yang mendapatkan hasil kampusnya karena bersyukur dan anak kampung yang lulus IPDN berkat doa ibu.

Ini adalah perjalanan saya. Dan saya bersyukur tidak lulus SBMPTN (karena memang tidak tes), menjalani gap year setahun, dan ujungnya “hanya” kuliah di kampus swasta. It’s okay. Karena setiap orang punya perjalannya masing-masing. Apa-apa yang sudah saya jalani di masa lalu yang membentuk saya di masa sekarang. Alhamdulllah, hadza min fadhli rabbi

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *