Belakangan ini, saya dan teman-teman di beberapa komunitas “disibukkan” dengan pengurusan ISBN dalam menerbitkan buku. Bukan satu buku, tapi banyak buku. Saya sempat beradu argumen tentang penting atau tidaknya buku tersebut menggunakan ISBN. Namun entah karena alasan apa, sebagian orang tetap keekeuh bahwa buku ini harus ada ISBN. Pertanyaan dasarnya adalah, haruskah menerbitkan buku dengan ISBN?
Sejak 2022 lalu, ada kebijakan baru terhadap ISBN, terutama di Indonesia. Bagi orang yang tidak terjun langsung dalam dunia ini, tentu saja tidak menjadi perhatian besar. Sebagaimana dulu ingin sekali menggunakan ISBN, adanya kebijakan ini tidak menjadi persoalan bagi mereka. Menerbitkan buku harus tetap pakai ISBN. Titik!
Menghadapi kebijakan baru tersebut tentu saja banyak tanggapan. Ada yang kewalahan, ada yang juga menghadapi sewajarnya. Bahkan ada yang tidak terlalu memikirkan kebijakan terbaru. Mau berkarya, ya terus saja berkarya.
Memangnya, ada kebijakan apa? Singkatnya begini.
ISBN internasional memberikan jatah kepada setiap negara. Anggaplah 1 juta buku dalam durasi waktu 10 tahun. Nah, Indonesia mengalami pembengkakan jumlah produksi yang tidak wajar. Jatah untuk Indonesia terakhir diberikan pada tahun 2018. Hingga awal 2022 (saat kebijakan tersebut muncul), Indonesia sudah menghabiskan jatah lebih dari 600.000 buku. Nah, sisa berapa?
Referensi: https://isbn.perpusnas.go.id/Home/Statistik#penerbitTerbanyak
Menghabiskan kuota 1 juta dalam durasi 10 tahun itu sebenarnya bisa dikatakan singkat. Karena negara lain butuh 15 bahkan 20 tahun untuk menghabiskan kuota yang diberikan ISBN internasional.
“Bagus dong? Berarti tingkat literasi Indonesia meningkat?”
Eits, tunggu dulu. Nah, inilah pemahaman umum yang beredar. Banyak orang yang menganggap bahwa ISBN adalah penentu kualitas sebuah buku. Termasuk dengan melonjaknya jumlah buku yang dicetak, berarti semua buku tersebut berkualitas dan “layak” diberikan ISBN. Apakah betul? Belum tentu.
Apa kepanjangan ISBN? International Standard Book Number. Walaupun ada kata “standar” dalam istilah tersebut, bukan berarti maksudnya standar kualitas. Lalu, standar apa dong? Nomor yang teregistrasi secara internasional. Lagipula dari yang saya ketahui, proses pengajuan ISBN dulunya hanya mengirimkan beberapa berkas seperti: cover, daftar isi, sinopsis, surat pernyataan keaslian karya, dll. Nah, dari berkas yang dikirim, apakah bisa dinilai kualitas sebuah buku? Tentu saja tidak. Toh naskah utuhnya tidak dikirim. Berbeda dengan kebijakan yang terbaru yang lebih komplit dan kompleks.
Sebagai catatan, dalam proses menerbitkan buku yang mengeluarkan ISBN bukanlah penerbit, tapi Perpusnas. Walaupun ada “seleksi” dari penerbit, tapi banyak poin terlewatkan di sini. Tidak percaya? Coba saja cek buku yang pernah kamu baca. Pasti ada buku yang dirasa “kurang layak” untuk tersebar. Masih ada penilaian standar yang belum terselesaikan. Sesederhana kaidah kepenulisan, tanda baca, salah ketik, dan sebagainya. Belum lagi isi bukunya.
Seorang teman yang memiliki penerbitan indie pernah bercerita. Saat itu saya bertanya tentang hubungan ISBN dengan angka kredit bagi profesi tertentu. Berikut potongan diskusi kami.
“Kalau PNS mah dihitung semua buku. Tapi yang solo kayaknya poinnya lebih gede. Makanya teman saya yang punya penerbit dia kejar PNS untuk nulis, laku banget itu. Tapi ya gitu. Hasilnya asal. Saya pernah ikutan nulis bareng buku yang dibikin oleh para PNS. Isinya benar-benar nggak layak aja. Nah pas ada masalah ISBN yang susah ini, kayaknya jadi pada meredup. Mereka bikinnya kayak nggak diedit lagi. PJ-nya juga cuma kayak kejar bukti fisik aja. Namun karena mereka dekat sama petinggi-petinggi di beberapa kementerian, terus udah foto bareng pegang buku fisik, wah udah jadi promo yang bagus deh. – LB, Pemilik Penerbitan Buku Indie
Dari jawaban seorang teman tadi, sudah tahu apa “penting”nya sebuah ISBN dalam buku? Poin dan gengsi. Iyap. Tapi itu hanya berlaku bagi kalangan profesi tertentu. Jika profesinya tidak membutuhkan penilaian berkas dan administratif lain, jadi untuk apa harus ada ISBN?
“Ya tetap harus ada. ISBN itu kan legalitas sebuah buku.”
Lah, siapa bilang. Ini jawaban dari seorang teman lain yang juga punya penerbitan indie.
“ISBN bukan ranah perlindungan copyright. Sebatas pengakuan penomoran karya yang pencatatannya dilakukan secara internasional.” – ET, Pemilik Penerbitan Buku Indie.
Lantas kalau mau perlindungan hak cipta gimana dong? HAKI jawabannya. Tapi apakah harus serepot itu mengurus sebuah buku? Ya, tergantung bukunya mau jadi apa. Kalau bukunya hanya dicetak terbatas dan simpanan pribadi, untuk apa HAKI? Boro-boro HAKI, ISBN saja tidak perlu. Kenapa? Karena pembuatan untuk buku tersebut tidak relevan dengan kebutuhan.
“Tapi kan mengurus ISBN gratis. Toh nggak ada ruginya juga kalau saya urus ISBN untuk buku saya.”
Nah, pemikiran seperti inilah yang membuat lonjakan ISBN yang keluar di Indonesia. Akibatnya, kuota yang harusnya dipenuhi oleh buku yang “berkualitas” malah diisi oleh buku yang ditulis apa adanya. Padahal setidaknya, ada standar mendasar sebuah buku bisa diberikan ISBN. Dalam tulisan yang berjudul SALAM INSAF, SEKALI LAGI TENTANG ISBN pada 22 April 2022 di Facebook Bambang Trim menyampaikan hal menarik.
Buku yang relevan diberi ISBN adalah buku yang berada pada rantai pasok industri buku. Ciri ini dapat disederhanakan sebagai berikut.
- Buku tersedia untuk publik secara luas dan dapat diakses, baik secara gratis maupun berbayar.
- Buku diperjualbelikan dalam jumlah yang banyak. UNESCO pernah membuat batasan minimal 50 eksemplar.
Nah, masalahnya di Indonesia semua hal di-ISBN-kan. Masih dalam tulisan yang sama, Bambang Trim mendetaikan:
“Ringkasan kebijakan (policy brief) dibukukan dan di-ISBN-kan. Laporan KKN mahasiswa di-ISBN-kan. Laporan kegiatan di-ISBN-kan. Skripsi, tesis, disertasi tanpa konversi di-ISBN-kan. Orasi ilmiah di-ISBN-kan tanpa konversi. Prosiding di-ISBN-kan tanpa melihat apakah seminarnya berkala atau tidak.”
Versi lengkapnya, bisa baca tulisan dari Bambang Trim berikut.
“Nulis aja belepotan, malah pusingin ISBN.” – Ex-Editor Penerbit Mayor
Pesannya mungkin tajam, tapi ada benarnya juga. Sebagaimana keluhan dari pemilik penerbitan indie tadi. Banyak yang mengejar poin tapi tidak bertanggungjawab dengan isi tulisan. Alhasil, fokus pada kuantitas, bukan kualitas. Fokus pada eksistensi, bukan esensi.
Begini deh. Adakah orang yang bertanya saat membeli buku,
“Bukunya ada ISBN? Kalau nggak ada, aku nggak mau beli.”
Adakah yang seperti itu? Saya yakin tidak ada. Pertanyaan yang paling memungkinkan untuk muncul adalah,
“Isi bukunya tentang apa?”
Sudah seharusnya kita bijak dalam menilai ISBN. Karena saat kita mengedepankan ego, saat itu pula peluang orang lain tertutupi.
“Sebenarnya nggak adil loh kalau antologi pakai ISBN di tengah banyaknya antusiasme orang buat nulis buku solo.” – SC, Penulis Buku Solo dan Antologi
Secara faktanya, ISBN dalam buku antologi kini lebih diperketat. Bahkan angka poin bagi profesi tertentu saat menulis buku antologi pun terbatas. Jika buku solo mendapat poin 4, maka poin buku antologi adalah 4 dibagi jumlah penulis. Jika penulis ada 20, dapat poin berapa? Atau dalam kasus lain, kemungkinan yang mendapat angka poin hanya penulis pertama, kedua, ketiga, dan keempat. Penulis kelima dan seterusnya tidak mendapatkan poin. Nah, dalam kondisi seperti ini, apa urgensi sebuah buku antologi “dipaksa” mendapat ISBN? Jika memang memenuhi 2 ciri yang disebutkan tadi, sah-sah saja diperjuangkan. Namun jika tidak, untuk apa?
Mengedepankan ISBN tapi abai dengan kualitas tulisan. Menunggu ISBN dengan antrian yang lama, sedangkan bukunya butuh segera rilis. Dan banyak kasus lain yang membuat ISBN adalah segalanya. Mari mulai saat ini kita lebih proporsional dalam menilai ISBN.
Jadi, haruskah menerbitkan buku dengan ISBN? Kamu sudah tahu jawabannya apa.