Hari Patah Hati Nasional katanya terjadi lagi. Setelah heboh berita Raisa dan Hamish yang sempat viral, hari patah hati tingkat nasional semakin menjadi-jadi dengan Chelsea Islan yang “hanya” pacaran dengan Bastian. Hari patah hati tingkat internasional oleh pasangan artis korea yang diduga taaruf duluan. Dan terbaru, hari patah hati tingkat dunia akhirat, Muzammil dan istrinya, Sonia.
Saya mengenal Muzammil lebih kurang tahun lalu. Ketika ada tulisan dari mojok.co yang lebih kurang intinya begini :
“Kita patut berterima kasih kepada Muzammil. Karena dengan hadirnya sosok Muzammil, anak muda Indonesia punya sosok idola baru yang positif. Di saat anak muda lain malah sok mengikuti artis yang tabiatnya tidak karuan”
Redaksinya nggak begitu sih. Tapi ya lebih kurang begitu. Kalau mau versi lengkap, coba baca di sini.
Sejujurnya saya belum pernah ketemu langsung dengan Muzammil. Walaupun dia seringkali tur ke kota tempat saya kuliah, Surabaya, saya tak sempat hadir. Bahkan ketika dia hadir di Pekanbaru, tak jauh dari kota saya dibesarkan, saya pun tak sempat hadir. Karena saya lagi di Surabaya. Ya memang mungkin tidak berjodoh.
Tapi saya harus akui, walaupun saya bukan fans dari Muzammil, saya berada di pihaknya. I stand on the right side. Begitulah kira-kira.
Sempat belum berapa lama ini, saya membaca postingan yang bernada sinis. Saya rahasiakan namanya ya biar tak ada fitnah.
Jika ada qari’ fashionable, dan terlalu muluk di nada, maka saya sarankan tinggalkan. Terutama qari’ muda yang diusung media. Mungkin bagi kalangan musisi, atau belum mengenal pengajian, qari’ yang muluk-muluk, takalluf (kebangetan), dan fashionable (agar memikat) bisa dijadikan referensi. Tapi bagi yang sudah rajin ngaji, tidak.
Apalagi sampai ke qari’ yang membuat banyak perempuan menjerit-jerit di stadion, di masjid, dll. Qori’ itu bukan boyband.
Sesiapa yang fokusnya di nada, ia sedang menempuh bencana
Lalu captionnya : awas bencana, yuk ngaji!
Sesaat membaca status ini, jujur saja saya tersinggung. Tapi saya harus sadar untuk mengendalikan respon. Lalu, perlahan saya pun memaknai.
Sebenarnya nasihat ini tak salah. Tapi dirasa agak nganu aja. Karena apa?
Kita hidup di era digital. Zaman di mana siapapun bisa jadi artis. Bahkan mirisnya, banyak contoh yang mengarah ke pergaulan bebas, omongan kasar, dan masih banyak PR lainnya. Teladan baik di dunia digital sangat sedikit. Karena itulah kita harus melawan. Kita harus bermunculan. Pun jika tidak kita yang muncul, dukung orang-orang baik yang bisa memberikan pengaruh positif.
Saya pun teringat dengan pesan Iqbal Hariadi, marketing manager kitabisa.com :
“Karya” negatif nggak bisa dihentikan, tapi bisa dilawan. Cara paling praktis adalah #BalasdenganKarya . Isi sosmed dan kehidupan kita dengan konten positif. Sharing, cerita, karya.”
Lihatlah berapa banyak karya negatif yang semakin hari semakin bermunculan. Kita harus lawan itu. Jangan hanya diam. Dan Muzammil, berada pada garis tersebut. Hanya saja sayangnya, banyak sekali mereka yang tidak berada pada garis perlawanan, tapi malah melemahkan.
“Ngaji itu tidak boleh riya”
“Kamu ngaji ingin dipuji ya”
“Qari fashionale itu tidak sunnah”
Banyak komen negatif lainnya yang melemahkan. Lihat saja, kamu pasti bisa menemukannya.
Inilah penyakit kita. Disorientasi prioritas. Kita masih salah prioritas dalam perjuangan. Qari’ yang muncul di media dianggap fashionable, sedangkan yang ngomentari tidak berada pada garis perjuangan.
Begitu pula banyak saudara kita yang sibuk mendebatkan isbal, jenggot, tahlilan dan seterusnya. Sibuk menyalahkan sesama saudara seiman, tapi abai akan musuh sebenarnya. Yahudi, liberal, dan berbagai musuh nyata lainnya.
Sekarang, tanyakan pada diri sendiri. Sudahkah kita berada pada garis perjuangan? Atau sekadar berkelompok, merasa paling benar, dan menyalahkan saudara sendiri?
Baik, mari kembali lagi dengan Muzammil.
Mendengar kabar baik dari Muzammil, tentu saya bersyukur. Bukan karena pesaing berkurang satu. Tapi karena memang begitulah seharusnya saudara seiman. Mendapat kabar gembira, sudah seharusnya kita ikut gembira.
Tapi, ada yang harus kita kritisi bersama.
Teman saya memberikan kritikan yang patut direnungkan. Rezki Fadillah dalam Facebook-nya, “siapa yang sebenarnya kita cintai, pembaca ayat quran atau ayat qurannya”
Nasehat yang benar-benar patut direnungkan. Terutama kalangan akhwat. Coba deh jawab?
Guru saya pun sempat berpesan dan memberikan kritikan. Kok akun berdakwah malah ikut-ikutan membuat para akhwat baper dengan pernikahan Muzammil. Tentu, meliput Muzammil bukan hal yang salah. Tapi captionnya itu loh. Coba deh explore. Belum lagi kolom komentar yang diisi dengan hati yang retak dan komentar yang nganu. Iya, nganu. Seolah-olah saya nganu bacanya.
Disorientasi prioritas. Itulah istilah kerennya. Aktivis dakwah seolah-olah adalah pakar asmara menuju sah. Padahal output dari pembinaan dakwah adalah membangun peradaban, bukan hanya sebatas pernikahan. Mari berpikir jauh ke depan. Nasehat untuk kita bersama.
“Alah, kamu dengan mudah ngomong kayak gitu. Itu karena kamu nggak pernah patah hati seperti kami kan.”
Ya memang, kondisi kita berbeda. Ketika Raisa tunangan pun tidak sedikit pun ada sakit hati. Termasuk Chelsea Islan dan berderet artis ternama lainnya. Karena saya sudah sadar diri, nggak mungkin dapetin mereka.
“Oooh. Tapi masa sih kamu nggak pernah jatuh hati dengan akhwat shalihah gitu?”
Nah kalau pertanyaan ini beda lagi jawabannya.
Jatuh hati? Mungkin lebih tepatnya mengagumi. Pernah? Tentu pernah. Persis seperti halnya akhwat dengan Muzammil. Begitu pula ikhwan dengan akhwat shalihah. Saya dulu pernah. Suatu hari, sedang asik-asiknya menonton video pendek Movie Maker Muslim. Kamu mungkin tahu. Sebuah perjuangan Orang Baik yang patut diapreasiasi. Ketika banyak Youtuber memberikan contoh negatif, mereka hadir untuk melawan dengan kebaikan. Dan saya mengaguminya melalui perantara ini. Video islami.
Pernah suatu ketika, saya menonton video singkat islami dan salah fokus. Bukan pada esensi filmnya, tapi pada tokoh ukhti yang cantik nan shalehahnya. Saat itu teman saya dengan frontalnya berkata :
“Oi Ky, Ingat lagi puasa”
Saya masih ingat. Saat itu sedang puasa sunnah dan mata saya tak terjaga. Seketika itu pula saya langsung menutup Youtube dan berucap. Saya akui, keliru saat itu. Tapi di satu sisi, saya bersyukur punya teman yang mengingatkan. Nadanya bercanda, tapi masuk ke hati tanpa sakit hati. Pesan dengan cara inilah yang senantiasa kita butuhkan.
Sejak saat itu, saya berhati-hati dalam menonton Youtube. Saya akan menghindari sebisa mungkin jika niat saya melenceng. Bukan memahami esensi, tapi mengagumi si ukhti.
Mungkin sama dengan kamu. Kamu yang mengagumi Muzammil. Menikmati suaranya di Youtube dan Instagram, mendownload, mendengarkannya menjelang tidur, bahkan bisa jadi mengoleksi fotonya, melike setiap postingannya, memberikan komentar emot love, dan mengkhayal, kelak kamu berada di sampingnya.
Maka wajarlah, 7 Juli 2017 menjadi Hari Patah Hati Dunia Akhirat bagi sebagian akhwat, Mereka meletakkan ekspektasi terlalu tinggi. Dan kelak saat ekspektasi itu tidak terjadi, patah hati yang sungguh sakit sekali.
Saya sebagai pribadi sebenarnya biasa-biasa aja. Tapi agak nganu juga melihat kondisi seperti ini. Bahkan saat teman Facebook saya menulis surat terbuka untuk penggemar dari Muzammil. Kisah dia mengenali nama, mendownload rekamannya, dan Alhamdulillah perlahan berubah. Di satu sisi saya bersyukur, dan di satu sisi agak nganu. Tapi tak masalah. Karena seperti @febriantialmeera penulis buku Great Muslimah berpesan.
“Muslimah hijrah itu dituntun, bukan dituntut”
Kutipan ini ada di buku saya, Jomblo Mantan & Masa Depan. Baca dan beli ya. Hihi.
Kita harus apresiasi dan akui perjuangan pemuda pemudi Islam di media. Penuh perjuangan dan tak sedikit cibiran. Padahal tak sedikit melalui perantara mereka banyak yang bisa hijrah menjadi lebih baik. Tapi ingat, hijrah itu bukan karena ingin dipuji, tapi karena jalan itulah yang harus kita lalui. Karena tak sedikit dari mereka yang mencoba mengikuti. Merekam suara ngaji di Instagram, padahal sebelumnya tak pernah sama sekali. Bagus kok, tapi mohon dijaga niatnya ya.
“Lalu aku harus bagaimana?”
Saya harus menekankan kembali, bahwa saya pernah berada di posisi kamu. Berada pada titik mengagumi akhwat shalihah, tapi beruntung, Allah tetap menjaga dengan nasehat dari teman.
Tapi ada kisah yang lebih menarik. Kali ini, bukan hanya jatuh hati dan mengagumi. Tapi juga ada rasa ingin memiliki dan menikahi.
Kejadian itu terjadi awal tahun ini. Saya bertemu dengan akhwat shalihah. Saya kenal sudah lama. Karena dulunya dia adalah adik kelas di masa sekolah. Saya tahu betul bagaimana masa lalunya. Tak perlu saya sebutkan detail. Hingga satu titik, dia hijrah. Dari dulunya menggunakan celana jeans, kini berpakaian syar’i. Dari yang dulunya tak mengaji, kini rajin mengaji. Dari yang dulunya ada foto di media sosial, kini tak akan ditemukan lagi.
Saat itu, saya jatuh hati. Ada niat untuk serius untuk bersatu, bukan hanya bertemu. Tapi niat itu hanya menjadi niat. Kami tak bersatu. Bertemu pun hanya sekali.
Saya dan dia berbeda. Satu prinsip yang sudah saya pegang sejak lama. Bahwa kelak, saya akan memilih pendamping dengan worldview Islam persatuan, bukan Islam golongan. Dan sayangnya, dari diskusi kami yang panjang lebar, saya melihat dia cenderung pada satu golongan. Prioritas pada cabang, bukan batang. Maka bukanlah sebuah kejanggalan, ketika saya tidak menyalahkan isbal, tahlilan, dan jenggot, kami pun selesai.
Baca lebih banyak :
Untukmu Perempuan yang Singgah di Masa Lalu, Terima Kasih Atas Pelajaran Ini
Sudahkah Niatmu Menikahi dia Karena Dia?
Tentu, saya tak ingin menyalahkan. Dia sudah hijrah saja merupakan kabar gembira bagi saya. Dan pelajaran yang diberikannya pun begitu bermakna. Kami setuju untuk menyudahi hubungan ini.
Setelah kejadian ini, saya tak bersegera mencari pengganti. Padahal seharusnya, jika niat saya benar-benar siap untuk menikah, jika gagal seharusnya berpindah. Bukan menunggu dan berharap. Atau bahkan gagal move on.
Saya tak berada di titik itu. Hanya saja saya memang tak mencari. Hingga akhirnya saya merenungi, buat apa saya menikah. Apakah saya menikah karena dia, atau karena Dia? Apakah saya menikah karena manusia atau karena Allah?
Pelajaran berharga ini saya dapatkan darinya. Dan mungkin juga untuk kamu yang membaca. Sekarang tanyakan pada dirimu, menikah karena manusia atau karena Allah? Menikah karena siapa orangnya atau bagaimana cara agar Allah tetap ridho? Tanyakan, coba tanyakan.
Selang berapa lama setelah itu, saya tak berniat mencari. Tapi kini, saya sudah siap memberikan jawaban. Ketika kelak ditanya kapan nikah, saya akan menjawab “mamamu udah siap punya menantu belum?”
Eh bukan. Bukan itu jawaban saya. Jawaban saya rahasia. Yang jelas, saya sudah punya jawaban yang meyakinkan.
Sahabatku yang mungkin kita tak pernah bertemu.
Kita pernah berada di titik yang sama. Pernah mengagumi, bahkan muncul rasa ingin memiliki. Tapi ingat lagi, bahwa yang paling penting adalah menjadi, bukan mencari. Yang paling penting adalah mempersiapkan, bukan hanya gelisah dalam penantian. Yang terpenting bukan dengan siapa sosok yang kita kagumi, tapi dengan siapa Allah meridhoi.
Bangkitlah sahabatku. Banyak stok Muzammil lainnya. Banyak stok akhwat shalihah lainnya. (maaf saya tak berikan stok nama. Cari saja).
Mereka yang muncul di media punya ujian yang begitu besar. Ujian atas pujian dan dikagumi ribuan, bahkan jutaan orang. Itulah garis perjuangan mereka. Maka, berhentilah menyalahkan garis perjuangan mereka. Berhentilah mengagumi mereka berlebihan. Cukuplah bagi kita menjadi orang baik. Karena percaya saja, orang baik akan akan dipertemukan dengan orang baik. Jika mungkin tidak di pelaminan, semoga di garis perjuangan yang menguatkan. Hingga kelak kita saling mendoakan. Dan memamggil-manggil nama di surga yang Allah janjikan.
Dan Muzammil, terima kasih sudah hadir. Semoga perjuanganmu senantiasa berada dalam keikhlasan, dikuatkan, dan diberdayakan.
Untukmu yang ada di masa depanku,
Semoga kelak, aku dan kamu bersatu bukan hanya untuk meraih surga bersama. Tapi membuka jalan ke surga yang lebih lebar untuk umat. Menjadi bagian dari persatuan, bukan bangga atas golongan. Untuk sebuah kebangkitan umat.
Rezky Firmansyah
www.rezkyfirmansyah.com | @rezky_passionwriter
Assalamualaikum kak, ana mau nanya, gimana pendapat kakak tentang perempuan yang melamar lelaki? Apakah pantas?
Waalaikumsalam
Melamar atau mengungkapkan perasaan?
Tentu 2 hal ini beda.
Bisa saja seorang perempuan seperti halnya Khadijah. Tapi tetap, lelaki tidak hanya diam saja. Ada porsinya.
Terima kasih kak.. isinya keren banget.. dan semua kembali pada Niat.. semoga Alloh selalu memberi petunjuk akan setiap langkah…