20 November 2019, saya menulis di IG @rezky_passionwriter. Di slide kedua saya menuliskan,
“Menurut data BKKBN, 70% siswa SD di Jakarta kebanci-bancian. Kenapa? Karena selama golden age banyak distimulus oleh perempuan. Mulai dari ibu, nenek, guru PAUD, guru SD, hingga pembantu. Minim peran ayah.”
Data ini saya dapatkan saat menyimak kajian Ustadz Bendri Jaisyurrahman di Masjid Arief Rahman Hakim UI Salemba. Konten ini pun mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan konten saya biasanya. Banyak juga di-share ulang oleh orang-orang. Beberapa orang ada yang mempertanyakan.
“70%? Gede banget?”
“Saya nggak nemu datanya di Google.”
Bahkan yang terbaru, ada pegawai BKKBN pusat yang nge-dm saya.
“Perkenalkan saya peneliti dari BKKBN. Pagi ini ada yang menanyakan terkait tulisan Mas Rezky dengan mencantumkan data BKKBN. Mohon klarifikasinya, kami dari BKKBN tdidak pernah mengeluarkan data tersebut. Data BKKBN yang dimaksud dari mana yang mas? Terima kasih. Tapi sebelumnya, saya suka dengan tulisan mas nya.”
Saya pribadi awalnya juga terkejut dengan angka setinggi itu. Tapi melihat faktor penyebabnya karena minimnya peran ayah, saya cukup teryakinkan. Data dari BKKBN mungkin bisa dipertanyakan. Saya pun berusaha untuk mempertanyakan kembali data ini kepada Ustadz Bendri Jaisyurrahman. Lagipula tidak mungkin rasanya beliau mengambil data asal-asalan. Karena latar belakang beliau juga adalah konselor.
Alhamdulillah, saya bisa bertemu kembali dengan beliau. Di kajian selanjutnya, tepatnya di Masjid Al-Alam Sekolah Alam Indonesia, saya bertanya kembali tentang data ini. Saya pun melanjutkan dengan bertanya via chat WA langsung. Jawaban beliau memberikan pencerahan.
Beliau mengklarifikasi bahwa data tersebut bukan dari BKKBN. Melainkan dari seorang profesor di sebuah seminar yang diadakan oleh BKKBN pada tahun 2012. Peneliitan ini tentu harus ditelusuri lebih lanjut mengenai angkanya yang cukup tinggi. Tapi terlepas dari sumber dan tingginya data, yang layak dimaknai adalah apa sih indikator kebanci-bancian?
Nah, mungkin yang bikin salah paham banyak orang adalah indikator kebanci-bancian. Apakah maksudnya lelaki yang melambai? Ternyata bukan.
Ada 3 indikator utama dalam penilaian fitrah seksualitas. Benar secara syariat, sehat secara fungsi, dan lurus secara kecenderungan.
Ciri-ciri lainnya adalah dari banyak aktivitas kehidupan. Bagi laki-laki saat tertawa menampakkan gigi, saat menangis menutup mata, cara berjalan membentuk huruf V dan cara pikirnya adalah optimis melihat masa depan. Sedangkan perempuan, saat tertawa menutup gigi, saat menangis menutup mulut, cara berjalan membentuk huruf X, dan cara pikirnya adalah “now here”. Nah, hal-hal sederhana semacam inilah yang membuat laki-laki punya kecenderungan ke arah perempuan. Dan seringkali hal sederhana ini dianggap remeh begitu saja. Hingga akhirnya di masa dewasa barulah merasakan akibatnya. Jangan heran LGBT merajalela. Ternyata keluarga menjadi salah satu faktornya
Kompleks ya perihal ini. Tapi penting banget loh. Karena bagaimana pun pertumbuhan anak di golden age akan menentukan masa depannya. Lebih jauh lagi, akan menjadikan anak sosok yang tangguh, suami yang tangguh, ayah yang tangguh, dan berperan untuk menjadi bangsa yang tangguh.
Nah lanjut, bagaimana menjadi ayah yang tangguh? Ya sederhana, belajar. Jangan hanya mengandalkan ibu untuk mengasuh anak. Ayah yang tangguh itu indikatornya bukan hanya pekerja keras loh ya. Tapi bisa menjadi superhero bagi anaknya. Menjadi sosok fatherman. Mampu menggunakan topi peran yang sesuai situasi kondisi. Dalam bukunya yang berjudul Fatherman, Ustadz Bendri menuliskan ada 7 topi peran. Apa saja?
- Topi konselor
- Topi guru
- Topi pengasuh
- Topi motivator
- Topi entertainer
- Topi distributor atau promotor
- Topi donor atau donator
Saya menyarankan untuk membaca bukunya langsung untuk mendapatkan insight yang lebih banyak. Bisa pesan langsung ke fatherman.id. Di kajian yang diadakan di Sekolah Alam Indonesia, Ustadz Bendri membawakan topik tentang topi entertainer, lelaki penghibur bagi anak.
“Jika ayah tidak mampu menghibur anak, maka anak akan mencari hiburan lain, hingga ke luar rumah. Gadget misalkan. Bahkan pacaran.”
Nah, kalau begini, siapa yang salah? Apakah ibunya karena dituduh tidak bisa mengasuh? Atau salah ayah yang meniadakan dirinya dalam peran pengasuhan? Daripada saling menyalahkan, mari kita saling evaluasi diri saja. Benar bahwa ibu adalah madrasah bagi anak-anak. Tapi ayah adalah kepala sekolah. Karena itu membangun peradaban dari keluarga harus bersama-sama.
Ada banyak cara sederhana sebenarnya yang bisa dimulai. Mulai saja dari meja makan. Gimana caranya? Coba deh jadikan meja makan sebagai sarana diskusi ringan dengan anak. Jangan sampai anak bosan karena selalu dijejali dengan “wajah ayat”. Apa-apa dikasih ayat. Memangnya nasihat harus langsung to the point ayat? Nah, kembali lagi ke 7 topi peran tadi. Fatherman harus bisa menguasainya.
Cara lainnya menjadi lelaki penghibur bagi anak gimana?
Sebenarnya ayah sudah melakukannya loh sejak dulu. Coba ingat-ingat kembali. Bukankah semasa kecil ayah mencoba untuk menampilkan wajah lucu ke anaknya? Nah, tawa pertama ayah yang ditanam ke memori anak mampu membuat ayah sebagai sosok yang friendly bagi anak. Tapi seringkali seiring berjalannya waktu, memori itu hanya sekadar memori. Ayah tak lagi menggunakan topi peran penghibur bagi anaknya. Banyak saja alasannya. Mulai dari kesibukan hingga anak sudah besar. Hmmm, memangnya kalau udah besar tidak butuh hiburan lagi dari ayah? Memangnya hiburan itu hanya sebatas wajah lucu yang ditampilkan oleh ayah?
Hiburan bagi anak yang sudah dianggap dewasa tentu berbeda. Menjadi teman diskusi adalah salah satunya. Tidak melulu harus keluar nasihat bijak. Jangan juga hanya sekedar basa-basi seperti ucapan “apa kabar” kepada anak. Coba ubah pola kalimatnya. Misalkan, “pasti kamu sedang gembira ya?” Atau “kamu sedih kenapa? Apa yang bisa ayah bantu?” Sadar nggak sih, kata-kata sederhana seperti ini membuat anak merasakan kenyamanan karena sosok ayahnya. Kalaulah ayah peka seperti ini, anak pun tak perlu mencari hiburan di luar. Tidak perlu mencari pacar sebagai pelarian. Karena baginya, sang ayah adalah Fatherman. Sosok pahlawan bagi dirinya.
Kepada sang ayah, pernahkah punya mimpi sederhana ini?
“Mimpi saya sederhana. Kelak anak akan menjadikan saya sebagai pahlawan baginya, bukan superhero yang hanya ada di dunia fiksi semata.”
Ayah menjadi pahlawan. Ayah yang menjadi Fatherman.