Enaknya Bisa Blak-Blakan dan Gak Baperan

Baper - Rezky Firmansyah

Baper - Rezky Firmansyah

Ada sekitar 7 Miliar manusia di muka bumi. Dan 7 Miliar manusia tersebut pasti punya karakter yang berbeda-beda. Cara komunikasinya berbeda, cara pendekatannya berbeda. Dan yang berbeda itu membuat kita “terpaksa” untuk banyak belajar.

Ambil contoh seperti ini. Ketika saya memberikan masukan kepada Angga dengan cara blak-blakan dia bisa aja menerima. Tetapi ketika saya memberikan masukan kepada Anggi dengan cara blak-blakan bisa aja dia malah baperan, tersinggung dan gak mau jumpa saya lagi. Terlepas dari psikologi jiwa cowok dan cewek, kasus semacam ini hmmm, its complicated.

Sungguh enak kalau kita gak perlu pusing-pusing menyusun kata yang indah mau menyampaikan apa. Apa yang tersampaikan dan jika itu baik ya udah sampaikan. To the point, blak blakan aja. Dan sungguh juga enak kalau diri yang menerima masukan gak baperan. Ya normal sih kita tersinggung mendengar masukan yang gak berkenan. Ya tersinggung dan berbenah. Daripada tersinggung dan berkeluh kesah. Dapat apa coba? Kelemahan kita sih itu. Baperannya level dewa.

Penyederhanaan sikap seperti ini menarik. Pengalaman beberapa hari yang lalu saat rapat organisasi di kampus. Entah angin dari mana di akhir sesi kami membentuk lingkaran lalu curhat. Ehm, bukan curhat sih. Mungkin bisa dikatakan sampaikan apa yang kamu rasakan dan yang mendengar dilarang baper. Untuk perbaikan individu dan organisasi kedepan. Dan eng ing eng, sampai di sesi saya. Mulai dari perkenalan dan tiba di poin blak-blakan :

“. . . saya berasal dari sekolah berasrama dan semi-militer. Dan maaf banget saya sangat risih dengan cewek yang make rok mini. .  .  ”

(dan seterusnya hingga sesi saya berakhir)

Sungguh, pas itu saya gak ada niat untuk menyindir seseorang di ruangan. Karena kasus semacam itu ya sering sih di kampus. Tujuannya ya mempertegas aturan pakaian di kampus. Dan ya saya sangat risih. Normalnya laki-laki pasti menyukai hal semacam itu. Tapi jika dengarkan hati nurani berbicara, percayalah ada kerisihan dalam hati. Lalu, ketika rapat selesai ada yang mendatangi dan ngomong :

“Ky aku maaf banget loh. Aku janji ini terakhir kali aku make kayak gini di depan kamu”

Sebenarnya saya gak ada sedikitpun bermaksud untuk menyindir dia. Pun rok yang dia pake gak mini walaupun ya diatas lutut. Tapi karena dia peka (this not mean baper) dia merasa dan sadar. Alhasil, maksud tersampaikan tanpa ada yang baperan.

Ya itu kasus sederhana yang saya alami. Sungguh enak kalau kita bisa blak-blakan ke semua orang dan si doi gak baperan. Gak masuk ke perasaan banget. Tetap merasa tapi gak membenci. Tersinggung lalu berbenah. Asik ya?

Tentu butuh pembiasaan dan proses. Gak bisa sepraktis menyeduh mie instan. Tapi bukan berarti kita beralasan gak memulai untuk membuka hati bersikap lapang dada dan menerima masukan orang lain. Ya sebenarnya gak hanya masukan sih. Tapi juga ungkapan perasaan. Misalkan :

“Anggi, aku suka sama kamu. Aku cuma mau kamu tau dan aku merasa lega udah mengungkapkannya kepadamu”

Ya untung aja kalau Anggi menerima dengan bijaksana

“Angga, kamu serius? Aku senang mendengar ungkapan perasaanmu itu. Tapi ijinkan kita tidak terjebak dalam perasaan ini. Karena sebenarnya aku juga sama kamu”

Enak ya kalau perasaan bisa diungkapkan seperti itu. Masalah kelar. Maksud tersampaikan dan gak ada yang baper di satu sisi. Sempat aja ada yang baper, nah kacaulah sudah semua. Jadi saling galau dan melupakan PDKT dengan Allah.

Atau kasus lain.

“Ran, kamu kok benci banget sih sama Si Joko. Gak ada gunanya juga kan kalau kamu terus menerus mikirin dia. Toh dianya gak mikirin kamu. Udahlah abaikan saja. Lebih baik kita sama sama membangun diri dan bangsa”

Nah sempat Si Ran baperan dan gak mau menerima responnya bisa jadi kayak gini:

“Loh Den, kamu pendukungnya Si Joko ya? Jelas jelas dia banyak salah. Kalau kita gak koar koar kayak gini kita akan terus dibodohi. Kamu sih gak peduli sama bangsa ini”

Jadi ngotot dan ingin memang sendiri. Padahal maksud Si Den baik kan? Tapi kalau aja Si Ran gak baper dan “Think Insight” jadinya bakal beda :

“Iya sih Den. Untuk apa ya kita sibuk sibuk ngabiskan waktu berkoar koar menghina Si Joko. Lebih baik kita tetap kritis dan bukan menghina lalu sama sama berbenah”

Atau kasus lain :

“Ustadz, saya udah sering dengar ceramah ustadz nih. Selalu ngantuk dan membosankan. Coba deh buat metode yang menarik. Apalagi untuk anak muda kayak kami.”

Kalau Ustadz baper dia bisa jadi tersinggung, gak mau menerima, merasa paling benar ataupun tersinggung dan gak mau ceramah lagi di depan anak muda. Tapi kalo Ustadz gak baper melainkan “Think Insight”, beliau bakal sadar dengan kesalahan yang dilakukan selama ini. Merubah metode lebih menyenangkan dan pendengar lebih mudah menerima maksud ceramahnya.

Memang, adab mengajarkan kita untuk menyampaikan suatu nasehat yang baik dengan cara yang baik. Tapi ada satu waktu telinga ini mulai tuli dan hati mulai membatu jika disampaikan dengan cara yang “baik-baik”. Alhasil blak-blakan itu dibutuhkan.

Enak ya kalau kita bisa selalu blak-blakan menyampaikan dan pendengar gak baperan. Sebuah penyederhanaan sikap yang memang butuh pembelajaran dan kebijaksanaan. Yuk deh sama sama belajar. Pasti asik. Ya kan?

Keep Writing, Always Inspiring!

Rezky Firmansyah
Founder Passion Writing
Penulis buku tersebar di 5 benua

Mau diskusi asik bahas soal Kepenulisan Passion Kepemudaan? Dengan senang hati saya membuka kesempatan. Silahkan invite 76B4BF69/085363949899 dan juga  follow @rezky_rf9

Kamu merasakan manfaat dari tulisan ini? Tulis comment dan klik tombol share di bagian kiri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *