Demi Kepentingan dan Persatuan Bangsa, Katanya

Oposisi Jadi Koalisi

Salah satu pernyataan yang indah tapi sulit saya percaya belakangan ini adalah “demi kepentingan bangsa”.  Terlebih jika diucapkan oleh politisi. Sungguh, saya sulit untuk percaya. Bukan hanya pernyataan itu saja. Banyak narasi indah lain yang membuat kita takjub, tapi perlu dikritisi kejujurannya.

“Ini semua demi anak cucu kita.”

“Demi persatuan negara yang kita cinta.”

“Saya rela dihina, demi Indonesia.”

Masih banyak lagi. Cari saja sendiri.

Bukan berarti saya tidak percaya. Namun, tergantung siapa yang mengucapkannya. Salah satu alasan yang bagi sebagian orang logis, tapi tidak bisa saya terima dengan mudah adalah percaturan politik  capres 2019. Bagaimana mungkin yang dulunya oposisi, tapi tiba-tiba jadi koalisi dalam waktu yang tidak lama. Pembenarannya, ya seperti ucapan awal tadi. Demi kepentingan dan persatuan bangsa. Namun apakah benar demi persatuan bangsa? Atau jangan-jangan, demi kepentingan elite semata? Atau menjaga kepentingan pihak mereka saja? Karena tentu saja, jika sudah di luar kekuasaan, pasti ada-ada saja gangguannya. Berbagai kasus belakangan ini adalah buktinya.

Baca juga: Prabowo Sandi, Selamat Berjuang atau Selamat Tinggal?

“Halah! Barisan sakit hati sulit move on.”

Bisa jadi, ada yang berkata seperti itu. Dalihnya ya seperti tadi. Mengedepankan kepentingan bangsa daripada kepentingan kelompok. Namun, benarkah sesederhana itu? Benarkah sejujur itu perjuangannya? Saat para pendukung berdarah bahkan meninggal, tapi lihat saja elitenya. Makan bersama.

Yang Katanya Persatuan Harus Dibuktikan

Sekarang, mari kita lihat saja data dan bukti di lapangan. Jika memang demi kepentingan bangsa, maka sudah seharusnya setiap anak bangsa yang punya program besar demi negara didukung. Namun, lihat saja bagaimana keberpihakan elite antara Formula 1 di Mandalika dan Formula E di Jakarta. Bagaimana jor-jorannya pemerintah pusat mendukung Mandalika, tapi begitu setengah hatinya mendukung Formula E di Jakarta. Sekelas Menteri Pariwisata dan Ekonomi saja tidak ada satu pun postingan Instagram dukungan terhadap Formula E Jakarta. Padahal begitu aktifnya beliau mendukung Mandalika dan kegiatan pariwisata kreatif lainnya. Lebih jauhnya lagi, beliau adalah pasangan ketika menjabat jadi wagub dahulu. Apakah ini konsekuensi dari koalisi? Atau karena tersandera. Entahlah. Maka tentu saja kita patut bertanya. Apakah benar ini demi persatuan bangsa?

Begini. Jika memang demi persatuan bangsa, maka segala daya dan upaya tentu harus diwujudkan untuk itu. Namun, lihatlah bagaimana pihak penguasa dan “kelompok khususnya” merawat perpecahan bangsa. Tidak percaya? Mari kita main tebak-tebakan terlebih dahulu.

Selain flora dan fauna langka, apalagi yang dilindungi oleh negara? Rahasia negara? Terlalu serius. Jawabannya receh, tapi fakta. Apa coba? BuzzeRP! Lihat saja di media sosial banyak buzzeRP bermunculan yang suka mengadu domba atau menggiring opini. Bahkan ada sosok nyatanya yang berkali-kali berulah, tapi tetap tak tersentuh oleh hukum. Nama-nama mereka tak perlu disebutkan satu per satu. Sudah menjadi rahasia umum. Namun yang uniknya adalah, kok bisa masih banyak yang mengikuti?

Katanya demi persatuan bangsa. Tapi kok buzzeRP pemecah belah bangsa dipelihara? Ada yang jadi politisi, dapat jabatan tertentu, atau setidaknya dapat “amunisi”. Jadi, ini demi kepentingan bangsa atau elite semata?

Perlu ditekankan bahwa pada dasarnya, narasi demi persatuan bangsa tidaklah salah. Sungguh itulah yang harusnya kita jaga dan perjuangkan bersama. Yang patut dikritisi adalah siapa yang mengucapkannya dan bagaimana implementasinya. Karena kalau hanya ucapan saja, kita sudah terbiasa sejak dini. Sejak sekolah kita terbiasa dengan ucapan komitmen di upacara. Termasuk upacara di instansi tertentu saat sudah dewasa. Berbagai janji kita gaungkan bersama, tapi aksi nyatanya minim sekali. Katanya zona integritas, tapi kok cuma baliho? Di dalam kantor, jika tidak ada pelicin urusan tidak bisa lancar. Apakah itu yang dikatakan zona integritas?

Tidak Selalu Benar

Perlu dicamkan baik-baik, bahwa negara atau pemerintah tidak selalu benar. Negara dan pemerintah memang punya kuasa, tapi belum tentu selamanya benar. Karena nyatanya, banyak keputusan yang nyeleneh. Yang katanya kebijakan, tapi tidak bijak dan bajik sama sekali. Yang katanya pengadilan, tapi tidak juga adil. Tak perlu disebutkan kasusnya apa, masing-masing dari kita bisa dengan mudah mencarinya.

Negara dan pemerintah tidak selalu benar. Maka kritikan terhadap mereka adalah hal wajar. Memang, ada baiknya kritikan disampaikan dengan santun. Namun ada titik tengah yang harus kita sepakati bersama. Apa itu?

Sebagai penyampai kritik, sebaiknya kita menyampaikan dengan sebaik mungkin. Sebagai pendengar kritik, sebaiknya kita membuka telinga selebar-lebarnya, seburuk apa pun kritikan itu. Jangan malah hanya karena kritikannya tidak santun, malah tidak didengarkan. Karena banyak sekali kritikan santun tidak didengarkan. Maka karena sudah jengah, kritikan bar-bar pun wajar disampaikan.

Jangan hanya gimik saja sebagai pemimpin yang anti kritik. Namun nyatanya, hanya sebatas “iya iya”, tidak menerima. Jangan hanya gimik saja yang merakyat. Karena merakyat bukan dilihat dari pakaian dan gaya bicara, tapi dari kebijakan yang dihadirkan. Tapi ya, begitulah kita. Mudah tertipu dengan kemasan. Padahal yang harusnya kita lihat adalah rekam jejak dan bukti nyata di lapangan.

Beban dan tanggung jawab kita berbeda. Beban dan tanggung jawab antara pemerintah dan rakyat jelata tentu saja berbeda. Pemerintah tugasnya ya melayani rakyat. Maka sudah sewajarnya rakyat menuntut kepada pemerintah. Jangan malah berdalih,

“Kalau ngasih kritikan sertai dengan solusi dong.”

Hei! Pemerintah itu dibayar oleh pajak rakyatnya untuk mencari solusi. Kalau solusinya juga diberikan, ya makan gaji buta dong. Solusi dari pemberi kritik adalah bonus, bukan keharusan. Maka ada baiknya jangan hanya menyalahkan rakyat, tapi berikan ruang kolaborasi bersama. Sehingga ada upaya untuk sama-sama membangun bangsa. Bukan sebatas gimik belaka.

Sungguh, terlalu banyak gimik yang dihadirkan oleh penguasa negara. Contoh lainnya saja. Ketika upacara peringatan hari kemerdekaan di istana, para pejabat menggunakan pakaian adat. Namun, itu hanya sebatas pencitraan saja. Bagaimana dengan keberpihakan terhadap masyarakat adat? Jomplang sekali. Yang menyedihkan adalah, berita seperti ini tidak akan viral karena keterbatasan media. Lihat saja di Kalimantan atau Nusa Tenggara. Atau bahkan di Jakarta yang dekat dengan pusat negara. Tindakan sewenang-wenang itu nyata ada.

Saya mendengar kisah nyata ini dari salah satu warga di Kampung Akuarium, Jakarta Utara. Saat saya mendengar salah satu warga yang bercerita, saya benar-benar marah sekaligus sedih. Hanya untuk menggusur warga yang jumlahnya tidak sampai 1000 KK harus menurunkan 4288 polisi dan Satpol PP, intel,  mobil perintis, anjing dan tak boleh ada media yang meliput. Hal tersebut nyata adanya terjadi di Kampung Akuarium. Saya pernah menuliskannya di Instagram.

Bagaimana dengan Rempang? Lebih kurang sama saja. Sudah ada janji manis, tapi tetap saja itu hanya sebatas janji. Padahal saat itu pemimpin negara sudah datang ke sana dan mengatakan akan diberikan sertifikat. Lebih jauh daripada itu, video lamanya viral yang mengatakan “yang namanya tergusur itu sakit sekali.” Iya, betul ucapan, janji, dan videonya merakyat sekali. Namun yang penting itu apa? Bukan itu semua. Namun bukti di lapangan. Atau mungkin sekarang sudah berubah? Yang penting adalah janji, bukan bukti?

Memang, negara dan pemerintah tidak selalu salah. Dan sebaliknya, negara dan pemerintah tidak selalu benar. Maka tidak bisa dengan mudah memutuskan bahwa “demi invetasi dan kemajuan bangsa” semua cara dihalalkan. Termasuk penggusuran. Atau bahkan dengan kata yang lebih manis seperti relokasi, pengosongan, ganti rugi, atau apalah namanya.

Memang, katanya ada ganti rugi. Atau mungkin ganti untung. Tentu saja itu kabar baik. Namun itu berubah menjadi kabar buruk jika yang mengucapkannya adalah yang suka ingkar janji.

Negara dan pemerintah tidak selalu benar. Jika memang atas demi kepentingan bangsa, maka kembalilah ke pembukaan UUD 1945.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,

Bukankah ini perjuangan yang mulia? Bukankah ini sudah sering diucapkan ketika upacara? Namun, bagaimana realitanya?

Untuk Apa Kita Berbuat?

Saya teringat dengan momen tahun 2015. Saat itu, kajian duha seorang guru baru selesai. Saya pun pulang dan ingin berpindah ke titik lainnya. Belum jauh berjalan, sebuah mobil berhenti.  Dengan ramahnya guru tersebut membuka jendela dan bertanya kepada saya ingin ke mana. Berhubung arah tujuan kami sama, saya pun dipersilakannya untuk ikut serta.  Sungguh, ini kesempatan yang berharga. Saya pun memanfaatkan kesempatan ini untuk bercerita, bertanya, dan mendapatkan nasihat langsung darinya.

“Ustaz, belakangan ini kan banyak kabar negatif yang beredar di Indonesia. Dan kebanyakan itu memang benar. Saya hobi menulis dan berbagi. Tapi melihat berita tersebut terkadang saya malah pesimis dan berpikir apakah usaha saya ini bermanfaat untuk umat”

Pertanyaan yang sederhana memang. Apalagi bagi kita yang masih belum lurus hatinya dalam berbuat sesuatu. Jawaban yang beliau berikan malah berupa pertanyaan balik kepada saya.

“Kita berbuat untuk siapa? Untuk manusia atau Allah? Kalaulah karena manusia dan dunia sudah lama saya berhenti berdakwah dan menulis.”

Nasihat ini saya dapatkan langsung dari Ustaz Abdul Somad di Jalan Sudirman Pekanbaru dalam mobilnya yang berwarna hitam. Saya masih ingat. Pengalaman yang berkesan. Yang membuat saya terharu adalah, saat tahun lalu sebuah buku dititipkan padanya, beliau masih ingat dengan saya. Padahal sudah sekian tahun kami tak bertemu. Masya Allah! Semoga Allah selalu jaga beliau. Semoga Allah selalu berikan kekuatan dan perlindungan bagi beliau. Semoga Allah selalu berikan keberanian bagi beliau untuk menunjukkan keberpihakan. Aamiin.

Kepada siapa saja yang mencintai umat dan negara ini, perjuangkanlah dengan sebaik-baiknya. Bukan atas kepentingan semata. Memang, tak mudah untuk menjaga perjuangan. Pasti rasa lelah dan keinginan untuk menyerah. Ada rasa pesimis saat tak ada perubahan apa-apa. Namun, ingatlah kembali tujuan awal kita dalam berjuang. Sebenarnya, kita berjuang untuk apa?

 

One thought on “Demi Kepentingan dan Persatuan Bangsa, Katanya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *