Dear Pak Anies

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Dear Pak Anies Baswedan, bagaimana kabarnya setelah menjalani hari-hari menentukan belakangan ini? Saya mendoakan semoga kabar Bapak sekeluarga sehat selalu.

Sore hari itu, saya menonton potongan video Bapak di salah satu akun media sosial terkait respon setelah penutupan pendafaran kepala daerah di KPU. Tidak puas dengan potongan video, saya segera meluncur ke channel Youtube Anies Baswedan. Saya tonton sampai habis sembari mencuci piring di rumah. Bagi saya, ini adalah sekian menit yang penuh pembelajaran. Salam hormat saya kepada Bapak.

Izinkan melalui surat terbuka ini saya pun turut memberikan respon. Atau setidaknya kesan saya terhadap Bapak. Terkhusus beberapa waktu belakangan ini.

Jejak Pertemuan

Throwback ke momen Oktober 2011. Saat itu saya masih SMA kelas XII. Saya bersama 98 Ketua OSIS se-Indonesia berkumpul di Universitas Indonesia untuk mengikuti kegiatan Indonesian Student Leadership Camp. Bapak hadir saat itu sebagai narasumber dan inisiator Gerakan Indonesia Mengajar. Itu adalah pertama kali saya berjumpa dengan Bapak.

Menjadi narasumber di ISLC UI 2011

Setelah lulus SMA dan masa kuliah, nyaris kita tidak pernah bertemu lagi. Karena memang aktivitas saya tidak berada di Jakarta. Saya hanya melihat jejak Bapak melalui media saja. Saat saya merantau ke Jakarta barulah kita bertemu kembali pada awal 2018 di AQL Islamic Center. Ada da’i lainnya yang turut hadir. Selain Ustaz Bachtiar Nasir ada juga Ustaz Abdul Somad.

Oktober 2019 kita bertemu lagi. Bapak hadir sebagai narasumber di Pelatihan Nasional Forum Indonesia Muda yang berlokasi di Wiladatika. Jika tidak ada kendala berarti, nyaris setiap tahun Bapak menyempatkan waktu untuk hadir di forum ini. Pun jika tidak bisa hadir secara offline, Bapak akan hadir secara virtual. Hal ini membuktikan seberapa pedulinya seorang Anies Baswedan dengan kaderisasi pemimpin muda di masa depan.

September 2020 di masa Covid-19, pertemuan kita beririsan kembali. Walaupun tidak bertemu secara fisik, tapi momen ini bagi saya begitu berharga. Saat itu, oleh Forum Indonesia Muda Regional Jakarta saya diamanahkan sebagai salah satu penanggung jawab sayembara kepenulisan Gagasan Pemuda untuk Jakarta. Singkat cerita, sayembara ini selesai dan menjadi buku antologi. Buku ini Bapak terima dengan hangat. Ketika peluncuran secara virtual, Bapak memberikan pesan hangat. Salah satu potongan kalimatnya adalah, “Terima kasih sudah memikirkan Jakarta.”

Bapak tahu, momen itu menjadi penggerak bagi saya untuk terus berkarya. Di kampung halaman tepatnya Kabupaten Kampar, pada tahun 2022 saya dan anak muda lainnya melakukan hal serupa. Mengumpulkan gagasan warga melalui sayembara dan menjadikannya buku dengan harapan suara kami didengar oleh kepala daerah dan dipertimbangkan menjadi program dan gagasan. Buku tersebut lahir pada akhir 2022 dengan judul “Dari Warga untuk Kita Semua”.

Beberapa bulan setelah itu, kita bertemu kembali secara fisik. Di sebuah kegiatan bernama Bawa Ide, Bapak mengumpulkan 100 anak muda dari Aceh hingga Papua yang membawakan idenya masing-masing. Di merchandise kegiatan itu pun dituliskan “saya #bawaide untuk Anies Baswedan”. Saya sadar, ini sebenarnya bukan tentang Anies Baswedan. Melainkan Bapak hadir sebagai agregator pertemuan anak muda dan ide. Setelah pertemuan tersebut, saya berinisiatif mengajak peserta untuk menuliskan buku sebagaimana nama kegiatannya, “Bawa Ide untuk Indonesia”. Buku itu pun Bapak terima. Bapak berikan kata pengantar dalam buku tersebut.

Menyerahkan buku Dari Warga untuk Kita Semua

Saya sudah menduga sebelumya. Pertemuan tersebut tidak akan terhenti di sana saja. Terbukti kumpulan ide terpilih anak muda di pertemuan tersebut masuk dalam visi misi calon presiden 2024, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Anak muda yang hadir di pertemuan tersebut mengucapkan terima kasih karena ide mereka sudah didengar. Bagi Bapak, anak muda bukan hanya menjadi objek agar memilih, tapi diajak untuk bekerja sama membangun Indonesia.

Pertemuan terakhir terjadi di akhir tahun 2023. Jika selama ini kita bertemu di Jakarta, kali ini kita bertemu di Pekanbaru dalam kegiatan #DesakAnies. Di momen itu saya sudah angkat tangan berkali-kali, tapi tetap tidak dapat kesempatan oleh moderator. Tidak masalah, Pak. Setidaknya banyak jawaban saya sudah terjawab di berbagai momen.

Bagi saya, Desak Anies memang brilian. Mampu menjadi magnet pertemuan bagi banyak orang. Walaupun tentu tidak akan seramai dangdutan, tapi Bapak tetap meyakini strategi kampanye mencerdaskan ini. Dan terbukti, cara ini diikuti oleh banyak orang. Baik dalam kontestasi pilpres, pileg, atau bahkan pilkada. Untuk kepala daerah, sudah ada beberapa tokoh yang melakukan hal tersebut. Di Kabupaten Siak sudah pernah ada #DobrakAfni. Di Kabupaten Kampar menyusul #TandukEdwin. Saya berharap Calon Walikota Pekanbaru dan Calon Gubernur Riau pun melakukan hal serupa. Mengizinkan warga untuk mengetahui gagasan dan mengkritisinya secara langsung. Membuka dialog kepada warga, bukan sebatas kampanye satu arah.

Terima kasih Pak sudah memberikan warna dalam kontestasi politik Indonesia. Bahkan bukan hanya dalam ranah politik, tapi dalam banyak hal. Dalam ranah kehidupan secara luas. Mulai dari kampanye, prinsip, sikap, dan banyak lagi.

Dekat dengan Buku

Bapak masih ingat dengan video saat beres-beres meja kerja di Balai Kota Jakarta? Video yang menunjukkan ruangan kerja Bapak. Berisi banyak buku berharga dan konsep ruangan. Duduk bukan di meja terpisah, tapi di meja yang bersama dengan tamu. Menunjukkan kesetaraan. Tidak ada yang superior atau harus inferior. Bahkan di akhir jabatan Bapak mendorong agar setiap instansi melahirkan buku untuk merekam jejak mereka.

“Jangan sampai pengalaman bekerja di Jakarta hanya menempel di badan tidak dituliskan. Karena badan ada umurnya. Kalau tidak dituliskan, maka pengalaman itu tidak diturunkan kepada generasi berikutnya. Sehingga akibatnya, Pemprov DKI itu mulai dari nol terus.  Setiap ganti orang belajar lagi, belajar lagi karena nggak dibikin buku.”

Yang paling mengistimewakan bagi Bapak saat itu adalah saat seluruh kepala OPD menulis buku pengalaman tentang bekerja bersama Bapak. Sesuatu yang membuat Bapak terkejut dan terharu.

Saat berkunjung ke Kantor PDIP pun Bapak dekat dengan buku. Bapak datang dengan kepala tegak, berdialog, dan pulang dengan hadiah buku. Bapak adalah bukti bahwa leader is reader. Not olny reader, leader is also influence. Terbukti, tanpa Bapak sadari setidaknya ada 3 buku yang lahir dari pengaruh Bapak terhadap karya saya: Gagasan Pemuda untuk Jakarta, Dari Warga untuk Kita Semua, dan Bawa Ide untuk Indonesia. Apa persamaan dari 3 karya tersebut? Ada kata “untuk”. Kenapa? Karena hidup bukan hanya tentang diri sendiri.

Saya Kecewa, Tapi …

Jujur Pak, saat kesempatan terakhir Bapak maju ke Pilgub DKI melalui PDIP perasaan saya campur aduk. Hati kecil saya berkata tidak. Namun berbeda dengan banyak pendukung ekstrim Bapak. “Apa pun partainya, yang penting Pak Anies maju.” Begitulah kata mereka. Namun bagi saya tidak sesederhana itu. Beruntung, Bapak tidak jadi maju melalui PDIP untuk Jakarta, apalagi menjadi kader partai. Bahkan untuk Pilkada Jawa Barat saja bapak sudah mendapatkan kursi dari PDIP, tapi Bapak respon dengan epik, “Tak ada aspirasi warga.”

Kenapa hati saya enggan untuk mendukung Bapak jika maju dari PDIP? Salah satunya adalah kekhwatiran akan adanya Pak Jokowi 2.0. Lihat saja bagaimana rakyat Indonesia menilainya saat maju dahulu? Menggunakan embel-embel “new hope”. Namun, apa yang terjadi saat ini?

Jika Bapak tetap maju bersama PDIP‒dan segala “keunikan” di dalam partai tersebut‒saya khawatir bapak akan menjadi Jokowi 2.0. Rakyat yang berharap dengan “new hope” seolah Bapak adalah Satrio Piningit yang akan menyelamatkan Jakarta dan Indonesia. Lalu kemudian dalam internal partai, Bapak akan “direndahkan”. Sebagaimana banyak ucapan kontroversial petinggi partai terhadap banyak hal. Contoh dekatnya saja, bagaimana saat deklarasi dukungan Calon Gubernur Banten dipanggil dengan nada tinggi. Atau lebih tepatnya, diteriaki.  Jujur Pak, saya tidak akan tega.

Lebih dari itu. Kekaguman yang luar biasa dari pendukung membuat banyak orang tidak bisa berpikir rasional. Mengagumi tanpa menyiapkan ruang kekecewaan. Menganggap orang yang diidolakannya nyaris seperti nabi. Tentu saja pemikiran tersebut berbahaya. Padahal manusia manapun tidak ada sempurna. Penilaian saya mungkin tidak menyenangkan, tapi memang begitulah adanya di lapangan. Saya meyakini bahwa Indonesia tidak bisa diselamatkan seorang diri, harus gotong royong. Kerja bersama.

Atas apa yang terjadi, saya memang kecewa. Walaupun saya bukan lagi warga Jakarta, tapi saya masih bisa merasakannya. Bagaimana mungkin calon dengan elektabilitas tertinggi tapi tidak bisa maju hanya karena tidak ada partai yang mendukung? Atau mungkin partai yang tersandera untuk tidak bisa mendukung Bapak. Sebagaimana yang Bapak jelaskan panjang lebar di wawancara terbaru bersama Mata Najwa.

Saya mencoba untuk berpikir rasional. Saya secara pribadi tidak ingin bersikap fatalis. Misalkan, marah-marah kepada PKS yang sudah mendukung Bapak sejak 2017. Karena banyak pendukung ekstrim Bapak yang mencecar PKS. Padahal PKS adalah satu-satunya partai yang memberikan rekomendasi kepada Bapak. Mereka sudah menyediakan 18 kursi, hanya kurang 4 kursi.

Bagaimana dengan Nasdem dan PKB? Hanya memberi harapan palsu. Lantas, haruskah PKS yang dicecar dengan berbagai tuduhan irasional? Saya memang kecewa dengan PKS. Saya bahkan sudah menulis di blog saya. Namun menyalahkan sepihak PKS sebagai faktor tunggal bukanlah keputusan saya. Karena menilai personal tidak akan sama dengan partai. Banyak pertimbangan yang harus dipikirkan dengan bijak. Walaupun saya tidak terlibat secara langsung dalam timses, tapi saya adalah pemilih dan pendukung Bapak secara rasional. Bukankah itu pesan Bapak dalam setiap kampanye? Jadilah pemilih yang rasional.

Tuduhan Dijawab dengan Rekam Jejak

Banyak orang yang mengecap Bapak dengan tuduhan tidak rasional. Mulai dari politik identitas, gelandangan politik, rakus kekuasaan, dan masih banyak lagi. Atas semua tuduhan tersebut Bapak enggan untuk menjawabnya hanya dengan ucapan, tapi memberikan rekam jejak. Walaupun begitu, tetap saja mereka tidak ingin menerima. Pembenci akan tetap menjadi pembenci. Mungkin saja suatu hari akan berbalik arah.

Sebenarnya, berpikir rasional adalah kunci untuk menjawab itu semua. Mulai dari politik identitas. Bisa terjawab dengan bagaimana Bapak menjadikan Jakarta sebagai kota untuk semua, bukan hanya agama atau kelompok tertentu. Gelandangan politik? Justru dengan tidak menjadi kader politik manapun Bapak bisa berleluasa untuk bersilaturahmi dan menjalankan proses sebaik-baiknya. Mulai dari deklarator ormas Nasdem, mengikuti konvensi calon presiden Partai Demokrat, hingga kemudian diusung oleh PKS dan Gerindra di Pilgub DKI Jakarta 2017, dan diusung oleh PKS, Nasdem, dan PKB di Pilpres 2024. Kata kunci dari semua jejak tersebut adalah Bapak diundang dan diusung. Bukan menawarkan diri. Begitulah yang Bapak jelaskan di Mata Najwa.

Rakus kekuasaan? Bisa terjawab dengan mudah bagaimana Bapak menolak menjadi calon Gubernur Jawa Barat. Sebenarnya banyak hal lain yang bisa terjawab dengan rasional. Bahkan tim Bapak sudah menyediakan website fitnahlagi.com untuk menjawab berbagai tuduhan dan hoax. Namun mau bagaimana lagi. Kita tidak bisa memuaskan banyak pihak. Masalahnya adalah framing itu terus menerus dibentuk sehingga seperti itulah Bapak terlihat oleh sebagian masyarakat. Memang, buzzeRP tidak pernah lelah.

Terima Kasih, Pak Anies

Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak atas berbagai keteladanan yang diberikan. Bapak sudah membuat rakyat Indonesia punya harapan baru dengan rasional. Membuat selera masyarakat dan calon pemimpin (harusnya) naik kelas. Melibatkan masyarakat sebagai partisipan aktif, bukan hanya sebagai pemilih dibuktikan dengan Ubah Bareng. Menjadikan dialog sebagai kampanye mencerdaskan dibuktikan dengan Desak Anies. Dan masih banyak keteladanan lain.

Namun, satu fakta pahit yang harus kita terima adalah kecerdasan dan gagasan tidak bisa menjadi alat kemenangan secara instan. Bapak adalah buktinya. Di Pekanbaru juga. Saya melihat ada calon yang cerdas, punya kapasitas, sudah ada komunitas, tinggi elektabilitas, tapi (sepertinya) kurang di isi tas. Alhasil, tidak diusung oleh partai. Nasib yang lebih kurang sama dengan Bapak.

Terima kasih Pak Anies sudah memberikan banyak pelajaran dengan keteladanan. Sudah memberi contoh bagaimana caranya menjaga harapan dan merawat optimisme. Karena bagaimanapun, mutiara akan tetap menjadi mutiara. Di mana pun dia berada. Bukan hanya untuk Bapak, tapi untuk kita semua. Semoga.

Salam hangat dan hormat dari saya,

Rezky Firmansyah

Wassalamualaiakum warahmatullahi wabarakatuh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *