(Bukan) Guru Tanpa Karya

(Bukan) Guru Tanpa Karya - Rezky Firmansyah

Profesi guru sungguh mulia. Dialah yang mengajarkan banyak hal bagi kita di sekolah. Mulai dari eksakta, akhlak, kehidupan dan lain sebagainya. Maka tak salah jika muncul pepatah guru adalah orang tua kedua bagi kita.

Yap benar. Profesi guru sungguh mulia. Tapi entah kenapa karena berbagai faktor bagi sebagian orang guru hanya dijadikan sebagai bagian dari pekerjaan. Bukan bagian dari kehidupan. Dan kalau boleh saya kategorikan, ada 2 jenis guru :

  1. Dia yang ikhlas mengajarkan tanpa terlalu memusingkan bayaran. Dia mengajarkan pelajaran kehidupan, memberikan nasehat dan banyak pencerahan
  2. Dia yang hanya menjadikan guru sebagai bagian dari pekerjaan. Memilih karena saat ini tunjangan gaji cukup besar. Pergi sekolah, mengajar, pulang tanpa peduli siswanya mendapatkan insight atau tidak

Saya berdoa semoga semakin banyak guru di Indonesia yang menjadi golongan pertama. Aamiin

Beberapa hari yang lalu saya pergi bersama seorang guru SMA sekaligus seorang ustadz. Saya kenal beliau sudah sejak lama sekali. Kira-kira sejak SD. Maka berbincang banyaklah saya dengan beliau. Mulai dari pendidikan, agama, dan buku!

Beliau alumni dari madinah di S1 dan S2 di Bandung dengan jurusan konsentrasi pendidikan. Maka gelar di belakang namanya adalah LC, MA. Sudah lama memang beliau mendalami tentang pendidikan. Dan salah satu yang ingin dia hasilkan adalah buku. Setelah berdiskusi panjang lebar maka beliau mendapatkan AHA! dari apa yang saya sampaikan

“Bodoh sekali berarti saya. Sudah lama mengajar dan berbicara dimana-mana tapi tidak ada menghasilkan buku sebagai karya”

Sedikit banyaknya saya setuju walaupun makna bodoh diatas jangan dimaknai sembarangan. Dari hasil diskusi tersebut ada beberapa hal yang menurut saya menjadi MENTAL BLOCK bagi seorang penulis pemula, termasuk dari beliau sebagai seorang guru :

  1. Harus Teoritis

Teoritis itu penting. Tapi terlalu teoritis juga tidak baik dan jadinya membosankan. Yang perlu ditanamkan adalah apa yang disampaikan adalah kebenaran dan berani mempertanggungjawabkan apa yang kita tulis  

  1. Mikir Berurutan

Saya mengasumsikan inilah hasil dari pendidikan yang kita rasakan selama ini. Karena cara pikir kita terlalu kaku dan seringkali buntu. Padahal dalam menulis buku kalau buntu bab 1 ya lanjut bab 2 atau bab 3. Gitu

  1. Puas dengan Keadaan

Nah ini yang patut diwaspadai. Banyak dari kita yang selama ini nyaman dengan kondisi. Termasuk seorang guru, trainer, pembicara ataupun yang intinya menyampaikan ilmu. Seringkali kita puas hanya dengan menyampaikan. Padahal jika seorang yang berbicara paling hanya diingat oleh pendengar selama beberapa hari. Tetapi jika yang berbicara menuliskannya menjadi buku ataupun tulisan, maka apa yang dia sampaikan akan mengendap. Selain itu, buku juga akan menjadi NILAI TAMBAH bagi seorang guru di mata muridnya. Percayalah

Hmmm, begitulah apa yang dapat saya simpulkan dari Quality Time bersama beliau. Dari hasil diskusi tersebut membuat ide lama saya kembali muncul. Yaitu mengadakan program Guru Menulis. Sederhananya, seorang guru tidak hanya mengajarkan apa yang ada dibuku tetapi juga memberikan inspirasi, mengajarkan ilmu kehidupan dan menghasilkan karya menjadi buku. Tentu program ini tidak bisa dilakukan sendiri. Nah jika kamu tertarik dengan program ini, ayo berkolaborasi untuk pendidikan Indonesia lebih baik J

“Setiap dari kita adalah guru sekaligus murid. Ada saatnya kita belajar, ada saatnya kita mengajar. Maka berkaryalah untuk Indonesia yang lebih baik”

Keep Writing, Always Inspiring!

Rezky Firmansyah
Founder Passion Writing
Penulis buku tersebar di 5 benua

Mau diskusi asik bahas soal Kepenulisan Passion Kepemudaan? Dengan senang hati saya membuka kesempatan. Silahkan invite 76B4BF69/085363949899 dan juga  follow @rezky_rf9

Kamu merasakan manfaat dari tulisan ini? Tulis comment dan klik tombol share di bagian kiri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *