Beberapa hari lalu, saya menulis di blog dengan judul “Apakah Kegiatan Besar Hanya Sebatas Seremonial?” Tulisan tersebut sebenarnya merespon salah satu kegiatan yang diadakan oleh pemerintah daerah di kota sebelah. Seorang teman pun memberikan respon yang bagi saya menarik. Seperti ini.
Menjawab pertanyaan teman tersebut. Apakah bisa dipahami oleh mayoritas pasar yang umumnya pendidikan rendah? Jawabannya belum tentu.
Setiap tulisan pasti punya pasarnya tersendiri. Tidak terkecuali tulisan yang saya tulis tersebut. Sulit bahkan mustahil untuk menyasar dan dipahami oleh setiap pasar. Karena itulah kita harus paham dengan siapa target pasar kita.
Membuat tulisan yang mudah dipahami adalah kunci agar tulisan bisa meluas. Namun bukan berarti juga kita harus membuat tulisan yang receh. Memang, bagus itu relatif. Namun kualitas tetap harus diusahakan. Sebagaimana tagline dari Tempo, “Enak dibaca dan perlu”. Pertanyaannya, apakah semua orang bisa memahami tulisan Tempo? Tidak juga.
Saya pernah mendengar anekdot yang entah dari siapa sumbernya. Pesannya lebih kurang seperti ini.
“Menjadi penulis di negara yang masyarakatnya malas membaca adalah sebuah kebodohan.”
Bisa jadi benar. Namun kembali lagi. Kita menulis untuk apa? Hanya karena keuntungan materi atau berusaha untuk mengambil peran sebagaimana pembukaan UUD 1945. Turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Atau menulis dengan tujuan yang lain? Sah-sah saja. Karena setiap tujuan pasti punya tantangannya tersendiri.
Memang, di zaman dengan perkembangan teknologi yang super cepat ini kita mudah sekali diserang informasi sana-sini. Menemukan kebenaran pun sangat sulit. Tidak percaya? Bukankah sudah sering kita melihat fenomena di mana suara guru besar diabaikan sedangkan opini influencer dan buzzerp diterima mentah-mentah?
Kita dihadapkan dengan era post-truth. Era di mana standar kebenaran tidak lagi terlihat jelas. Penyimpangan dinormalisasi. Keburukan dikemas dengan begitu indah sehingga terlihat sebagai kebenaran alternatif. Berbagai dalil pun dijadikan pembenaran,
“Open minded dong.”
Narasi seperti ini tentu saja berbahaya. Seolah-olah orang yang punya prinsip berarti tidak open minded.
Kembali lagi dengan respon dari teman di awal tulisan. Apakah sebuah tulisan (dalam hal ini tulisan saya) bisa dipahami oleh mayoritas masyarakat? Jawaban saya, tidak tahu. Karena jawabannya hanya bisa didapatkan bagi yang membaca. Namun, jika membaca saja enggan, bagaimana mungkin bisa paham?
Tingkat IQ dan literasi memang masih menjadi PR bagi bangsa ini. Misi negara harusnya mencerdaskan. Namun sepertinya, kebodohan lebih dipilih untuk dirawat daripada dientaskan. Jika membedakan Sandra Dewi dan Dewi Sandra saja netizen tidak bisa, lantas masih bisakah kita optimis dengan masa depan generasi emas?