Karena sering berbicara tentang politik, tidak sedikit yang mendorong saya untuk serius menjadi politisi. Membuktikan diri dengan masuk ke sistem atau menjadi anggota partai politik. Kenapa? Karena katanya, hanya seseorang yang berkuasa yang lebih memungkinkan untuk memberikan kontribusi nyata. Benarkah?
Kontribusi dan kekuasaan. Harusnya saling berpasangan. Namun tidak selamanya begitu. Ada yang punya kekuasaan tinggi tapi kontribusinya minim. Adakah yang punya kekuasaan tinggi tapi kontribusinya besar? Ada juga. Tapi setidak sebanyak tipe sebelumnya. Namun sayangnya seseorang yang yang kekuasaan kecil memiliki batas tertentu dalam memberikan kontribusi. Tidak punya kekuasaan dan tidak punya kontribusi? Jangan sampai kita begitu. Karena pasti kita punya kekuasaan dan peluang kontribusi walaupun sedikit. Setidaknya untuk orang terdekat.
Jangan mengejar kekuasaan, tapi fokuslah pada kontribusi. Karena kekuasaan bukanlah tujuan, melainkan hanya alat. Jangan salah fokus. Karena faktanya kerapkali terbalik. Banyak yang fokus mengejar kekuasaan, lalu saat sudah tercapai akan bingung ingin berkontribusi apa. Alhasil, seringkali kebijakan blunder terjadi. Atau setidaknya kaya akan atraksi tapi miskin atribusi. Bombastis pada publikasi tapi tidak benar-benar berkontribusi. Fokus pada seremonial tapi abai pada esensi.
Sudah dari dulu saya tertarik dengan politik. Walaupun memang bukan politik praktis sebagai kader partai atau ormas tertentu. Hanya sebagai pengamat, menganalisa, bertanya, menulis, dan aktivitas berpikir lainnya. Bahkan pada tahun 2017 saya pernah menulis buku berjudul “7 Inspirasi Bupati”. Di sudut kanan atas tertulis “kumpulan ide solusi (calon) Bupati Kampar 2037 untuk pemimpin dan anak daerah.” Download saja ebook-nya di sini. Kelak, 20 tahun setelah buku ini rilis, sayalah yang akan menjadi bupati. Imajinasinya seperti itu. Apa yang dibahas dalam buku tersebut? Singkatnya seperti bagan ini.
Gara-gara menulis buku itu‒dan berbagai pencitraan lain tentunya‒banyak orang yang mengira saya benar-benar serius ingin menjadi bupati. Maka wajarlah jika banyak yang bertanya-tanya atau bahkan mendorong untuk mulai serius mendekat ke partai politik. Baik menjadi pengurus partai atau bahkan mencoba peruntungan di DPRD. Maka tulisan ini bermaksud untuk menjawab berbagai dorongan tersebut.
Yang saya targetkan pada tahun 2037 (yang direvisi menjadi 2039) sebenarnya bukanlah menjadi bupati. Karena bagi saya, bupati bukanlah ambisi, tapi misi. Kelak pada tahun tersebut, yang terpenting bukanlah saya menjadi bupati, tapi memiliki pengaruh dan manfaat yang kuat. Sekuat bupati bahkan. Posisinya apa? Bisa beragam.
Jujur saja, sampai sekarang saya belum merasakan urgensi untuk terjun langsung di ranah politik praktis. Dengan berbagai kotoran dinamika yang terlihat di lapangan, saya belum siap.
Selain belum merasakan urgensi, saya juga belum siap dengan konsekuensi yang harus setuju terhadap keputusan partai. Apalagi partai yang kerap memberikan pernyataan kontroversial. Apa yang harus saya sampaikan kepada publik sebagai kader partai? Besar kemungkinan saya tidak akan menyampaikan kebenaran, tapi hanya pembenaran. Pun jika saya akan menyampaikan kebenaran sesuai dengan idealisme yang dimiliki, besar kemungkinan saya akan disudutkan oleh partai politik tersebut.
Baca juga:
Demi Kepentingan dan Persatuan Bangsa, Katanya
Efek Fenomena Kepemimpinan Negeri: Dari KZL Menjadi MLZ
Memang, sulit menjaga idealisme sebagai politisi. Anak muda yang masuk ke partai politik pun begitu. Dulunya begitu berapi-api, tapi setelah masuk ke sistem idealismenya malah hilang entah ke mana. Atau mungkin idealismenya hanya sebatas itu. Salah satu politisi muda yang dulunya idealis bahkan mengatakan seperti ini,
“Politik di Indonesia ini kotor. Kita harus menang terlebih dahulu barulah bisa mengubah segalanya.”
Sebagai konteks. Beliau adalah salah satu pendukung capres yang juga memiliki masalah etik. Tak perlu disebut siapa, kita sama-sama tahu siapa.
Idealisme tidak akan membuatmu kenyang. Begitulah kata sebagian orang. Mereka yang menganggap diri sudah merasakan asam pahitnya kehidupan menjadikan hal tersebut sebagai kebenaran baru. Apakah benar kita tidak bisa menjaga idealisme dalam berpolitik?
Memang, politik itu dinamis. Namun mau sedinamis apa pun politik, bukan berarti kita harus mencari pembenaran. Sulit memang untuk mengakui kebenaran dalam berpolitik. Karena itulah dibutuhkan strategi. Koalisi bukan berarti hina. Pun begitu oposisi tidak selalu mulia. Namun pastikan, ada etik dan nilai yang perlu kita jaga. Bersih dan kotornya politik itu tergantung aktor. Bisakah kita mengambil peran yang sebijak-bijaknya?
Lantas, apakah tidak ada sosok ideal yang saya jadikan panutan dalam berpolitik? Tentu saja ada. Ideal bukan berarti sempurna. Ideal adalah sosok yang memiliki kesesuaian nilai yang diperjuangkan. Sebut saja pemimpin yang menjadi profesional di bidangnya seperti Ridwan Kamil atau Anies Baswedan. Mereka adalah contoh tokoh yang saat diusung sebagai kepala daerah bukanlah kader partai politik. Banyak lagi sebenarnya.
Keputusan tidak menjadi kader partai bagi calon kepala daerah tentu memiliki peluang dan ancaman masing-masing. Peluangnya, mereka tidak “tersandera” oleh kepentingan partai dan lebih mengutamakan rakyat. Ancamannya, partai sebagai kendaraan politik belum tentu benar-benar mau bergerak. Boleh setuju, boleh juga tidak setuju. Toh ini hanya analisis sebagai orang awam saja.
Tulisan ini baru menjawab dua dari mungkin banyak alasan lain. Atas berbagai pertimbangan tersebut, saya pun menilai diri. Sepertinya saya belum cocok menjadi politisi. Saat ini, mari fokus pada meningkatkan kapasitas diri dan berkontribusi. Bukan hanya untuk saya saja, tapi siapa saja. Termasuk kamu yang membaca.