Apakah Kegiatan Besar Hanya Sebatas Seremonial?

Kemarin, saya menghadiri kegiatan yang infonya didapatkan dari baliho di pinggir jalan. Ada juga tersebar flyer digitalnya di Whatsapp dan Instagram. Kegiatan yang bagi sebagian orang mungkin diabaikan begitu saja. Namun bagi sebagian yang lain, ini kegiatan yang menarik untuk didatangi. Saya mencoba untuk berpikir berbeda. Saya penasaran, ada kegiatan apa sih? Karena di baliho tidak ada tertulis rincian aktivitas. Hanya judul utama saja. Ditambah dengan beberapa info penting seperti lokasi dan waktu.

Berhubung ini masih tahun politik, saya sudah memprediksi bahwa ini akan menjadi agenda politik. Bohong jika tidak ada unsur politik. Karena politik itu tidak sesempit memilih pemimpin, tapi punya artian yang lebih luas. Dan benar saja. Prediksi saya itu diiyakan oleh PJ Bupati dengan bahasanya sendiri saat menyampaikan kata sambutan.

“Ini memang agenda politik, tapi tidak untuk memunculkan satu nama. Siapa saja yang hadir dan akan maju, dipersilakan.” Begitulah kira-kira ucapnya.

Satu per satu nama yang hadir dan ditokohkan untuk maju pun disebutkan. Mulai dari calon bupati, calon walikota, hingga calon gubernur. Sah-sah saja. Lagipula itu hanya ucapan, bukan himbauan untuk memilih.

Sejauh ini, baru kali ini saya menghadiri kegiatan ini. Bahkan saya baru tahu ya tahun ini. Mungkin karena selama ini saya merantau dan kini menetap di kampung halaman. Ditambah lagi informasi dari pihak penyelanggara yang disebutkan dari panggung bahwa kegiatan ini rutin diadakan setiap tahun. Namun karena Covid-19, beberapa tahun belakangan kegiatan tersebut ditiadakan. Atau mungkin, konsepnya lebih kurang sama, tapi namanya yang berbeda.

Saya hadir telat, dan disengaja. Kenapa? Karena saya sudah memprediksi, hampir setiap kegiatan, apalagi yang diadakan oleh pemerintah pasti molor dari jadwal yang seharusnya. Dan prediksi saya benar. Sekitar 9.30 WIB saya sampai di lokasi, kegiatannya masih kata sambutan dari tokoh tertentu. Saya duduk manis saja sambil menunggu. Kata sambutan dari tokoh A, B, C, dst. Diselingi oleh MC dengan gaya bahasa daerah. Setelah itu, apa lagi? Salam-salaman. Barulah saya sadar. Ternyata kegiatan ini “hanya” silaturahmi sekaligus halal bi halal. Kegiatan pun ditutup dengan makan bersama.

Mungkin, ekspektasi saya terlalu tinggi. Saya berharap adanya diskusi publik yang dipimpin oleh tokoh tertentu. Setelah diskusi dan dialog, ada tindak lanjut konkret untuk berbuat sesuatu bagi daerah. Sehingga dengan begitu, peserta yang hadir bisa mengetahui gagasan para tokoh yang hadir. Atau bahkan yang digadang-gadang untuk maju di kepala daerah. Namun ekspektasi saya tak menjadi realisasi. Tetap menjadi ekspektasi.

Baca juga:
Demi Kepentingan dan Persatuan Bangsa, Katanya
Tokoh Publik Jangan Anti Kritik

Salah satu momen yang cukup mengecewakan bagi saya adalah saat salah satu tokoh yang menyampaikan kata sambutan menyindir tokoh lain yang tidak hadir. Bahkan disebut-sebut menghalangi kegiatan tersebut. Entah benar atau tidak. Momen yang lebih kurang seperti kampanye capres di lokasi yang sama. Bernarasi di depan pendukung, bahkan menyindir dengan kata-kata yang tidak pantas. Namun saat berhadapan langsung dengan lawan bicara yang sepadan, tak sanggup melawan. Ironisnya, banyak potongan yang menggiring opini publik bahwalah dialah yang menjadi korban. Menjengkelkan sekali bukan?

Saya masih menyayangkan. Kegiatan sepotensial ini hanya sebatas seremonial saja. Walaupun para tokoh yang diwawancara mengatakan kegiatan ini sukses, tapi saya rasa itu hanya bahasa diplomatis. Atau mungkin, ekspektasi dari panitia ya hanya silaturahmi saja. Tidak lebih. Namun setidaknya, pihak penyelanggara bisa berbuat lebih. Sesederhana himbauan agar sampah dibuang pada tempatnya. Bukan dibiarkan begitu saja setelah diberi makan siang gratis. Mungkin inilah gambaran mayoritas masyarakat kita. Lebih mudah diberi makan siang gratis daripada berpikir bersama.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *