“Kita pernah ditawarkan juga oleh Walt Disney. Tapi kami nggak mau melepasnya.”
Coba tebak, karya asli anak Indonesia apa yang ditawarkan oleh Walt Disney?
Belum genap setahun, subcriber di Youtube sudah mencapai 4,2 juta.
Acara offline pertama dengan tiket 13.000 yang hadir membludak mencapai 25.000.
Sekilas, itulah prestasi karya asli anak Indonesia. Nusa, Anta, dan Rara. Yap, @NussaOfficial adalah jawabannya.
Jika dihitung-hitung, ini adalah pertemuan ketiga saya bertemu dengan The Little Giant, tim kreator dari Nussa Rara. Pertama di Limitless Campus. Kedua, di AQL Islamic Center. Dan ketiga, di Ideafest. Selalu ada inspirasi yang saya temui. Termasuk pertemuan kali ini.
Kembali ke fakta menarik awal yang saya sampaikan. Kenapa saat ditawarkan oleh Walt Disney, tapi enggan melepasnya? Saya tidak bisa menyebut berapa angka akuisisi yang ditawarkan oleh Walt Disney. Ya coba bayangkan sendiri saja. Walt Disney loh.
“Karena kami ingin membuktikan bahwa Indonesia bisa.”
Sekilas, itulah jawaban dari Ricky Manoppo. Saya percaya itu adalah kuncinya. Tapi saya ingin mengkritisi kalimat ini. Berapa banyak kalimat ini seringkali menjadi ucapan manis di bibir saja?
Tentang sebuah visi. Layak bagi kita untuk mengkritisi apa yang selama ini diklaim sebagai perjuangan. Lihatlah, berapa banyak milenial yang bikin startup dengan visi mulia tapi tidak berapa lama berhenti. Para politisi muda yang katanya punya idealisme, tapi tak jarang salah arah. Penulis yang katanya pengen menginspirasi dan menebar manfaat, tapi karyanya belum jadi-jadi. Duh, siapa ya.
Saya mengapresiasi orang yang meyakini bahwa Indonesia bisa. Tapi bagaimana caranya agar ucapan itu dibuktikan? Pengalaman adalah kuncinya.
Anak muda punya idealisme, orang tua punya pengalaman. Jangan dibenturkan, tapi pertemukan.
Tak puas dengan jawaban di panggung, saya pun berbincang kepada Aditya Triantoro, CEO The Little Giant. Setelah saya ulik, ternyata beliau sudah 15 tahun berkarya di luar negeri. Seingat saya Singapura dan Eropa. Lalu setelah 15 tahun, kenapa kembali ke Indonesia? Nah ini.
Aditya melihat ternyata di jajaran perusahaan tempatnya dulu bekerja, banyak atasannya orang Indonesia. Mereka meyakini juga bahwa Indonesia bisa. Hingga satu titik, akhirnya dia memutuskan kembali ke Indonesia dan berkarya untuk Indonesia. Bahkan timnya yang di luar negeri juga ada yang diajak loh untuk membesarkan The Little Giant. Pulang untuk membangun negeri.
Indonesia bisa. Tapi ucapan itu akan dibuktikan dengan pengalaman. Mungkin, jika belum berkelana selama 15 tahun, tidak akan ada The Little Giant. Pun jika ada, bisa jadi mereka sudah menjual Nussa Rara ke Walt Disney. Ya, siapa yang tahu.
Kepada anak muda, termasuk saya, bagaimana pun kita harus optimis dengan masa depan Indonesia. Walaupun elit politik begitu menyedihkan, terus saja bergerak. Karena visi mulia itu harus dibuktikan, bukan hanya diucapkan. Pengalamanlah yang akan menjadi saksi. Pantaskah kita?
***
Halal dan Hijrah Bukan Hanya Gimmick
Selain kreator Nussa Rara, hadir juga dari Scarf Media, Temi Sumarlin. Scarf Media singkatnya adalah Modest Fashion, Beauty, and Lifestyle Media. Begitulah yang tertulis di websitenya. Saya tidak bisa banyak berbicara tentang Scarf Media karena “dunia yang berbeda”. Ya masa saya pakai hijab, kan lucu. Haha.
Tapi bukan karena itu sih. Hanya ada beberapa hal yang saya kritisi terkait gelombang hijrah atau gimmick halal. Tapi saya tidak perlu nyinyir. Saya hanya ingin berbagi opini.
Sebagai negara mayoritas Islam terbesar, awareness halal di Indonesia belakangan ini memang meningkat. Walaupun begitu, masih kalah dengan negera lainnya. Negara tetangga seperti Malaysia, bahkan Jepang yang sedang mempersiapkan olimpiade dengan “pusat halal”.
Scarf Media mencoba hadir untuk berperan di sana. Karena media bertanggungjawab bukan hanya menyampaikan, tapi menyampaikan hal yang halal. Setuju?
Halal itu penting. Buktinya, pernah suatu waktu ada perusahaan sepatu yang menggunakan bahan dasar pigskin. Katanya sih udah lama. Tapi awareness masyarakat yang meningkat mengakibatkan barang-barangnya dikembalikan. Lalu mulailah diperbaiki. Ada logo halal yang benar-benar halal. Hasilnya, omset meningkat. Nah, jika logo halal bisa meningkatkan keuntungan ditambah lagi bernilai amal dan dakwah, kenapa enggan? Begitu cerita Temi.
Tapi gimmick halal saja tidak cukup. Apa-apa halal. Bahkan kerapkali marketingnya gagal. Kenapa? Karena salah dalam komunikasi. Temi menyampaikan, ada klien yang ingin menjual mesin cuci halal. Lah coba bayangkan, gimana tuh mesin cuci halal. Oh ternyata setelah digali bukan mesin cuci halal. Lebih tepatnya adalah mesin cuci hijab. Karena bagi sebagian ukhti-ukhti yang hijabnya mahal, pasti cara mencucinya beda. Betul apa benar?
Bicara tentang hijab, di Indonesia perkembangannya booming sejak 2010. Media dan komunitas adalah kuncinya. Adanya Hijabers Community hingga fashion desainer Muslimah yang mulai meningkat. Gelombang hijab dan hijrah yang semakin meningkat adalah sesuatu yang baik. “Wabah” yang baik tentu harus diterima dengan baik pula. Tapi hijab hanyalah etalase. Baru penampakan luar. Bagaimana dengan isi?
Apakah halal menjadi lifestyle atau worldview? Betul berhijab itu wajib. Tapi sekali lagi, hijab adalah etalase. Bagaimana dengan worldview? Apakah shalat 5 waktu dikerjakan? Apakah ghihah terhindarkan? Apakah berpakai syar’i untuk dipuji atau meraih ridho ilahi?
Gelombang hijrah terkini adalah hal yang patut kita apresiasi. Jangan digembosi. Tapi bukan berarti kritikan membangun tidak diperlukan lagi. Jangan terhenti di sini. Perjuangan kita masih panjang, berjumpa di surga nanti. Insyaallah.