“Nulis ya nulis aja. Nggak perlu skill editing.”
Pernyataan barusan ada benarnya, tapi tidak sepenuhnya. Seharusnya pernyataannya diubah menjadi:
Tentu dua penyataan tersebut punya makna yang berbeda. Jika pernyataan pertama mengabaikan skil editing, sedangkan pernyataan kedua adalah mengakhirkan editing. Jelas ya bedanya.
Saat menulis memang yang paling penting adalah menulis. Proses kreasi. Tapi bukan berarti skill editing tidak penting. Jangan serahkan semuanya ke editor. Memangnya posting tulisan di blog dan Instagram editornya orang lain? Tentu saja tidak. Yang melakukan proses editing siapa? Ya diri sendiri. Nah, itulah namanya self editing.
“Nulis ya nulis aja. Editing belakangan.”
Sebagai konsultan kreatif menulis, menulis dan editing adalah aktivitas utama saya. Satu aktivitas lain tapi tak kalah penting adalah memberikan feedback.
Yap, saya sering memberikan feedback tulisan. Baik dalam program menulis atau rekan yang sedang menulis buku. Dalam proses feedback tersebut, seringkali saya menemukan kekeliruan yang hampir sama. Apa saja? Berikut adalah beberapa poin yang perlu kamu perhatikan saat melakukan self editing.
1. Perhatikan Kesalahan Minor
Memang namanya minor. Tapi kalau kesalahan minor terjadi berkali-kali, efeknya malah mayor. Kesalahan minor yang berulang membuat mata pembaca tidak nyaman. Apa contohnya?
Kesalahan minor yang sering saya lihat adalah:
- Typo
Coba deh baca ulang sebelum mengirim atau mempublikasikan tulisan. Baca ulang menjadi salah satu seleksi mandiri agar tulisan menjadi lebih rapi. Cek mana yang salah ketik.
- Penulisan “di”, “pun”, “nya”, dan partikel lain yang harusnya pisah atau sambung
Khusus kata depan “di” cara membedakannya mudah. Apabila kata kerja pasif, maka digabung. Contoh: dilakukan, dipukul, dicintai. Apabila kata tunjuk lokasi atau waktu, maka dipisah. Contoh: di sana, di pagi, di rumah.
- Kapitalisasi kata
Perhatikan mana yang harus huruf kapital dan mana yang harus huruf kecil. Termasuk judul. Di judul bukan semua kata harus kapital ya. Untuk judul, link berikut bisa menjadi referensi bacaan.
- Penggunaan tanda baca
Yang paling sering adalah penempatan titik dan koma berantakan. Ada juga yang memberikan spasi setelah huruf akhir sebelum tanda tanya. Contoh: Bagaimana bisa ? (ada spasi sebelum tanda tanya)
- Penulisan dialog
Salah dua kesalahan yang sering terjadi saat menulis dialog adalah peletakan koma setelah atau sebelum petik dua dan penggunaan huruf kapital. Untuk poin ini cara membedakannya yang cukup detail bisa dibaca di sini saja ya.
Lalu apa solusinya?
Pelajari PUEBI. Panduan Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Silakan download di sini. Atau baca secara online di sini.
PUEBI bukan membuat tulisan jadi kaku. PUEBI membuat tulisan lebih rapi. Ohya, gunakan juga Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk pemilihan kata yang benar ya.
2. Paragraf dan Kalimat yang Terlalu Panjang
Banyak saya melihat paragraf yang panjaaaaaang banget. Bikin mata tidak nyaman membaca. Coba deh pisah menjadi beberapa paragraf. Efeknya akan menjadi jauh lebih ramah di mata pembaca. Idealnya 5-8 kalimat dalam satu paragraf sih oke.
Begitu juga kalimat. Ada juga kalimat yang panjaaaaang banget. Lupa memberikan titik atau koma. Cara menguji kalimat sudah kepanjangan atau normal adalah dengan membacanya. Kalau pas membaca ngos-ngosan, maka itu sudah kepanjangan. Coba pecah menjadi beberapa kalimat. 8-12 kata okelah
Angka tadi hanya angka perkiraan ya. Angka psikologis. Cara mengujinya lihat saja. Jika sudah kepanjangan, pecah menjadi beberapa. Menyesuaikan saja. Tidak perlu saklek dengan angka.
Ohya tambahan. Saya pribadi lebih suka saat membaca dialog di paragraf baru, bukan di dalam paragraf yang sama. Kenapa? Karena dengan adanya perpindahan paragraf, kesannya ada “rekreasi mata”. Mata tidak terpaku pada paragraf yang sama. Ini bukan tentang salah atau benar ya. Ini hanya pilihan saja agar terlihat lebih nyaman dibaca.
3. Perspektif Penulis yang B Aja
Ini hal sederhana, tapi penting banget saat memulai untuk menulis.
Setiap cerita tentu ada makna. Tapi pembaca pun kritis. Mereka tidak hanya butuh membaca kata demi kata. Mereka butuh “aha”. Apa sekiranya hal berbeda atau baru yang diberikan oleh penulis kepada pembaca.
Jika hanya cerita pengalaman, berikan pengalaman khasnya. Bukan hanya cerita dari kecil hingga tumbuh dewasa. Tulisan ini apa apa uniknya? Kira-kira begitu kesan pembaca. Contoh pengalaman yang khas:
- Bagaimana dari keahlian desain slide bisa ke Eropa gratis
- Mendapatkan testimoni dari direct message Instagram yang menjadi energi untuk terus berkarya
- Pengalaman 5 menit bertemu seseorang yang mengubah hidup
Apa pengalaman menarikmu? Pasti ada kok yang menarik. Jika tidak ada, bukan pengalaman kamu yang salah. Tapi perspektif yang dipakai terlalu biasa. Saya pernah menulis di blog terkait perspektif saat bertemu dengan Kurniawan Gunadi. Silakan baca di link ini. Semoga bisa membantu.
4. Opening dan Closing yang Boring
Opening adalah kunci agar pembaca melanjutkan bacaannya. Bayangkan jika paragraf awal panjang banget. Atau kalimat pembuka datar-datar saja. Pembaca tidak penasaran. Maka coba berikan hal berbeda. Sesuatu yang bikin penasaran. Bisa juga dengan memberikan quote di awal.
Begitu pula penutup. Jangan ditutup dengan biasa saja. Jangan menggantung. Berikan kesimpulan berupa call to action, closing statement, atau call back. Bisa juga dengan memberikan quote.
Quote adalah bumbu. Bumbu bisa digunakan di awal, tengah, atau akhir. Gunakan saja secukupnya.
5. Tulisan Berlemak
Pernahkah kamu membaca tulisan yang banyak basa basi? Tulisannya mutar-mutar? Atau kalimatnya kebanyakan tapi minim makna. Nah, itulah yang dimaksud tulisan berlemak.
Tulisan yang bagus itu indikatornya bukan panjang atau pendek. Tapi memberikan makna kepada pembaca. Pernah suatu hari saya diskusi dengan Ustadz Akmal Sjafril melalui Instagram live. Reviewnya bisa dibaca di sini.
Dari diskusi tersebut, ada satu hal menarik. Prinsip beliau dalam menulis adalah kalimat yang digunakan “irreplaceable”. Setiap kalimat harus memberikan makna dan tak tergantikan. Apabila sebuah kata atau kalimat jika dihapus dan tidak mengurangi makna, maka hapus saja. Basa basi tentu perlu. Tapi kalau kebanyakan, bisa basi.
Sebagai tambahan, kamu bisa menggunakan efek bold untuk menekankan pada poin yang penting. Misalkan di tulisan saya ini. Poin demi poin saya gunakan di penomoran dan efek bold.
Bagaimana dengan tulisanmu? Apakah masih banyak lemaknya? Apakah masih banyak kalimat dan kata yang tidak efektif?
6. Judul yang Tidak Menjual
Judul adalah satu bagian dari pembuka. Bukan satu-satunya ya, tapi salah satunya.
Berikan judul yang menjual. Bukan hanya judul seadanya saja. Bagaimana caranya membuat judul yang menjual?
- Gunakan Angka – 7 Tips Cantik dan Tetap Syar’i
- Beri Solusi – Beli Rumah Tanpa Hutang Bank
- Bikin Penasaran – Berteman dengan Kebangkrutan
- Bermain Rima – Menjadi Ibu yang Dinanti Setiap Hari
Ada ide lagi?
7. Tulisan “Kentang”
Saya baru tahu istilah kentang belakangan ini. Ada yang namanya “kentang, kenyang tanggung.”
Apa maksudnya?
Coba deh baca tulisannya. Udah oke sih. Bagus. Tapi dirasa tanggung aja. Sedikit lagi bisa lebih oke. Kalau ada perasaan semacam itu, nah itulah tulisan kentang.
Untuk poin ini emang agak tricky sih. Pakai feeling. Tapi bisa menyiasatinya dengan memberikan kepada beberapa orang dan meminta mereka untuk memberikan feedback. Bisa jadi dengan feedback mereka ada hal yang bisa ditambah. Kenyangnya tidak tangung lagi.
***
Nah, itu tadi 7 poin penting yang bisa kamu perbaiki saat proses self editing. Semoga dengan 7 poin ini tulisanmu bisa lebih rapi dan berkesan kepada pembaca ya.
Ohya. Artikel kali ini khusus untuk tulisan singkat saja. Kalau tips untuk mengubah buku yang B aja agar menjadi istimewa, kamu bisa baca di sini.
Jika dirasa tulisan ini bermanfaat, sebarkan juga ke teman-temanmu.
Keep writing and inspiring!