30 hari menulis buku, emang bisa?
Jawaban versi singkat dari pertanyaan ini hanya tiga. Bisa, mungkin, atau tidak. Tapi kalaulah hanya itu jawabannya, untuk apa ada tulisan ini. Kamu tentu berharap jawaban yang solutif kan?
Sebelum berbagi tips, saya mencoba bertanya terlebih dahulu pada diri sendiri. Bisakah saya menulis buku dalam 30 hari?
Memang, dulu saya pernah menulis buku dalam durasi semingguan saja. Tapi itu buku tipis. Kamu bisa cek di IG @karyarezky. Sedangkan buku dengan ketebalan pada umumnya, saya pernah juga berhasil lebih kurang 30 hari. Tapi itu dulu. Bagaimana dengan sekarang? Apakah masih bisa?
Ini pengalaman nyata yang saya alami di antara Juni-Juli kemarin. Semoga cerita ini bermanfaat dan memberikan keyakinan untukmu bahwa ternyata bisa kok menulis buku dalam 30 hari.
Saya mencoba untuk membedah proses perjalanan ini. Kira-kira apa yang mendukung saya bisa menulis buku dalam 30 hari?
5 Langkah Kunci Agar Bisa Menulis Buku dalam 30 Hari
- Niat dan keyakinan yang kuat
Akhir April, saya dihubungi oleh seorang penulis. Pertemuan kami pertama kali sebenarnya pada awal 2020 sebelum pandemi menyerang. Setelah itu, nyaris kami tidak ada interaksi intens. Paling hanya via chat Whatsapp. Tapi akhir April kemarin, beliau menghubungi saya secara tiba-tiba.
Singkat cerita, saya ditawarkan untuk menulis buku sejarah sebuah perusahaan. Saya sempat ragu pada saat itu karena durasi yang singkat dan ada naskah lain yang harus diselesaikan. Belum ada kelanjutan saat itu.
Awal Juni, saya dihubungi kembali. Ternyata penawaran tersebut masih berlaku. Ditawarkanlah untuk menulis naskah buku yang harus selesai maksimal 2 bulan. Termasuk cetak sampel. Saya sempat ragu. Tapi entah kenapa, ada keyakinan yang kuat, sepertinya saya bisa. Mencoba untuk menantang diri dan bismillah aja. Yakin aja dulu.
- Konsep yang jelas
Salah satu kebiasaan saya dalam menulis, baik tulisan biasa atau buku adalah menyusun konsep. Setidaknya harus ada struktur atau outline. Hal tersebut bisa membantu penulis untuk mengetahui alur tulisan dari A-Z walaupun masih kasar.
Outline yang disusun di awal memang belum final. Sangat mungkin jika ada perbaikan di pertengahan jalan. Tapi setidaknya, kerangka utama sudah diketahui. Jika ada tambahan, sifatnya hanya minor. Bukan merombak total. Dan itu saya lakukan. Setidaknya ada 4 bab utama dalam buku tersebut
- Mengumpulkan banyak referensi
Hanya teko berisi air yang bisa menuangkan air. Jika teko tersebut diisi dengan teh, maka teh pula yang akan keluar. Berharap teko yang diisi dengan teh bisa mengeluarkan kopi adalah sebuah kebodohan.
Nasihat ini sangat berarti bagi seorang penulis. Karena memang menulis adalah proses menuangkan. Jika tidak ada yang dimasukkan, bisa menuangkan apa coba?
Mengumpulkan referensi adalah salah satu cara untuk mengisi pikiran. Jika referensi yang dikumpulkan banyak dan variatif, maka begitu pula yang akan tertuang dalam tulisan.
Proses menulis buku ini memang didukung oleh referensi yang mumpuni. Dari sisi eksternal, perusahaan memberikan lebih dari 30 narasumber dalam kurang dari 30 hari. Dari sisi internal, saya juga riset beberapa buku referensi agar bisa menemukan konsep yang pas dalam buku ini. Salah satu buku referensi yang membantu saya adalah Sang Burung Biru, Perjalanan Inspiratif Blue Bird Group. Buku yang ditulis oleh Alberthine Endah ini bukan hanya membantu saya untuk mengembangkan kosa kata, tapi juga memberikan konsep buku yang menarik.
- Support system imajiner
“Jika butuh apa-apa, silakan kabari kami ya.”
Itulah salah satu pesan yang disampaikan oleh tim. Di awal, mereka sudah memberikan keterbukaan akan membantu. Dengan adanya pembuka seperti itu, perasaan dan semangat saya pun bisa terjaga dengan baik. Tim sebenarnya membebaskan proses kreatif saya dalam menulis. Tapi saya mencoba untuk membuat aturan bahwa setiap sekian hari maka saya akan melaporkan berapa halaman yang ditulis pada hari tersebut. Dengan begitu, progres tulisan pun bisa dikawal dengan sebaik-baiknya.
Tidak setiap hari kami bertemu secara fisik. Saya mencoba untuk membantuk support sytem imajiner dalam pikiran bahwa akan ada yang membantu. Tapi tetap yang paling bertanggungjawab adalah diri saya, bukan support system.
- Berdoalah sepanjang proses
Last but not least. Boleh dikatakan naskah buku ini adalah momentum bagi saya untuk mengingat kembali peran kekuatan Yang Maha Besar. Mungkin terkesan klise. Tapi memang benar, di buku kali ini pula saya lebih sering berdoa dan meminta pertolongan Yang Maha Kuasa agar naskah buku ini dilancarkan dan bisa memberikan manfaat. Karena saya sendiri merasakan bagaimana perjuangan para karyawan di internal perusahaan. Energi dari mereka membuat saya berekspektasi yang tidak biasa pada karya ini. Berdoa ternyata benar-benar bisa memberikan ketenangan dan kekuatan.
Sekarang, coba tanya pada diri sendiri. Seberapa sering kamu berdoa dan meminta kekuatan pada Sang Pencipta agar diberikan kekuatan dalam berkarya? Bisa jadi terlalaikan dalam proses ini kan? Bisa jadi karena lupa dengan peran Sang Pencipta pula naskahmu terkendala. Cobalah minta langsung pada Yang Maha Kuasa. Minta agar dibukakan jalan, diyakinkan, dan kebermanfaatan dari karya tersebut.
***
Alhamdulillah, draft naskah berhasil selesai kurang lebih 30 hari. Baru draft ya, belum naskah final. Tapi sudah layak untuk dibaca.
Baca juga:
Mindfulness Writing: Menulis dengan Ruh
Saya Bosan Menulis, Tapi …
Pengalaman ini menjadi kesan tersendiri karena saya bukan hanya mendorong mentee 30 Days Writing Book untuk menulis selama 30 hari, tapi saya bisa membuktikannya sendiri. 5 hal tadi yang saya lakukan dan semoga bisa kamu terapkan dalam proses berkarya. Bagi kamu yang ingin ikutan program menulis selama 30 hari, bisa cek di IG @pejuang30dwc
“Rez, emang nulis buku apa sih?”
Nanti ada waktunya dirilis ya. Tapi tulisan ini adalah pengalaman nyata yang semoga bisa dipetik pelajarannya.
Semangat ya! 30 hari menulis buku bisa kok. Bismillah!