5 Insight Penting untuk Mengubah Perspektif Tentang Penelitian

Saya bersyukur, ke mana pun saya merantau, Allah berikan berbagai info tentang agenda kebaikan. Mulai dari kajian ilmu, komunitas, dan pertemuan baik lainnya. Mengetahui adalah satu bagian. Bertemu adalah bagian lainnya. Maka syukur tiada terhingga, Allah izinkan saya untuk melengkapi dua bagian ini. Mengetahui dan bergerak untuk bertemu.

Sekolah Pemikiran Islam adalah salah satu yang saya syukuri selama merantau di Jakarta. Singkatnya, Sekolah Pemikiran Islam adalah short course yang membahas tentang pemikiran Islam selama 20 pertemuan yang dibagi dalam dua semester. Satu semester berisikan 10 materi. Berikut materinya.

Menariknya, pada setiap pertemuan para peserta diwajibkan untuk mengirimkan karya tulis. Jadi bukan hanya mendengar dan belajar dari penyampaian guru, tapi juga menulis dan belajar kembali.

Salah satu program rutin dari Sekolah Pemikiran Islam adalah pertemuan alumni yang bertujuan untuk menjaga semangat berilmu. 16 November 2019 kemarin adalah salah satu pertemuan yang berkesan. Ustadz Akmal Sjafril hadir sebagai pemateri dengan judul Selalu Ada yang Belum Digali : Mengubah Perspektif tentang Penelitian.

Tentu, ada banyak insight yang didapat di pertemuan bergizi bulanan tersebut. Saya akan sampaikan ulang, 5 insight penting untuk mengubah perspektif tentang penelitian.

1. Luruskan Dulu Mindset Peneliti

Baru mendengar kata penelitian, banyak yang sudah minder duluan. Banyak yang merasa bahwa penelitian adalah hal yang berat, ilmiah, dan membosankan. Bisa jadi, mindset seperti inilah yang membuat skripsimu tidak kunjung selesai. Maaf nih kalau tersindir.

Dulunya, saya juga punya kendala dengan penelitian. Terkhusus pada skripsi saya yang berjudul “Passionpreneurship, Konsep Entrepreneurship Mengubah Passion Menjadi Bisnis”. Tanggapan dosen pembimbing saya kala itu adalah gaya penulisan saya yang ngepop dan cenderung populer.

Di rihlah SPI yang diberi tugas penelitian ilmiah pun tanggapannya juga sama. Gaya penulisan saya yang ngepop. Saat itu saya menulis karya tulis yang berjudul “Berguru : Konsep Akselerasi dalam Kehidupan dan Dakwah.” Penelitian ini bisa kamu baca di blog ini.

Kendala saya adalah gaya penulisan. Tapi saya tidak merasa bahwa saya tidak berbakat meneliti. Pesan dari Ustadz Akmal yang saya catat di pertemuan itu adalah:

“Cara pikirnya bukan saya belum pintar jadinya tidak bisa meneliti. Melainkan saya meneliti maka saya bisa jadi pintar. Tapi bagaimana jika saya pintar tapi saya tidak meneliti? Jangan sampai.”

2. Jadikan Meneliti Sebagai Kebutuhan Belajar

Dulu semasa kecil, kita punya rasa keingintahuan yang tinggi. Banyak hal yang ditanya dengan orangtua. Tapi kini, rasa keingintahuan itu keliru. Sedikit lebih banyak ingin tahu malah dituduh kepo. Ya salah juga kalau kepo yang kita miliki hanya sekedar pengen tahu dan terkesan mengganggu orang lain. Tentu beda cerita jika keponya adalah kepo positif.

Kita butuh menumbuhkan kembali inner child untuk belajar. Ingin tahu suatu hal, cari tahu jalannya, berikan solusinya, dan hadirkan pencerahan bagi umat.

Nah dalam pembelajaran kehidupan, kita biasanya akan dipertemukan dengan dua pola. Diajarin baru nemu masalah atau ada masalah baru belajar. Mana yang lebih efektif? Rasakan sendiri saja. Yang penting adalah terus belajar.

Catatan penting di poin ini, jangan hilangkan kelezatan meneliti dan mencari ilmu dengan hal yang tidak lurus.

3. Kapan Selesainya? Ya kalau dikerjain

Coba buka surah Ash-Shaf ayat 3. Kutipan dalam ayat tersebut bermakna “janganlah kamu berucap apa yang tidak kamu lakukan.” Istilah yang sering disebut oleh orang-orang adalah kaburo maqtan.

Tentu tafsir dan tadabbur ayat ini luas. Tapi bagi sebagian orang yang sudah paham, akan merasa tersendiir dengan ayat tersebut. Apalagi bagi yang berkomitmen pengen nulis buku, penelitian, blog, atau apapun medianya. Mereka berwacana dan (mungkin) berkomitmen. Tapi entah kapan penelitiannya selesai.

Maka benarlah jawabannya. Kapan selesai? Ya kalau dikerjain.

Sebuah tips bagimu yang kini menulis, berikan deadline kapan tulisanmu selesai. Akhir pekan ini? Bulan ini? Tahun ini?

4. Selama Kita Tidak Meneliti, Umat Tidak Punya Bahan

Di sebuah grup, ada sebuah infografis yang dikirim oleh seorang teman. Inti dari infografis yang disampaikan oleh Setara Institute itu adalah intoleransi di Yogyakarta dalam beberapa tahun belakangan. Tapi yang menarik adalah, korban dari intoleransi di penelitian itu adalah nonmuslim semua. Seolah-olah ingin menggambarkan bahwa Muslim adalah pelaku intoleransi.

Tidak jauh waktunya dari pengiriman infografis tersebut, ada juga riset yang dipublikasikan oleh Kementerian Agama bahwa Sumatera Barat adalah provinsi dengan tingkat kerukunan umat beragama nomor 2 paling rendah. Coba bandingkan 5 urutan teratas dengan 5 urutan terbawah. Terlihat janggal? Hmmm.

Ya walau bagaimanapun, itu adalah hasil penelitian dari mereka. Terlepas dari benar atau tidak, tentu layak kita kritisi. Karena tidak jarang kini kita bisa temukan riset, jurnal, ataupun survei dibayar sesuai dengan kebutuhan.

Maka kembali lagi. Selama kita umat Islam tidak meneliti, umat tidak punya bahan untuk melawan. Sedangkan mereka, punya amunisi untuk menyajikan sesukanya.

Indeks Kerukunan Umat Beragama
Kemenag 2019

5. Berbuat Terbaik dengan Segala Kelemahan Diri

Mungkin sulit bagi kita untuk melakukan penelitian. Mungkin banyak alasan bagi kita untuk mengatakan tidak berbakat melakukan penelitian. Mungkin banyak pembenaran dari kita bahwa mereka berkelimpahan dana sedangkan kita tidak. Terlepas dari itu semua, lakukanlah yang terbaik dengan segala kelemahan diri. Semoga Allah melengkapi segala kekurangan kita agar bisa memberikan yang terbaik untuk umat.

***

Bagimu yang terbiasa dan hobi meneliti, ada sebuah ide yang menarik. Cobalah tulis buku panduan bertemakan penelitian 101 atau research for dummies. Buku ini berisikan tutorial bagaimana memulai penelitian dari 0 sampai selesai. Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti dan semoga kelak bisa menjadi solusi. Coba saja.

Betul kata Ustadz Akmal Sjafril. Selalu ada yang belum digali. Kita harus mengubah perspektif tentang penelitian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *