4 Pilar Utama Manajemen Masjid Berdaya

4 Pilar Utama Manajemen Masjid Berdaya

Menjelang hari terakhir Ramadan, saya mendapatkan undangan untuk hadir di kajian manajemen masjid. Walaupun secara tertulis saya bukan pengurus masjid, tapi ajakan ini sangat penting untuk dihadiri. Terlebih lagi di Ramadan ini saya punya misi khusus untuk mendatangi masjid dan musalla se-Kecamatan Bangkinang Kota. Alhamdulillah, tercatat ada 56 titik yang dikunjungi.

Ternyata benar. Materi yang disampaikan oleh Ustaz Syahrul Aidi selaku narasumber dari Imarah Kemakmuran Masjid Indonesia (IKMI) Kampar sangat menarik. Apa yang dituliskan di sini adalah inspirasi yang saya dapatkan dan dikemas ulang.

Sebelum kajian dimulai, beliau menyampaikan di awal semoga setelah ini muncul gagasan yang membangkitkan masjid. Maka tulisan ini adalah ikhtiar untuk mengingatkan hal tersebut. Baik bagi yang hadir secara fisik, atau yang membaca tulisan ini tanpa menghadiri kegiatan tersebut.

 

Ada 4 pilar utama dalam manajemen masjid berdaya. Apa saja?

1. Manajemen Pembangunan

Coba tebak ada berapa masjid dan musalla di Indonesia? Dewan Masjid Indonesia menyampaikan ada lebih dari 800 ribu. Sebagian kecil di antaranya adalah “masjid mewah”. Sebagian lainnya adalah masjid yang berusaha untuk mewah. Melakukan pembangunan dan renovasi sana-sini. Tanpa disadari pola tersebut‒masjid mewah dan renovasi masjid‒seringkali memberikan masalah tersendiri. Kenapa?

Membongkar masjid itu tidak bisa sembarangan. Karena ada wakaf orang lain dalam pembangunan sebelumnya. Akankah hanya karena renovasi masjid yang sebenarnya tidak benar-benar dibutuhkan lantas pahala orang lain berhenti mengalir? Kenapa bisa dikatakan tidak benar-benar dibutuhkan? Coba saja dicek kembali, tujuan dari renovasi masjid untuk apa? Memperindah dan memperluas? Sekarang coba cek, kapan terakhir kali masjid tersebut penuh oleh jamaah?

Sudah seharusnya kita tidak berlomba-lomba membangun masjid mewah. Kalau bisa, bantu pembangunan masjid yang masih terkendala. Atau bahkan, bantu masjid di pelosok yang memang masih membutuhkan. Masjidnusantara.org adalah salah satu program yang mengambil peran untuk hal tersebut.

Masjid sebenarnya tidak perlu mewah. Yang penting nyaman. Karena esensi dari masjid bukanlah beton dan besi, tapi fungsi dan kontribusi.

2. Manajemen Ibadah

Apa program utama dari masjid? Salat berjamaah. Apa yang paling penting dari salat berjamaah? Imam. Pertanyaannya, seberapa besar kepedulian kita dengan imam masjid?

Tidak jarang imam ditunjuk berdasarkan siapa yang paling “dihormati”. Namun maaf, seringkali yang paling dihormati (entah karena usia, jabatan atau status sosial), bacaan dan pemahamannya masih banyak kendala. Membedakan dza dengan ja saja masih sulit.

Imam adalah priroritas penting dalam manajemen ibadah di masjid. Carikan imam terbaik. Namun bukan hanya mencari, tapi juga berikan infak terbaik. Bahkan beri amanah yang lebih. Misalkan, full time bekerja untuk masjid.

“Imam kok digaji. Harusnya imam ikhlas dong untuk melayani masjid.”

Pemahaman yang sudah terlanjur beredar di masyarakat ini sudah seharusnya diperbaiki. Coba saja lihat imam di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Apakah mereka tidak digaji?

Menggaji imam itu tentu ada pertimbangan. Harus ada kualitas, tanggung jawab, dan amanah yang diberikan. Mulai dari kualitas bacaan hingga peran lebihnya untuk masjid dibandingkan jamaah biasa. Misalkan, mengajar tahsin. Bukan hanya sebatas mengimami salat lalu pergi.

Seringkali kita menuduh imam tidak ikhlas, tapi lupa untuk menjaga keikhlasan imam. Padahal imam juga harus memenuhi kebutuhan keluarga. Jika imam yang diberi amanah bisa memberikan pelayanan terbaik, tentu tidak jadi masalah bagi jamaah jika dia digaji. Bahkan imam dengan bacaan yang baik bisa menjadi daya tarik jamaah untuk datang ke masjid tersebut.

Bagaimana mencarinya? Tidak perlu dari pelatihan yang membina dari nol. Cari saja dari santri di pondok pesantren. Sudah pasti banyak yang bisa ditemukan. Inilah salah satu cara pondok pesantren memberikan kontribusi bagi umat.

Di kampung halaman sendiri pasti banyak ditemukan santri dengan kualifikasi imam yang berkualitas. Namun tidak sedikit dari mereka yang terpaksa hijrah ke kota lain karena di kampung sendiri tidak dihargai. Salahkah mereka? Sekali lagi. Jangan menuntut imam harus ikhlas jika kita sebagai jamaah tidak bisa menjaga keikhlasan imam.

Jangan sampai infak untuk kaligrafi dan lampu hias luar biasa, tapi infak untuk imam terabaikan. Jika imam tidak dibayar dengan uang, setidaknya kebutuhannya harus dipenuhi. Ingat, imam juga ada keluarga yang wajib dinafkahi. Dan begitulah yang terjadi di kampung-kampung terdahulu. Warga bergotong-royong untuk memenuhi kebutuhan imam. Bahkan kebutuhan imam yang berkualitas untuk daerah tertentu termasuk fardu kifayah.

Baca juga:

Bagi Masjid, 2 Juta Bisa Apa?

Saat Jamaah Masjid Berkata, “Bagaimana Jika Kami Tidak Dihargai?”

3. Manajemen Majelis Taklim

Selain salat berjamaah, program rutin yang harusnya ada di masjid adalah majelis taklim. Dalam daurah manajemen masjid ini, ada 3 rekomendasi dalam pelaksanaan majelis taklim. Pertama, ada ilmu yang disampaikan. Kedua, menyampaikan materi yang disepakati secara umum. Ketiga, jika ada perbedaan pendapat maka harus disampaikan semua pendapat agar jamaah bisa menilai secara objektif.

Poin paling menarik ada di nomor tiga. Kenapa? Karena kita bisa melihat fenomena umat yang tidak bersatu. Atau bahkan enggan bersatu. Hal ini terlihat dari klaim “Saya benar, Anda salah”. Alhasil yang terjadi adalah perpecahan dalam tubuh umat. Sungguh fenomena yang menyedihkan. Bagaimana mungkin kita “berkelahi” dengan orang-orang yang masih salat, sedangkan banyak saudara di luar masjid yang belum tersentuh dakwah. Karena itulah penyampaian banyak pendapat atas satu masalah ditujukan agar tidak adanya klaim salah dan benar. Melainkan ini benar dan ini lebih benar.

Seorang ustaz pernah duduk di warung kopi. Pada waktu tersebut terdengar celetukan.

“Alah, penceramah itu hanya cerita mahal. Bukan sang pencerah. Buktinya mereka hidup mewah.”

Ucapan tersebut menjadi kritikan bagi mubaligh dan penceramah. Kenapa? Karena seringkali pendekatan yang digunakan adalah membaca dan sampaikan. Padahal seharusnya adalah lihat fenomena, diskusi, dan selesaikan. Dengan begitu, dakwah benar-benar bermanfaat bagi umat. Bukan sebatas transaksional. Menyampaikan materi, menerima honor, lalu pulang.

Tentu sah bagi penceramah untuk menerima honor. Namun sekali lagi, jangan sampai honor lebih diutamakan dibandingkan kebermanfaatan bagi umat. Jika honor menjadi yang utama, jangan salahkan julukan “cerita mahal” diberikan orang lain. Jangan tersinggung. Itu adalah kritikan yang membangun.

Terkait manajamen majelis taklim, setidaknya ada beberapa opsi kajian yang bisa dihadirkan di masjid dan musalla:

  • Tabligh akbar pada momen tertentu.
  • Kajian rutin pekanan atau harian.
  • Pembacaan hadis atau kitab rutin usai salat.

Khusus pembacaan hadis ini pernah saya lihat salah satunya di AQL Islamic Center. Usai salat fardu dan jeda sejenak, imamnya akan membacakan hadis dari Kitab Riyadush Shalihin. Hanya satu pesan saja. Tidak butuh waktu panjang. Dengan begitu ada penyampaian ilmu yang rutin diberikan. Bahkan bisa memberdayakan remaja masjid untuk membacakannya. Tanpa sadar, setahun sudah sekian ratus halaman yang dibacakan.

4. Manajemen Keuangan

Coba lihat kotak infak yang ada di masjid. Kotak infak apa saja yang tersedia?

Umumnya yang hampir selalu ada adalah masjid dan yatim. Jika di masjid tersebut ada MDA/TPQ, tambah satu kotak untuk MDA/TPQ. Namun jika hanya ada 3 kotak ini, akan ada masalah yang terjadi suatu saat nanti. Kenapa? Mana kotak fakir dan miskin?

Fakir dan miskin walaupun sama-sama golongan penerima zakat (dan berhak juga untuk menerima infak) punya perbedaan yang tipis. Jika miskin orang yang bisa bekerja tapi masih kekurangan, sedangkan orang fakir tidak mampu untuk bekerja. Setidaknya ada 4 hal yang bisa jadi indikator utama dari fakir: miskin yang cacat, miskin yang tidak bisa bekerja, miskin yang tua renta, dan miskin yang masih anak-anak.

Kenapa tiadanya kotak fakir/miskin bisa jadi kendala nantinya?

Banyak fenomena terjadi adanya ketidakadilan dalam pemberian infak oleh masjid. Misalkan di salah satu masjid, terkumpullah dana 72 juta Rupiah untuk kotak anak yatim. Sedangkan anak yatim pada daerah tersebut hanya 3 orang. Maka 72 juta ini dibagi 3 anak. Isi kotak infaknya dihabiskan. Padahal belum tentu anak yatim itu kekurangan harta. Sedangkan orang miskin banyak yang tidak mendapatkan bantuan dari masjid karena tidak adanya kotak infak khusus fakir/miskin.

Coba perhatikan arti Surah Al-Ma’un. Yang mendapat ancaman pada ayat tersebut bukan hanya mereka yang mengabaikan anak yatim. Tapi juga orang yang mengabaikan orang miskin. Maka celakalah orang-orang yang salat, mewah masjidnya, tapi di sekitarnya terabaikan kehidupan anak yatim dan miskin.

Dalam Ihya Ulumuddin juga disebutkan. Jika ada bangunan masjid megah tapi di sekitarnya ada miskin melarat, maka mereka yang membangun itu ria. Jangan sampai orang itu adalah kita.

Manajemen keuangan masjid memang begitu penting. Pastikan teralokasikan dengan baik. Satu kotak lain yang penting untuk diadakan adalah kotak dana tanggap. Tujuannya adalah seperti namanya. Ada kebutuhan mendesak, kotak tersebut bisa menjadi solusi bagi umat. Jangan sampai umat malah terjebak pada rentenir dan pinjaman ribawi, tapi uang kas di masjid berlimpah ruah.

Kotak infak itu beda dengan bantuan pemerintah. Jika bantuan pemerintah seperti BLT butuh birokrasi, tapi tidak begitu dengan kotak infak masjid. Percayalah, jika uang dari masjid benar-benar membantu umat, infak pasti akan bertambah. Karena orang berinfak ke masjid bukan untuk ditabung, tapi untuk disalurkan kepada yang membutuhkan.

“Tapi bagaimana jika orang yang dibantu oleh masjid tidak salat ke masjid?”

Tidak masalah jika belum ke masjid. Karena itulah nilai kesabaran dalam dakwah. Maka penting bagi penyalur bantuan untuk memberikan dakwah dan ajakan kepada yang bersangkutan untuk datang ke masjid.

Di salah satu masjid di sebuah desa pernah ada kejadian. Seorang fakir miskin mendapat bantuan bedah rumah. Namun dia tidak punya uang untuk memberi makan tukang yang bekerja. Orang tersebut meminta bantuan ke salah seorang takmir masjid terkait kebutuhan dana tersebut. Takmir pun meneruskannya ke bendahara masjid. Pada awalnya bendahara seperti agak keberatan, karena khawatir akan banyak orang meminta bantuan ke masjid. Padahal bukankah begitu seharusnya fungsi masjid? Akhirnya alhamdulillah bendahara menyetujui dan mencairkan dana itu. Dan apa jadinya? Orang yang mendapat bantuan tersebut yang dulunya jarang ke masjid kini pelan-pelan sudah sering datang ke masjid

***

Sebagaimana pilar dalam bangunan, ada untuk mengokohkan. Jika tidak ada pilar, bagaimana bisa berdiri? Namun pilar juga tidak bisa berfungsi maksimal tanpa ada unsur bangunan lain. 4 pilar manajemen masjid yang disampaikan pada tulisan ini adalah hal penting yang harus menjadi prioritas bagi pengurus masjid dan mubaligh. Semoga masjid kita benar-benar bisa menjadi pusat peradaban, bukan sebatas bangunan.

Jika tulisan ini bermanfaat, silakan bagikan kepada yang lain ya.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *