2019 Tahun Politik, 2020 Tahun Dakwah (?)

Cita-Cita Menjadi Da’i

“Kalau kita nggak sadar sedang sakit, itulah sebenar-benarnya sakit.”

Saya datang telat malam itu. Beruntung, kajian belum lama dimulai. Saat saya masuk ke ruangan, masih slide pertama yang ditampilkan. Pesan pembuka tadi adalah pesan yang saya ingat saat belum seberapa lama masuk ke ruangan kajian AQL Islamic Center.

Judul kajian yang ditampilkan di poster sungguh menarik. 2020 Tahun Dakwah. Kenapa tema ini diangkat? Entah ini inisiatif pemateri atau pihak penyelenggara, saya kurang tahu. Tapi tema ini menarik, dan semoga menjadi pemantik.

Berapa usiamu sekarang? Apakah masih relevan dengan sebuah pertanyaan,

“Cita-citamu jadi apa?”

Sebagian dari yang membaca tulisan ini mungkin sudah berkarir di bidang yang disuka, atau bidang yang terpaksa dijalani. Sebagian lain masih meraba-raba, ingin menjadi apa. Beda kondisi saat ini tentu saja menjadikan pertanyaan tadi pun berbeda cara menjawabnya. Bagi mereka yang sudah berkarir, entah di bidang yang dia suka atau tidak, mungkin jawaban pasrah “ya jadi beginilah aku” menjadi salah satu alternatif jawaban. Tapi pasti, masih ada jawaban lain seperti “sebenarnya aku ingin menjadi …..”. Nah, kamu yang mana?

Mereka yang masih kuliah, atau masih sekolah menengah, pasti berbeda cara menanggapi jawaban tadi. Tapi bagaimana dengan anak kecil? Ya mungkin anak SD atau di bawahnya. Mereka pasti punya jawaban yang meyakinkan. Bahkan lebih meyakinkan dibandingkan kita dengan usia yang sekarang.

“Aku ingin jadi dokter.”

“Jadi TNI!”

“Aku pengen jadi Presiden Indonesia!”

Meyakinkan. Sungguh meyakinkan. Tapi ke mana rasa keyakinan pada diri sendiri di usia saat ini. Kenapa berpasrah dengan keadaan? Sebuah pertanyaan yang harusnya kita sendiri yang menemukan jawabannya.

Tapi tunggu, adakah seorang anak kecil, atau kita dengan beragam usia saat ini bisa menjawab pertanyaan “cita-cita ingin menjadi apa” dengan sebuah jawaban,

“Ingin menjadi da’I”

Adakah?

Da’i bukanlah ulama. Walaupun memang, ada irisan tujuan yang mereka perjuangkan. Sederhananya, da’i adalah pengemban dakwah. Mereka yang mengajak pada kebaikan dan melarang pada kemungkaran.

“Tapi aku kan bukan jurusan agama.”

Siapa bilang yang dakwah adalah urusan mereka yang kuliah jurusan agama? Dakwah adalah tanggung jawab kita sebagai Muslim, apapun bidang karir yang kita ambil. Dan bukankah Allah sudah menurunkan visi yang sifatnya “given” kepada kita sebagai makhluk ciptaan-Nya? Yap, menjadi khalifah. Bagi kita, sebuah tantangan tersendiri untuk menjawab pertanyaan apa cita-citamu dengan sebuah jawaban “menjadi dai.” Dan kelak, jawaban ini pun akan diturunkan kepada anak-anak kita.

Menjadi Pengemban Dakwah

Menyadari diri untuk mengambil peran menjadi da’i memang tidak mudah. Tantangannya tidak sedikit dan tidak ringan. Tapi tidak masalah. Kelak, setiap kesusahan itu semoga bernilai ibadah. Setidaknya kesadaran diri bahwa ada visi menjadi da’i sudah kita sadari. Tugas kita juga untuk mengingatkan mereka, saudara kita sesama Muslim bahwa cita-cita tertinggi kita adalah menjadi da’i. Meninggikan kalimat Allah dengan berbagai peran yang kita miliki. Cara yang mungkin berbeda, tapi insyaallah tujuan yang sama.

Bagi mereka yang sudah menjalani peran da’i dalam waktu yang tidak sebentar, pasti ada banyak hikmah kehidupan yang mereka dapatkan. Mereka memang tidak sempurna. Tapi setidaknya lelah mereka bisa menjadi lillah. Semoga.

Tapi hati-hati juga bagi kita yang mengklaim diri sebagai da’i. Karena bisa jadi pesan yang kita gaungkan malah mengarah pada kekeliruan. Contoh yang paling sederhana, tentang fenomena akhir zaman. Ada pihak tertentu yang dengan beraninya mengklaim bahwa dukhan akan muncul di pertengahan tahun tertentu. Kiamat akan terjadi pada tahun tertentu. Pertanyaannya, atas dasar apa beraninya menyebutkan tanggal? Bahkan Rasulullah SAW saja tidak pernah menyebutkan waktu pasti kapan kiamat terjadi. Rasulullah SAW hanya menyebutkan tanda-tandanya saja.

Lebih jauh, atas fenomena merebaknya kajian akhir zaman yang berlebihan, umat pun menanggapinya dengan keliru. Tidak sedikit respon umat malah menjadi apatis, bukan proaktif. Padahal Rasulullah SAW berpesan yang maknanya jika besok adalah hari kiamat, maka tanamlah kurma yang ada di tanganmu. Pesan ini menggambarkan pada kita untuk terus bergerak, bukan antipati. Kelak jika bukan kita sendiri yang merasakan manfaatnya, generasi mendatang pasti merasakan manfaatnya. Dan pastinya, Allah akan menilai setiap amal yang kita lakukan. Karena Allah menilai proses, bukan semata-mata hasil. Sedangkan kita manusia, cenderung melihat hasil, bukan proses. Jauh sangat berbeda penilaian Allah dengan manusia.

Tentu, ada banyak fenomena lain dalam tubuh umat ini yang bisa kita kritisi. Tapi mengkritisi bukan berarti menggembosi. Dua hal berbeda. Maka saling terbuka untuk diskusi penting bagi kita sesama pengemban dakwah.

Berbicara perihal dakwah, Ustadz Akmal Sjafril membagi berbagai persoalan dakwah sebagai berikut.

Baca baik-baik. Maknai setiap masalah tersebut agar kelak kita terhindar dari jebakan dakwah Tak usah merasa paling suci atau anti dikritisi. Mari kita saling mengingatkan saja.

2020 Tahun Dakwah

Kembali kepada judul, kenapa sih diangkat judul 2020 Tahun Dakwah?

Sederhana saja. Karena tahun ini tidak ada pemilu, bukankah harusnya kita bisa lebih fokus dalam beribadah?

Betul bahwa berjuang dalam konstestasi politik ada nilai dakwahnya juga. Tapi kita kerapkali keliru dalam menempatkan dakwah. Dakwah hanya panas di awal saja. Lalu setelah itu, apa lagi? Padahal Allah menilai bukan hanya dari awal saja. Tapi juga proses kita menjalaninya seperti apa.

Kalaulah masa-masa politik adalah cooling down, harusnya dakwah tidak boleh ada cooling down.

Di tahun 2019, kita sudah disibukkan dengan politik. Tidakkah kita mau di tahun 2020 ini lebih menyibukkan diri dengan dakwah?

Prof Naquib Al-Attas menyampaikan tentang persoalan umat Islam kontemporer.

Permasalahan Umat Islam Kontemporer

Tiga elemen ini saling berkaitan satu sama lain. Yang mana satu elemen akan mempengaruh elemen lainnya. Kita gagal dalam memahami pengetahuan, kehilangan adab , hingga pemimpin yang gagal. Saling berputar satu sama lain. Contoh paling gampang seperti ini.

Bayangkan, di saat ada banyak masalah di negeri ini, bagaimana bisa kita disibukkan dengan munculnya kerajaan palsu? Parahnya lagi, kerajaan palsu itu ada yang mau ikut serta. Kita mungkin tertawa dengan isu ini. Tapi perlahan kita lupa bahwa isu lain yang lebih penting kita perjuangkan. Selera kita harusnya lebih tinggi dibandingkan hal remeh temeh seperti tadi.

Contoh lainnya tentang nabi palsu. Ada pula pengikutnya. “Penipu” Dimas Kanjeng Taat Pribadi yang mengaku bisa melipatgandakan uang pun ada pengikutnya. Bahkan pengikutnya adalah “cendikiawan Muslim”. Contoh komplit seperti yang digambarkan oleh Prof. Naquib Al-Attas tentang permasalahan umat Islam kontemporer.

Bagaimana dengan false leader? Ah, sepertinya tidak perlu dijelaskan lagi. Kita lebih suka melihat pencitraan dibandingkan keteladanan. Maka saat sosok-sosok hebat di masa nabi diangkat menjadi contoh, kita kerapkali skeptis dengan pembenaran daripada-daripada. Contoh, lebih baik pemimpin kafir tapi tidak korupsi dibandingkan pemimpin Muslim tapi korupsi. Ini kan sesat pikir namanya. Kita kan masih punya pilihan pemimpipn Muslim yang tidak korupsi.

Yah, masalah umat begitu kompleks. Walau begitu, jangan menyerah. Teruslah melangkah. Ambil peran dalam dakwah. Berikan pencerahan untuk umat.

Maaf Aku Baru Hijrah

Sekali lagi, memang tidak mudah mengambil peran sebagai hamba yang mengemban dakwah. Tapi percayalah, Allah akan membersamai langkah hamba-Nya yang berjuang.

“Tapi aku kan baru hijrah”

Alasan semacam ini seringkali menjadi pembenaran. Alasan “saya baru hijrah”. Padahal hijrahnya sudah bertahun-tahun lamanya. Bisa jadi hijrah dimaknainya begitu sempit.  Bahwa hijrah hanya perihal belum berhijab menjadi berhijab. Bahwa hijrah hanya meninggikan celana di atas mata kaki. Bahwa hijrah adalah mengganti selera musik menjadi kajian ustadz kondang di Youtube. Bahwa hijrah hanyalah mengikuti tren saja. Padahal tren ada masa naik dan turun. Apakah semangat hijrah kita juga naik dan turun? Seharusnya, kita bisa memaknainya lebih luas. Hijrah adalah spirit untuk menjadi lebih baik dalam konteks apapun. Bukan hanya mengikuti tren.

Hijrah dan dakwah bukanlah dua hal yang saling meniadakan. Setelah hijrah, lanjutkan dakwah. Dakwah semampu kita. Dakwah sesuai dengan peran kita.

Maaf aku hijrah harusnya bukanlah menjadi pembenaran. Mari sejenak kita maknai kisah Bilal bin Rabah. 

Bilal hanyalah sosok hamba sahaya, dulunya. Disiksa oleh Umayyah, dimerdekakan melalui perantara Abu Bakar, dan dimuliakan atas nama Islam. Pada saat Abu Bakar membayar tebusan untuk memerdekakan Bilal, Umayyah pun merendahkan Abu Bakar kenapa mau membayar Bilal dengan harga yang begitu tinggi. Lantas Abu Bakar pun menjawab dengan sederhana tapi begitu mengena.

“Justru kamulah yang rugi karena menawarkan harga yang begitu rendah.”

Begitulah mulianya Islam. Saat saudara kita direndahkan, kita pun punya kuasa untuk membelanya tanpa membalas merendahkan.

Maka benarlah Abu Bakar yang membebaskan Bilal. Keyakinannya yang begitu kokoh walau hanya mengetahui satu kata berupa “Ahadu Ahad” saat disiksa mampu bertransformasi menjadi kekuatan umat di Perang Badar dengan ucapan yang sama, “Ahadu Ahadu”.

Bilal bukanlah orang sama setelah hijrah. Bilal adalah orang yang berbeda saat dimerdekakan Abu Bakar. Bilal juga orang yang berbeda saat berada di Mekah dan Madinah. Dan Bilal juga orang yang berbeda saat Rasulullah SAW tiada. Bilal adalah contoh nyata bagaimana harusnya kita mendefinisikan kata hijrah dengan sebagaimana mestinya.

Tapi bagaimana agar hijrah tidak begitu-gitu saja?

Belajar dan berilmu. Baca buku dan berguru. Berdakwah dan berjamaah.

Salah satu hal yang kerap terlupa dari da’i adalah menambah ilmunya dengan membaca buku. Pernah pada suatu hari saat saya ngopi dengan seorang guru, saya menanyakan bagaimana caranya belajar.  Beliau pun menjawab dengan cara mengosongkan suatu hari dalam satu pekan untuk tidak menerima undangan ceramah. Hari itu digunakannya untuk membaca. Maka bukanlah hal yang aneh saat saya menyimak kajiannya, selalu ada hal segar yang dia sampaikan. Mencerahkan, bukan hanya menyampaikan. Anak tangga yang belum tentu semua da’i mau dan mampu melewatinya.

Jika mesin membutuhkan bensin, da’i butuh membaca sebagai bensin.

“Baik, aku sepertinya ingin berdakwah. Tapi harus dakwah seperti apa?”

Sekarang bayangkan. Jika di suatu waktu kamu menemukan bakso yang rasanya begitu nikmat, apa yang akan kamu lakukan setelah memakannya? Merekomendasikannya kepada yang lain atas kenikmatan bakso tersebut bukan? Bahkan bukan tidak mungkin berdebat bakso mana yang lebih nikmat.

Begitu pula seharusnya kita sebagai hamba atas anugerah iman dan Islam yang telah Allah berikan. Kenikmatannya tentu tidak sebanding hanya dengan bakso. Maka sampaikanlah nikmat yang telah Allah berikan. Bercerita saja. Gunakan bahasa kita. Atau jangan-jangan, kita mendustai nikmat yang telah Allah berikan?

“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”

(Potongan ayat di surah Ar-Rahman yang diulang sebanyak 31 kali)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *