18 Tahun,
Angka yang ideal untuk dikatakan dewasa. Dewasa? Hmm ya. Tapi ini bukan cerita soal manusia. Melainkan cerita tentang lamanya bencana menimpa. Khususnya di Tanah Melayu tercinta.
Seharusnya semakin bertambah usia maka semakin bijaksana pula hidupnya. Tapi ya memang, usia bukanlah patokan untuk memastikan seseorang bisa dikatakan dewasa dan bijaksana. Usia hanya soal angka-angka. Ya itu saja.
Dulu, saat masih 10-an tahun ada penyakit yang sering menimpa saya. Sedikit membingungkan, karena saya pun tidak tahu apa nama penyakitnya. Saya hanya tahu sesak napas, ya sudah itu saja. Penyakit musiman ini akan kambuh ketika saya terlalu menguras fisik, bermain bola di lapangan pasir yang berdebu ataupun hal-hal yang sensitif lainnya. Dikatakan mengganggu, tentu saja. Tapi sungguh Allah begitu sayang kepada hambanya. Kepada kamu dan termasuk saya. Seorang dokter mengatakan penyakit itu akan sembuh menjelang saya SMA. Dan memang benar adanya. Tingkat akhir SMP sesak napas itu jarang tiba.
Itu kisah dulu. Mari kita kembali ke masa kini.
Beberapa bulan yang lalu. Mungkin Juli atau Agustus. Kebetulan saya bersama abang ke Pekanbaru ada urusan sesuatu di pagi-pagi buta. Kami pun sholat subuh di persimpangan Kampar dan Pekanbaru. Saya pun keluar dan membuka jendela.
Hoeeekk. Sesak!
Saya benar-benar menjaga pernasapan untuk menghirup oksigen lebih sedikit kala itu. Hingga sholat subuh usai kami berlanjut ke tempat tujuan. Dan perlahan asap itu mulai menipis saat mentari pagi menyinari walaupun asap itu masih ada.
Itu hanya beberapa jam. Ya beberapa jam. Bayangkan jika kamu merasakan itu selama 18 tahun! Iya 18 tahun! Kalau boleh diukur berarti teman-teman sebaya saya menyerap udara bersih hanya dari umur 0-3 tahun. Setelah itu asap kabut seperti itulah yang secara berkala dia hirup.
Entah, apakah angka 18 tahun itu berlebihan apa bukan. Mungkin ada yang bisa mengklarifikasi lebih detail angka itu. Karena sejujurnya saya bukanlah korban utama dari kasus ini. Tapi jika boleh mengambil kesimpulan, bisa saja kabut asap ini telah berumur 18 tahun. Dan khusunya beberapa tahun belakangan, hal itu semakin menjadi-jadi. Terutama di bulan-bulan tertentu. Seperti sekarang ini. Bahkan sudah mencapai 4-5 bulan non stop.
Lahan gambut, cuaca ekstrem, pergerakan angin, penambahan titik api baru, dan aparat terkait. Menurut salah satu sumber, itulah 5 faktor penyebab kebakaran hutan dan kabut asap berkepanjangan. Ya mungkin kita bisa mencari data yang lebih lengkap. Karena disini saya ingin lebih banyak bercerita dan berbagi makna dibandingkan memberikan data dan fakta seperti media.
5 periode presiden sudah berganti, akan tetapi nasib kami masih seperti ini.
Pak Presiden yang terhormat, bagaimana kabarnya? Saya doakan dalam keadaan sehat dan selalu diberikan amanah dalam menjalankan jabatan.
Saya dengar kabar negeri ini semakin gonjang-ganjing ya pak? Maafkan kalau saya salah ucap, karena saya tidak tahu detail kabar negeri ini. Saya hanya berusaha sebisa yang saya bisa untuk terus menjaga harapan diri dan negeri ini tetap hidup. Walaupun dimana-mana bad news semakin merajalela.
Pak @Jokowi tolong jadikan tahun 2015 sebagai kabut asap terakhir untuk kami #PesanUntukJokowi #MelawanAsap
Pak @Jokowi mohon luangkan waktu 3 menit saja melihat apa yang kami rasakan satu bulan ini https://youtu.be/Sct122LQMWo #MelawanAsap
Saya yakin dan percaya bahwa twitbomb seperti diatas sudah pernah menjadi Trending Topic. Termasuk beritanya sampai ke telinga Bapak Presiden. Tapi apa daya. Kami #MasihMelawanAsap
Sempat saya merenung, kenapa kabut asap ini bisa awet hingga 18 tahun. Bayangkan 18 tahun! Dan itu telah melebihi bencana fenomenal Tsunami Aceh yang akan memasuki usia ke-11 di akhir tahun ini.
Apakah memang hanya 5 faktor tadi yang membuat bencana ini semakin awet? Bisa jadi. Tapi entah kenapa saya berpikir ada hal lain yang jarang sekali dibahas. Atau bahkan tidak pernah dibahas di media. Baik, mari kita bahas satu persatu.
Pertama, kenapa kita selalu menuntut pemerintah?
Kebayang gak jika selama 18 tahun kita terus menerus menuntut pemerintah bertindak tegas? Tentu menuntut bukanlah hal yang salah. Hal itu sudah seharusnya dilakukan. Tapi seringkali tuntutan disampaikan tanpa adanya pembenahan. Bukan pembenahan di pemerintah pusat saja, tetapi juga dari masyakarat.
Sungguh saya bersyukur tumbuh besar di Tanah Melayu ini. Negeri yang (cukup) kental akan budaya melayu dan syariat Islam. Ya tentu pembenahan disana sini harus terus dilakukan. Tapi jika boleh berpendapat, kemaksiatan di tanah ini cukup kecil dibandingkan kota metropolitan lainnya. Rok mini, club malam, ataupun lokalisasi dirasa tidak lazim disini. Tapi benarkah? Ya sayapun ragu akan hal itu. Karena bisa jadi itu ada ditempat yang tersembunyi. Tapi tentu itu lebih baik dibandingkan dengan tegas melegalkan minuman keras. Itu lebih baik dibandingkan melegalkan kawin sejenis. Dan itu jauh lebih baik dibandingkan melarang sholat berjamaah. Walaupun semuanya adalah hal yang salah. Tiada kebenaran untuk itu. Akan tetapi, sungguh saya masih bisa bersyukur.
Saya juga mendengar kabar bahwa Tanah Melayu ini mempunyai banyak doktor dalam ilmu agama Islam yang menuntut ilmu dari berbagai belahan dunia. Tanyalah bidang apapun. Selalu ada amunisi yang bisa diandalkan. Bahkan di kampung halaman saya besar, seluruh doktor komplit. Tanya saja, mulai hadist, tafsir, akidah, dan tarikh. Tapi aneh, sungguh aneh. Kenapa tanah ini masih dilanda musibah terus menerus padahal banyak ulama disana.
Kembali saya coba merenungkan kembali. Apa dosa terselubung negeri ini. Saya pun sempat berpikir, apakah ini karena karena dosa dan keserakahkan pemimpin negeri ini?
Fakta duka yang sudah dianggap biasa. Propinsi yang kaya raya ini dipimpin oleh 3 gubernur yang berbeda. Tapi sayang, kekayaan itu dikuasai oleh keserakahan pemimpinnya. 3 gubernur terjerat kasus korupsi lalu dipenjara. Sungguh kenyataan yang ironi di negeri yang kaya. Negeri yang katanya bersyariatkan melayu tetapi hanya sekedar budaya belaka.
Sepertinya masih ada dosa lain. Dosa menjadikan agama sebagai topeng. Menggunakan agama sebagai tameng. Menjadi pelindung seolah-olah saya adalah pemimpin yang suci. Menggunakan slogan serambi mekah, tetapi bupatinya ditahan karena kasus korupsi. Dan selanjutnya lebih berinovasi. Bukan hanya bermodalkan serambi mekah, tetapi juga jubah dan sholat jumat pagi berjamaah. Masyarakat dan ulama seolah-olah terkecoh bahwa bapak adalah bupati yang taat akan agama. Padahal seluruh jabatan strategis seperti kepala dinas tidak lepas dari iuran rutin ke kantong. Padahal hotel yang bapak dirikan bersumber dari uang yang sudah bapak simpan selama bapak menjabat. Padahal segala proyek pemerintah setempat dikerjakan di perusahaan bapak sendiri. Mungkin bapak tinggal menunggu waktu saja untuk menyusul bupati sebelumnya. Tapi saya doakan bapak secepatnya diberikan kesadaran. Karena jika tidak, saya yang akan menggantikan bapak di 2036.
Hingga kini, apakah pantas menuntut perubahan dan mengharapkan pemerintah?
Kedua, kenapa kita tidak berbenah?
Sekali lagi, tidak ada salahnya menuntut pemerintah. Karena sudah tugas mereka untuk mengurus masyarakat. Tapi cukupkah kita hanya menuntut pemerintah? Kenapa kita tidak ikutan berbenah?
Kita disibukkan dengan unjuk rasa di depan gedung pemerintah, dengan tegas meneriakkan perjuangan atas nama rakyat. Tapi sungguh sayang sekali jika kontribusi hanya sesempit unjuk rasa. Ketika ditanya pretasi, jawaban yang muncul adalah saya tidak pernah berhenti menyuarakan hak rakyat. Apakah sesempit itu dinamakan kontribusi? Lalu ketika ditanya pendidikan, suatu kewajaran lulus 4 tahun tapi malah menjadi 7 tahun. Ketika ditanya bagaimana keluarga, malah tidak peduli dengan mereka. Ketika ditanya gimana hubungan dengan Tuhan, malah jawab itu urusan belakangan.
Sibuk menyalahkan pemerintah tapi diri ini tidak berbenah. Sebuah kebodohan yang dipelihara tanpa pernah kita sadar. Bukankah sudah jelas tertulis bahwa “Sesungguhnya Allah tidak mengubah suatu kaum sampai mereka mengubah diri mereka sendiri”.
Bagaimana mungkin bisa merubah dunia tapi diri sendiri tidak berubah? Jelaskan kepada kami wahai pejuang suara rakyat. Maaf, bukan berarti saya tidak setuju dengan apa yang kalian perbuat. Hanya saja ada hal nyata yang perlu sama sama kita perlurus dan perbuat.
Ketiga, dimana kita letakkan Allah?
Tidak bosan kita mendengar alasan “jangan bawa bawa nama agama. Agama letaknya di mesjid”. Pernah dengar? Atau malah kita yang berpendapat demikian?
Sebuah mesin butuh buku panduan untuk mengoperasikannya dengan baik dan benar. Dan yang merancang mesin adalah manusia. Maka sudah sewajarnya buku panduan tersebut dipahami. Sama halnya dengan manusia. Siapa yang menciptakan manusia? Lalu apa buku panduannya? Allah dan Al-Quran adalah jawabannya. Nyatanya selama ini kita ngotot buat buku panduan sendiri. Sombong dengan segala kelemahan dan ketidaktahuan. Alhasil, banyak error disana-sini. Korupsi, pergaulan bebas, pembunuhan dan masih banyak lagi yang tak perlu disebutkan karena kamu sudah tahu apa kelanjutannya.
Menuhankan manusia. Kebodohan (lagi) yang kita lakukan tanpa sadar. Mungkin kamu akan bingung, tapi ini benar. Tanpa sadar kita telah melakukannya
Kemana kita mencari solusi ketika masalah datang tiada henti?
Kemana kita berharap disaat seolah-olah tidak ada lagi harapan?
Kemana kita melapor ketika masalah negeri semakin menjadi-jadi?
Jawablah dengan jujur. Banyak dari kita yang akan menjawab Bos, Orang Kaya, Bupati, atau Presiden. Lalu dimana Allah? Di mesjid?
Bodoh, sungguh bodoh. Kenapa kita terjebak dalam kebodohan ini. Disaat solusi sudah ada sejak 14 abad yang lalu tapi kita malah sibuk mencari ke solusi yang bersifat maya. Masih layakkah kita dikatakan manusia yang berpikir?
Sahabat, ini hanyalah sebuah curahan hati yang singkat. Menyampaikan banyak pendapat dari sahabat lainnya yang enggan berucap. Mengungkapkan banyak hal yang tersirat. Dan saya harap, bagi kita semua bisa menjadi pengingat.
Kenapa kita terus terusan menuntut pemerintah? Sedangkan diri ini tidak berbenah? Dan juga, dimana kita letakkan Allah? Cobalah jawab dengan kerendahan hati.
Negeri ini tidak akan jaya jika hanya mengandalkan satu pihak saja. Butuh kerjasama antar semua lini. Pemerintah yang adil, rakyat yang peduli dan menerapkan perintah Allah dimanapun berada. Percayalah, jika terus menerus menuntut tanpa berbenah itu akan sia sia.
Sahabat, ini bukan hanya soal kabut asap. Saya percaya kita semua sudah bosan dengan segala macam bencana yang menimpa negeri ini. Tapi sempatkah kita berpikir “mungkin ini pengingat dari Allah yang selama ini sering kita lupakan”. Pernah gak mikirin seperi itu?
Teringat oleh saya pesan yang ditempel di ruang kelas ketika SMP :
“Berdoa tanpa berusaha itu bohong. Berusaha tanpa berdoa itu sombong”
Cukup jelas bukan? Ada 2 pendekatan. Dan kita sering melupakan salah satunya. Kita butuh kedua-duanya sahabat. Memang, kita #MasihMelawanAsap. Tapi tidak cukup hanya dengan pergerakan di bumi. Kita juga butuh pendekatan langit. Mendekat kepada yang menguasai langit dan bumi. Bukankah sangat mudah bagi dia untuk merubah segalanya? Termasuk menjadikan negeri ini menjadi negeri yang jaya. Tentu, tidak akan semudah itu Allah memberikannya.
Cukuplah sudah mengharap yang berlebihan kepada pemerintah. Mereka bukanlah Tuhan yang pantas kita harapkan berlebihan. Karena kini, penguasa tidak bisa apa-apa. Tapi Yang Maha Kuasa, bisa segalanya!
Catatan seorang perantau yang mencintai Tanah Melayu dan negeri Indonesia