“Oh ini Rezky. Saya tahu. Pernah baca blognya.”
Sapaan awal ini saya terima dengan ramah dari Azhar Nurun Ala. Sebuah apresiasi sederhana yang begitu bermakna. Setelah dikulik, eh ternyata dia baca blog saya tentang insight pertemuan bersama JS Khairen berjudul Berkarya atau Berkaryawan.. Mereka sama-sama penulis di angkatan yang sama di Universitas Indonesia. Hanya berbeda genre saja,
Kamu yang penikmat karya fiksi ala indie pasti tidak asing dengan namanya. Sebenarnya saya sudah tahu namanya sejak lama. Saya lupa detailnya tahun berapa. Yang jelas, kami pernah bertemu sebelum 2017. Dia mengisi seminar di kampus C Unair bersama Meyda Sefira dan Hanum Rais.
31 Desember 2019. Akhir tahun ini saya beruntung bisa belajar langsung darinya. Bermoduskan menjadi liaison officer bayangan di UI IBF 2019, hingga berlanjut ke mabit di Masjid Ukhuwah Islamiah Depok. Lebih kurang 10 jam saya bersama dengannya. Apa saja insight yang saya dapat darinya?
1. Membalas Jasa Para Penulis
Dorongan menulis biasanya datang dari banyaknya kita membaca. Bahkan ada sebuah pesan menarik dari seorang teman. Penulis yang bagus adalah pembaca yang rakus.
Banyak di antara kita mungkin begitu menikmati proses membaca. Entah itu novel, puisi, cerpen, buku nonfiksi populer atau hanya sebatas tulisan di social media. Begitu menikmati hingga tenggelam dan nyaman menjadi pembaca setia. Tidak pernah terpikirkan menjadi pekarya. Berbagai macam alasan pun bermunculan. “Aku mah apa atuh.” Pernah begitu?
Wahai pembaca, wahai penikmat karya, mau sampai kapan?
Cara paling elegan untuk membalas jasa penulis adalah dengan menulis. Memperpanjang distribusi kebaikan yang kamu dapatkan dari sebuah bacaan menjadi sebuah tulisan.
2. 3 Amalan Tiada Terputus
Kamu tentu tidak asing lagi dengan hadist yang menyebutkan 3 amalan yang tiada terputus saat kita meninggal kelak. Tahu kan? Sedekah jariah, doa anak yang shalih, dan ilmu yang bermanfaat. Mari kita analisa.
Sedekah jariah ada masa tunggu. Harus punya uang dulu baru bisa berbagi.
Doa anak yang shalih pun sama. Ada masa tunggu. Harus punya anak dulu.
Tapi berbeda dengan ilmu yang bermanfaat. Sepanjang kita hidup di dunia tentu sudah belajar banyak kan? 6 tahun SD, 3 tahun SMP, 3 tahun SMA, 4 tahun S1. Total 16 tahun “sekolah”. Belum lagi yang lanjut S2 dan S3. Maka jika 16 tahun sudah belajar tapi merasa tidak punya ilmu apa-apa, sungguh begitu kufur kita sebagai hamba. Sama halnya dengan begini. 16 tahun sekolah tapi masih buang sampah sembarangan, terus belajar apa di sekolah?
Menulislah. Abadikan kebaikan dengan menulis. Tuliskan ilmu yang bermanfaat, cerita yang menarik, sampaikan pesan kebaikan. Semoga apa yang telah dituliskan menjadi pemberat amal kebaikan. Lalu perlahan, kita pun berlanjut dengan menambah sedekah jariah dan menyusul doa anak yang shalih.
3. Ketua BEM yang Menulis atau Penulis yang Menjadi Ketua BEM
Ini salah satu insight menarik yang saya dapatkan usai acara formal. Sambil menunggu hujan di senja itu, dia bercerita tentang hal ini.
Salah satu momen pengungkit dia di jabatan strategis kampus adalah dengan menulis. Jadi sebenarnya dia tidak mulai menulis semasa menjadi aktivis kampus. Tapi sudah menulis sebelumnya, lalu dikenal, dan jadilah ketua BEM. Singkatnya begitu.
Pun semasa menjadi ketua BEM dia tetap aktif menulis. Baginya, kesibukan di organisasi bukanlah alasan untuk tidak menulis. Kalaulah di luar lingkup aktivis dia menulis puisi dan karya fiksi lainnya, di lingkup organisasi dia menulis yang sifatnya lebih ke nonfiksi. Propaganda dan konten pergerakan mahasiswa lainnya.
Kini, Azhar Nurun Ala tetaplah penulis, bukan aktivis. Ini hanya tentang peran yang ingin diambil. Bagaimana denganmu? Pengusaha yang menulis, atau penulis yang menjadi pengusaha? Relawan yang menulis, atau relawan yang menjadi penulis? Apapun pilihanmu, pasti ada insight menarik dari pengalaman yang layak dituliskan.
4. Santai Saja, Kenapa Harus Overthinking?
Salah satu alasan yang membuatnya nyaman menjadi penulis yang kerap dinilai dengan ketidakpastian adalah cara pandang yang santai. Bagimu yang overthinking, ingat pesan ini baik-baik.
“Ketakutan itu seringkali diciptakan oleh pikiran diri sendiri.”
Belum juga nulis, udah takut jelek. Belum juga nulis, udah ngeklaim nggak ada bakat. Belum juga nulis, udah nyari-nyari alasan. Ayo, siapa yang kayak gini?
Banyak mikir bikin kamu banyak takut. Akhirnya nggak nulis-nulis. Padahal nulis mah ya nulis aja. Mana ada tulisan yang langsung jadi bagus. Ya sama seperti masa bayi. Emang ada gitu yang bisa langsung lari tanpa belajar merangkak dan jatuh berkali-kali?
Duh, overthinking banget sih jadi manusia. Santai saja.
5. Izinkan Diri Menulis Jelek
Lanjutan dari insight sebelumnya, izinkan diri menulis jelek. Karena apa? Karena ya pasti jelek. Haha.
Lah jangan kira ini bercanda. Ini beneran loh. Terkhusus bagi penulis pemula. Termasuk bagi kamu yang ketakutannya diciptakan sendiri dalam pikiran, izinkan menulis jelek. Karena ya pasti jelek. Ya namanya aja awal.
Begini deh. Tulisanmu pasti lebih jelek dibandingkan penulis favoritmu. Betul? Tapi bukan berati kamu nggak berbakat menulis. Tulisanmu 1 tahun yang lalu juga pasti lebih jelek dibandingkan tulisan yang sekarang. Nah sekarang, paham maksudnya apa?
Yap, ini hanya tentang durasi. Kamu membandingkan penulis favorit yang sudah menulis bertahun-tahun dengan dirimu yang baru saja mulai kemarin, tentu saja tidak bijak. Maka yang cukup adil adalah membandingkan dirimu yang sekarang dengan dirimu kemarin. Jika kemarin menulis 1 halaman, bisakah sekarang menulis 2 halaman? Jika sebelumnya menulis tanpa arah, bisakah sekarang menulis terarah?
Sudahlah, izinkan saja diri menulis jelek. Ya namanya proses. Perlahan, baru deh sempurnakan. Sabar dengan proses. Bukan malah sabar dengan cara menunggu tanpa memulai lalu berharap tiba-tiba bagus. Duh!
6. Memulai Tulisan dengan Kegelisahan dan “What If”
Bagi yang masih bingung mau nulis apa, gunakan dua rumus sederhana ini.
Memulai dengan kegelisahan ya tinggal cari kegelisahanmu apa. Misalkan gelisah melihat pasangan muda mudi yang bahas nikah tapi topiknya menye-menye. Ya bikin konten yang membahas nikah dari perspektif sebaliknya. Cari kegelisahanmu apa, lalu ceritakan.
Bagaimana dengan rumus what if? Rumus sederhana ini lebih imajinatif. Kamu hanya butuh berandai-andai. Anyway, what if artinya adalah bagaimana jika ya, bukan apakah jika. Contohnya gimana? Bagaimana jika dihadapkan dengan pilihan kembali ke masa lalu dengan keluarga yang berbeda atau menatap masa depan untuk menjalankan apa yang sudah ada? Apa yang ingin kamu ceritakan dengan kondisi seperti? Yap, kreasikan saja dengan what if lainnya.
7. Tulisan Bergizi Seperti Makanan Bernutrisi
Analogi yang menarik dari sarjana jurusan gizi. Tulisan bergizi seperti makanan bernutrisi. Tapi nutrisi saja tidak cukup. Terus gimana dong?
Contohnya saja anak kecil diberikan sayur. Orangtuanya tahu kalau sayur itu bergizi. Anak pun mungkin tahu. Tapi apakah serta merta anak mau makan sayur yang penuh nutrisi? Belum tentu. Alasan paling sering muncul adalah “nggak enak.” Orangtua pun berpikir kreatif, gimana caranya makanan bernutrisi bisa dimakan oleh anak. Berbagai ide kreatif muncul. Membuat nugget sayur, mengkreasikan tata letak sayur menjadi wajah dengan senyuman, hingga permainan ala-ala pesawat terbang masuk ke mulut sang anak.
Begitu pula dengan tulisan. Tulisan dengan pesan kebaikan saja tidak cukup. Karena sebagus apapun nilai tulisan kalau sulit diterima, ya gimana dong? Itulah pentingnya mempelajari content delivery.
Banyak cara yang bisa dilakukan. Story telling adalah salah satu teknik yang sering digunakan. Menggunakan analogi juga bisa. Bercerita pengalaman yang dekat kaitannya dengan pembaca juga oke.
8. Emang Kenapa Kalau Nulis Romance?
Di antara banyaknya @karyarezky yang sudah saya selesaikan, tulisan yang paling berbeda adalah Kita dalam Kata. Kenapa?
Singkatnya begini. Kita dalam Kata adalah memoar yang dibentuk dengan format prosa. Potongan kisah kehidupan yang saya ceritakan singkat per judul. Kisah tentang memperjuangan dan memaknai proses penantian. Hingga jawaban yang saya dapatkan darinya adalah …. . rahasia. Beli dong bukunya hehe. Baca dulu reviewnya di sini.
Buku Kita dalam Kata saya tuliskan dengan cara yang benar-benar berbeda dibandingkan gaya tulisan saya yang lainnya. Kata seorang teman, tulisan yang melow tapi menggerakkan. Nah, melow adalah salah satu gaya tulisan yang saya hindari. Kenapa? Sederhana saja. Itu bukan gue banget. Apalagi nulis romance.
Atas kegelisahan ini, saya pun bertanya langsung kepada Azhar Nurun Ala. Jawaban yang saya dapat pun sederhana.
“Emang kenapa kalau nulis romance?”
Tidak ada yang salah sebenarnya dengan tulisan romance. Setiap dari kita punya selera kan? Jadi tidak perlu dipaksakan menyukai segalanya. Begitu pula saya. Kalau saya sejauh ini nggak tertarik dengan novel, bahkan kalau ada yang minta testimoni saya tolak, bukan berarti saya membenci novel kan? Ini hanya perihal selera.
Apapun genremu tidak masalah. Yang terpenting adalah menyampaikan pesan kebaikan. Bukankah karya penulis akan dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta kelak? Lantas bagaimana jika tulisanmu menjadi propaganda menyukai sesama jenis? Kehidupan yang hedon? Bahkan dicampur dengan tulisan dan visual yang vurgal? Gimana? Ih ngeri.
Eits, tapi jangan takut mulai berkarya. Kuncinya sederhana. Sampaikan pesan kebaikan. Dan tentu saja. Selamat berperang dan untuk memperjuangkan konten yang baik!
9. Inisiatif Belajar, Mutlak!
Azhar Nurun Ala bukanlah jurusan sastra. Karya pertamanya yang terbit adalah Ja(t)uh di tahun 2013 yang ditulis dalam format antologi prosa. Katanya sih ini semacam puisi untuk seseorang yang spesial. Yang untungnya, sosok yang spesial itu adalah istrinya. Hiya~
Yang saya penasaran adalah, darimana dia belajar? Nggak ada tuh katanya ikutan sekolah-sekolah khusus. Dan akhirnya, saya dapat kuncinya. Inisiatif belajar, mutlak!
Mungkin dia bukan lulusan sastra. Tidak ada sekolah khusus. Tapi yang namanya belajar kan hanya di sekolah formal saja. Ikutan workshop, bedah buku, kelas online, short course online, diskusi sesama penulis dan banyak cara lain dilakukannya. Termasuk seperti cara yang saya lakukan ini. Menjadi “liaison officer bayangan”.
Bagaimana dengan kamu yang katanya serius pengen jadi penulis. Udah belajar apa aja? Tentu, bukan hanya tentang belajar apa. Pertanyaan yang tak kalah penting adalah, sudah nulis berapa halaman? Karena banyak yang katanya udah belajar banyak, tapi takut untuk take action. Ya gimana sih.
10. Penulis Juga (Harus) Punya Jam Kerja
Insight pamungkas yang saya dapatkan dari full time writer bernama Azhar Nurun Ala. Kalaulah selama ini saya (dan kamu mungkin) jam nulisnya suka-suka, sesegera mungkin harus perbaiki polanya. Ya harus punya jam kerja. Komitmen waktu untuk menyelesaikan karya.
Ya mungkin tidak ada kantor khusus, tapi tetap ada ruang khusus untuk berkarya. Ya mungkin tidak harus terjebak di kemacetan, tapi tetap harus punya waktu mulai dan selesai untuk karya harian. Ya mungkin ada banyak ketidakpastian, tapi tetap harus memastikan untuk bertanggungjawab dengan pilihan ini.
***
Terima kasih Bang Azhar. 10 jam yang begitu berharga. Sampai jumpa lagi sambil ngopi 😀