The power of orang dalam. Ya, mungkin begitulah latar belakang kenapa saya bisa ikutan Ideafest 2019. Tanpa mencari, saya dipertemukan dengan “orang dalam” tersebut. Gimana ceritanya?
Anyway, saya tahu Ideafest udah lama. Sejak kuliah. Mungkin sekitar tahun 2014/2015 saya lupa. Tapi pada waktu itu hanya sekedar tahu. Pengen sih ikutan. Tapi karena jarak yang lumayan jauh, rasa pengen itu hanya tetap menjadi pengen. Tidak ada realisasi pengen menjadi kenyataan. Barulah di tahun 2019 saya beneran ikutan Ideafest hasil bantuan orang dalam.
Dian Prayogi namanya. Pemuda yang berkarya di Habibi Garden. Kami belum bertatap muka secara langsung di dunia nyata. Hanya dunia maya yang mempertemukan kami. Grup WA tepatnya. Grup WA “Goes To Pelatnas FIM 21”.
Apaan FIM?
Bagi sebagian anak muda, FIM bukanlah nama yang asing. Kepanjangannya tentu saja bukan Forum Indonesia Menikah, tapi Forum Indonesia Muda. Entah karena alasan apa nama itu bisa diplesetkan.
Kelulusan saya di FIM bukanlah percobaan pertama. Terhitung, ini sudah percobaan ketiga. Tahun 2016 saya mencoba, gagal. Tahun 2017 saya mencoba, masih gagal. Tahun 2018, saya lewati karena pertimbangan tertentu. Terakhir di tahun 2019 saya mencoba, alhamdulillah lolos melalui jalur Young Expert. Setelah percobaan ke sekian kali, barulah tahun ini lulus. Kalau kata Fiersa Besari “orang yang tepat di waktu yang salah”. Bagi saya, ini adalah lulus di waktu yang tepat. Lebih jauh, alumni FIM 17, Yudi Muchtar memberikan pesan “Allah baru ridho tahun ini.”
Ya memang, ridho Allah itu kadang abstrak. Tanpa usaha yang “ngoyo” kita mudah saja mendapatkan hasilnya. Tapi dengan usaha yang ngoyo, eh kita malah nggak dapat hasil yang diinginkan. Kamu mungkin pernah merasakan. Coba saja ingat-ingat lagi pengalaman masa lalu.
Saya coba flashback ke masa lalu yang berkaitan dengan Forum Indonesia Muda.
Tahun 2017 adalah masa-masa saya ngoyo untuk ikutan FIM 19. Jalur yang saya pilih pun sama, Young Expert. Tapi nyatanya, saya belum lolos. Entah apa alasannya. Tapi hal yang unik malah terjadi di kesempatan lainnya.
Future Leader Summit 2017 adalah salah satu event yang saya ikuti tak jauh dengan FIM berlangsung. Lucu saja bagi saya. Usaha untuk lulus di FLS tidaklah ngoyo. Lakukan hal yang seharusnya dilakukan. Submit berkas, isi form, dan hal formal lainnya. Ya, saya lolos. Alhamdulillah.
FLS bisa lolos dengan usaha yang nggak ngoyo. FIM gagal lolos dengan usaha yang ngoyo. Kenapa ya?
Jujur saja, “ditolaknya” saya di FIM 19 menjadi kekecewaan tersendri. Bagi kamu yang membaca Kita dalam Kata mungkin bisa menebak alasannya. Bagi kamu yang belum baca, ya beli dong bukunya. Nih baca dulu spoilernya di sini
Tapi saya tidak terhenti di kecewa saja. Bagaimana caranya mengubah kecewa menjadi karya. Dan itu saya buktikan di FLS 2017. Apa yang saya lakukan?
Saya bukanlah orang yang aktif di konferensi semacam ini. Tapi saya punya perpsektif pribadi dan kegelisahan tersendiri.
Kenapa sih banyak konferensi hanya berpusat pada tiga hal? Hello, selfie, and good bye. Setelah itu, apa lagi?
Saya meyakini bahwa konferensi adalah pertemuan yang berpotensi untuk melipatgandakan kebaikan. Dan saya mencoba untuk mengubah kegelisahan menjadi sebuah karya bersama FLS 2017.
Tidak ada lagi pertemuan tatap muka alumni FLS menjadi tantangan tersendiri. Lantas proyek kebaikan apa yang bisa dilakukan? Maka muncullah ide menulis buku. Konsepnya sederhana. Portofolio dari ide baik, solusi kongkrit, dan gagasan strategis anak muda untuk Indonesia berdaya. Pada prosesnya, terkumpullah 29 tulisan antologi dari ide baik dan solusi kongkrit. Buku ini berjudul 29 Solusi Indonesia Muda untuk Indonesia Berdaya.
Bagaimana buku ini terselesaikan?
Kerjasama tim jarak jauh saja. Spirit kebaikan kami saat di pertemuan harus dimanfaatkan sebaik-baiknya agar kelak tidak melempem seiring berjalannya waktu. Maka menyegerakan kebaikan adalah kuncinya. Saya dipercayakan sebagai project leader, dibantu oleh desainer, editor, dan tentu saja penulis. Dan itu semua inisiatif mandiri. Berkarya indie.
Berapa lama proyek ini diselesaikan?
Kami mengincar momentum yang tepat, yaitu Sumpah Pemuda. Pertemuan awal kami September 2017 menuju 28 Oktober 2017. Kurang dari 50 hari proyek ini terselesaikan. Bukan hanya selesai. Kami bisa melaksanakan wacana ini dengan sebaik-baiknya. Launching di 7 kota serentak (Batam, Padang, Jakarta, Bandung, Bogor, Semarang, dan Surabaya). Pengen sih jadiin rekor MURI, tapi terkendala dana. Haha. But it’s okay. Semuanya sudah berjalan dan selesai. Terima kasih teman-teman!
17 Agustus 2019, saya diingatkan dengan sebuah tulisan. Tulisan ini sebenarnya saya post di blog 18 Agustus 2016. Tapi entah bagaimana jalannya, tulisan itu dimunculkan kembali. Judul tulisannya adalah “Memaknai Kemerdekaan : Menulis untuk Indonesia”. Kamu bisa baca selengkapnya di blog ini. Kutipan menarik dari tulisan tersebut,
“Hmmm, saya jadi terpikir untuk mengumpulkan berbagai pemikiran solutif kreatif anak negeri menjadi buku kolaborasi. Lalu diluncurkan ketika Sumpah Pemuda 28 Oktober 2016. Agar ke depannya anak muda negeri ini tak sibuk mencaci maki, tapi sibuk mencari solusi.”
Tulisan tersebut dipublikasikan tahun 2016. Seolah tanpa usaha, niatan itu menjadi nyata di 2017. Episodenya tak terkira sebelumnya. Kekecewaan di FIM, pencapaian di FLS 2017. Ah, rencana Allah itu benar-benar indah ya.
Anyway, bagi kamu yang ingin memesan buku ini, spoilernya bisa lihat di sini dan klik bit.ly/maubukurezky untuk pemesanan. FYI, sebagian profit buku ini didonasikan untuk yayasan kanker Pita Kuning Anak Indonesia. Alhamdulillah, semoga setiap dari kita disibukkan dengan kebaikan demi kebaikan selanjutnya.
Kecewa dari FIM 19, berkarya bersama FLS 2017. Kini atas izin ridho Allah, saya bergabung bersama FIM 21. Semoga kelak ada banyak kebaikan lagi yang bisa dihasilkan.
Ohya, ada pesan menarik lain yang saya dapatkan dari alumni FIM juga. Kurniawan Gunadi namanya. Tahun 2017 saat saya bertemu dengannya di salah satu event kampus di Surabaya. Saya lupa redaksional kalimatnya. Insightnya adalah,
“FIM ini ‘hanya’ kolaborator kebaikan, bukan tujuan.”
Saya mengangguk-angguk. Kini pun semakin paham. Bukan hanya FIM. Pada banyak hal, kita seringkali salah kaprah. Menganggap jalan sebagai tujuan. Nyatanya, tujuan itu lebih jauh di depan. Sedangkan jalan, ada banyak pilihan yang bisa diambil.