Belakangan, saya merasa bosan untuk menulis.
“Lah kok bosan nulis? Namanya aja udah passionwriter, kok bisa bosan?”
Eits, tunggu dulu. Kalimat saya belum selesai.
Belakangan, saya merasa bosan untuk menulis di Instagram. Ada kegelisahan tersendiri sih. Tapi walau saya bosan menulis di Instagram, bukan berarti saya berhenti menulis di platform lain.
Terakhir saya menulis di feed Instagram adalah 30 April. Sedangkan di blog, selama bulan Mei ini saya menulis 5 artikel, termasuk postingan ini. Di 3 hari awal bulan Mei, saya bahkan bisa ngegas nulis 12 artikel untuk sebuah website.
Catatan: Per Februari, saya menjadi kontributor di website alhasanah karena permintaan seorang teman. Minimal saya menulis 10 artikel per bulan. Dan itu dikerjakan menjelang deadline. Hehe. Tapi kalau konsistensi ini dijaga, per akhir tahun ada 110 artikel yang ditulis. Wah, jadi buku tuh.
Kembali ke cerita awal. Kenapa bosan menulis di Instagram?
Entahlah, saya nggak tahu juga alasan pastinya. Abstrak. Hmmm, gelisah kali ya. Kenapa? Bisa jadi karena konten yang terlalu ramai dan terpaksa “mengejar”.
Tidak. Tidak ada yang salah bagimu yang produktif menulis di Instagram. Itu bagus untuk menjaga konsistensi dan semangat berkarya. Ustadz Akmal Sjafril pun pernah berpesan:
“Jadi productive writer itu keharusan. Jadi industrial writer itu pilihan.”
Apa itu industrial writer? Menulis berdasarkan pesanan. Menjadi kontributor misalkan. Dan itu nggak masalah. Dari pertemuan bersama beliau, ada 2 insight lain yang saya dapatkan. Coba baca saja di sini.
***
Setiap platform punya pendekatannya sendiri. Instagram misalkan. Agar konten yang ditulis bisa meluas, maka ada banyak strategi yang harus digunakan. Mulai dari penggunaan tagar, menulis dengan format swipe, hingga pembatasan karakter hanya 2200 kata. Banyak konten baik yang bisa kamu dapatkan di Instagram. Banyak banget bahkan. Berbeda dengan Tumblr. Pembacanya sudah punya segmen tersendiri. Biasanya tulisan kontemplatif. Yang saya umum temukan sih begitu.
Berbeda lagi dengan blog. Kamu bisa menuliskan sesuka-sukanya. Mau pakai SEO bisa. Mau menulis sebagai self healing juga. Terserah penulis mau gimana.
Setiap orang pasti punya alasannya sendiri kenapa menulis. Termasuk perihal platform yang dipilih, pasti punya alasannya tersendiri.
Bagi yang suka menulis singkat, di Twitter.
Bagi yang suka menulis dengan dukungan visual, di Instagram.
Bagi yang suka menulis kontemplatif dan self healing, di Tumblr.
Bagi yang suka menulis opini populer, di Medium
Bagi yang suka menulis dengan “kebebasan”, di blog.
Mana yang terbaik? Ya terserah mau pilih mana. Itu tadi berdasarkan pengamatan saya saja sih. Tapi daripada bertanya mana platform yang terbaik, jauh lebih baik mulai saja menulis. Karena banyak yang suka bertanya “baiknya nulis di mana”, tapi tidak pernah mulai menulis. Nah, kan lucu. Banyak wacana.
Saya mulai menulis “serius” sejak 2009/2010. Dimulai dari masa SMA, saya menulis jurnal harian. Pernah juara essay “Andai Aku Jadi DPD RI se-Provinsi Riau”. Di masa perpisahan, ikut proyek antologi dengan teman SMA. Tahun 2012-2013, saya rajin menulis broadcast message “Inspiration Today”. Tahun 2013, saya menerbitkan buku pribadi pertama yang tembus di major. Tahun 2014, pernah jadi project leader penulisan buku antologi ISLC UI yang diluncurkan di UI. Tahun 2015, pertama kali 30DWC berjalan. Dan terus sampai tulisan ini ditulis, saya terus bertumbuh. Maka jika ada yang bertanya, kenapa sampai sekarang saya masih menulis. maka jawabannya adalah:
- Sudah terbiasa menulis
- Punya strong why
- Prinsip naik kelas
Selengkapnya, kamu bisa baca di tulisan Kenapa Sampai Sekarang Saya Masih Menulis?
***
“Kalau kamu sudah menulis lebih dari 10 tahun, kenapa bosan menulis?”
Saya nggak bilang bosan untuk menulis ya. Saya hanya mengatakan bosan untuk menulis di Instagram. Tapi bosan itu bukan berarti berhenti loh ya. Hanya perlu jeda saja.
“Ya deh ya deh. Tapi kenapa?”
Beberapa waktu belakangan, saya merenung akan makna dari istilah penulis di dunia digital dan konvensional. Writer, author, dan content creator.
Content creator itu seperti youtuber, vlogger, designer, dan peran lain yang memang berfokus pada create content. Bentuknya beragam. Tidak hanya tulisan. Bisa juga visual dan video.
Writer, ya mereka yang menulis Sesederhana itu. Writer biasanya “menulis ulang” karena adanya permintaan. Pada bagian tertentu, content creator dan writer beririsan. Tapi tidak selalu sama. Penulis yang punya feed dengan sedemikian rapi, boleh dikatakan content creator.
Author lebih bebas. Menulis berdasarkan imajinasi. Bisa jadi fiksi, bisa jadi nonfiksi. Memiliki gagasan tersendiri dan ingin menyampaikannya ke dunia.
Ohya, 3 jawaban ini saya dapat dari kombinasi berbagai referensi ya. Kamu boleh setuju, boleh juga tidak. Mau menambahkan pun boleh.
Baik, lanjut.
Lalu, Rezky Firmansyah yang menyematkan istilah Passion Writer di belakang namanya termasuk yang mana? Entahlah. Kadang saya bisa berkarya sebagai content creator, menulis pesanan sebagai writer, dan sering juga menulis gagasan sendiri sebagai author.
Tapi bagaimana jika membuat kategori baru? Passion writer.
Selama ini saya menyematkan Passion Writer di belakang nama, tidak pernah saya benar-benar mendefinisikan dengan jelas apa itu Passion Writer? Apakah writer yang passion dalam menulis? Atau gimana? Saya akan coba definisikan sederhana saja ya.
Writer adalah menulis. Cukup jelas ya. Menuangkan pemikiran dan perasaan dalam sebuah tulisan. Outputnya adalah kata yang dibaca.
Passion? Nah ini nih.
Banyak yang keliru dalam memahami passion. Passion itu bukan hobi. Passion itu bukan juga energi yang tiada habisnya. Bisa jadi saat melakukan passion kita lelah. Tapi kita “diizinkan” untuk berbuat lagi dan lagi. Dimampukan, diyakinkan, dikuatkan.
Apakah saya pernah malas, bosan, bahkan gagal dalam menulis? Tentu saja. Saya kan manusia. Punya emosi seperti manusia pada umumnya. Tapi saya memilih untuk terus bergerak dan menciptakan jalan sendiri ingin menjadi seperti apa.
30DWC yang berjalan dari Oktober 2015 hingga sekarang (2020) sudah berjalan 23 angkatan. Ada 1861 Fighter yang pernah terlibat dan 20 antologi yang terbit. Belum lagi jika menghitung antologi inisiatif dari alumni. Perjalanan ini dibantu oleh banyak orang.
@BukuUntukIbu tahun 2019 sudah berjalan. Ada sekitar 229 penulis yang terlibat dalam penulisan bukunya. Perjalanan ini juga dibantu oleh banyak orang.
Passion dalam menulis membuat saya untuk tidak hanya menulis saja, tapi juga memperluas sayap kebaikan lainnya.
“Mimpi seorang penulis itu bukan hanya menerbitkan buku saja. Karena buku adalah tools. Maka pikirkan apa sayap kebaikan selanjutnya.”
– Zayyin Achmad
Saya mungkin merasa jenuh untuk menulis di Instagram karena alasan tertentu. Tapi bukan berarti saya berhenti untuk menulis. Tulisan ini bukan juga berarti saya pamit untuk menulis di Instagram. Bukan begitu. Dan saya tahu, banyak penulis Instagram yang tujuannya adalah untuk berperang konten. Maksudnya?
Ya berperang konten. Karena ada begitu banyak konten negatif yang ada di social media. Maka jika tidak ada penulis baik yang hadir dan menyebarkan konten positif, lantas apa yang dibaca? Konten negatif akan menguasai.
“Yah, kalau gitu lebih baik nggak usah pakai social media. Atau ya unfollow aja. Kan gampang.”
Ya bisa jadi sih. Tapi itu bukan solusi terbaik.
Ada mereka yang tidak tahan untuk diam. Mereka ingin bergerak untuk memenuhi social media dengan konten positif. Karena itulah jalan dakwah bagi mereka. Itulah yang kelak akan jadi tabungan amal bagi mereka. Maka niat untuk menyebarkan manfaat seluas-luasnya menjadi spirit bagi mereka untuk berkarya.
Tapi ada juga yang tipenya bukanlah penulis yang berperang. Mereka tidak nyaman dengan diburu dengan kuantitas konten. Karena mereka sudah punya suara khasnya tersendiri dalam menulis. Dan itu tidak masalah. Asalkan sudah tahu mau ke mana, ya tinggal jalan saja. Tidak perlu saling membandingkan mana jalan yang terbaik. Fokus saja untuk berbuat baik. Perihal ini pernah saya bahas di Mindfulness Writing.
***
Ada satu hal yang terlupakan bagi mereka yang punya niat untuk bermanfaat. Apa itu? Saat menulis dan berkarya kita sudah Allah-oriented. Berfokus pada ridho Allah, bukan ridho manusia.
Kita tidak bisa pungkiri bahwa saat menulis, kita harus tahu kebutuhan pembaca. Agar apa yang kita tuliskan bermanfaat bagi mereka. Ya contoh mudahnya saja, kan nggak mungkin juga menulis tips rumah tangga tapi ditujukan untuk anak SMA. Jadi kenal dengan pembaca itu penting. Tapi, bukan berarti kita harus reader-oriented. Kita harus punya value yang ingin disebarkan ke pembaca. Pesan seorang teman ini seringkali saya ulang.
“Jika kamu hanya menulis untuk diri sendiri, itu egois. Tapi jika kamu hanya menulis untuk orang lain, itu omong kosong.”
-Rio Alfajri
Gunakan dua kacamata dalam menulis. Kacamata pembaca dan kacamata penulis.
Kembali lagi ke Allah-oriented.
Manfaat itu penting, tapi bukan berarti yang paling penting. Lalu apa yang paling penting? Allah ridho dengan usaha kita. Indikatornya gimana? Nah, ini nih abstrak. Tapi mungkin gambarannya bisa seperti ini.
Saat tulisanmu like, comment, dan share-nya lebih sedikit dibandingkan orang lain yang kontennya biasa saja, apakah kamu iri hati?
Saat tulisanmu minim like, comment, dan share, akankah kamu berhenti untuk menulis?
Saat tulisanmu dinilai “biasa aja” oleh pembaca, apakah kamu merasa tidak berbakat dalam menulis?
Coba tanyakan saja beberapa pertanyaan ini. Akankah kamu berhenti? Jawab saja dalam hati. Jika kamu terus maju apa pun yang terjadi, semoga itu tanda Allah ridho dengan usahamu. Tentu, ini catatan juga bagi saya.
Manfaat seluas-luasnya itu penting. Tapi yang tak kalah penting adalah Allah ridho dengan usaha kita.
Mengenai Allah ridho dengan usaha kita, saya jadi teringat dengan nasihat lama yang saya dapat dari kajian Masjid Jogokariyan. Usai kajian, saya bertanya langsung dengan Ustadz Salim A. Fillah. Saya bertanya lebih kurang seperti ini:
“Ustadz, bagaimana caranya meyakinkan diri kita pada jalan dakwah yang kita pilih? Harus di jalan kebaikan yang mana? Karena terkadang saya merasa kok jalan dakwah orang lain lebih besar peluang amalnya.”
Beliau menjawab:
“Jalan yang disukai Allah. Terserah Allah mau meletakkan kita dimana.”
Singkat, padat, amat bermanfaat.
***
Suatu hari, ada yang ngirim ke dm Instagram. Lebih kurang dia berkata begini.
“Assalamualaikum Mas Rezky. Perkenalkan saya Hadi dari Sumbawa. Saya barusan baca tulisan Mas Rezky di blog tentang menulis. Inspiring banget. Boleh nggak saya izin menjadikan tulisan Mas Rezky sebagai referesi tulisan saya?”
Sejujurnya komentar semacam ini tidak sekali dua kali saya dapatkan. Saya pun menggali lebih dalam. Tulisan mana yang dia maksud.
“Tulisan 7 Tips dari Penulis Peraih Rekor MURI Prof Imam Suprayogo mas. Kebetulan mau nulis buku mas. Saya searching dan ketemu blog mas Rezky. Saya baca tulisan antum renyah, sederhana, dan tidak berat. Tertarik dengan pembahasan yang diulas. Saya pendatang baru mas di dunia tulis menulis. Sekiranya Mas izinkan, alhamdulillah,. Tapi kalau tidak juga, tidak apa-apa mas. Seoga kita dapat saling berbagi.”
Masyaallah. Bagaimana mungkin saya menolak tawaran ini. Karena komentar ini bagi saya begitu berkesan. Ini bukan hanya tentang membaca sebuah tulisan lalu terinspirasi. Bukan sesederhana itu bagi saya. Karena yang dia baca adalah tulisan saya di Oktober 2015. Sedangkan sekarang sudah 2020. Itu tulisan 5 tahun yang lalu. Dia juga membaca tulisan Mindfulness Writing yang di tulis April 2020. Coba saja bayangkan jika saya berhenti menulis karena alasan remeh, akankah manfaat itu bisa didapatkan oleh orang yang tidak saya kenal sama sekali?
Siapa yang membuat saya menulis topik 5 tahun lalu itu?
Siapa yang menggerakkan seorang di Sumbawa untuk membaca tulisan saya?
Siapa yang membuat saya masih menulis hingga saat ini?
Hadza min fadhli rabbi.
Ada kisah lagi. Seorang peserta 30DWC yang tidak lulus saat itu. Ceritanya dia terhenti karena berangkat umroh dan punya alasan klasik “ingin fokus ibadah” atau “nggak pengen terlihat pamer karena lagi umroh”. Padahal sebenarnya itu semua bisa diatur kan. Dia bisa meluangkan waktu sebelum tidur untuk menulis. Dan dia juga tidak perlu menulis tentang umroh.
Singkat cerita, dia terhenti hari ke 15 seingat saya. Dia yang biasa menulis di Instagram, tidak lagi terlihat tulisannya di feed. Lalu tiba-tiba ada yang dm ke dia.
Ini screenshoot-nya
Dia merasa tidak berbakat dalam menulis. Dia merasa nggak pede dalam menulis. Tapi di luar sana, ada orang yang tidak dia kenal suka dengan tulisannya. Mendapatkan manfaat dari tulisannya. Siapa yang mempertemukan mereka? Hadza min fadhli rabbi.
Maka, untuk setiap dari kita yang berkarya, teruslah melangkah di jalan masing-masing. Tidak perlu saling membandingkan siapa yang lebih baik. Yang penting Allah ridho dan terus naik level dengan cara kitia sendiri.