Perspektif, Insight Penting Bagi Penulis yang Saya Dapatkan dari Kurniawan Gunadi

Tahu nama Kurniawan Gunadi? Bersamaan dengan bertemunya Azhar Nurun Ala, saya juga berjumpa dengan Mas Gun, panggilan akrabnya. Kok bisa ketemu? Nah begini.

Ceritanya Azhar Nurun Ala dan Kurniawan Gunadi disandingkan di satu panggung dalam event workshop kepenulisan. Event utamanya adalah UI IBF 2019. Nah, daging banget nih pematerinya. Saya pun niatin banget datang. Eh ternyata bisa dapat jalur khusus. Kami malah jadi “liaison officer bayangan”. Lah kok bisa?

Kami bertemu di balik layar lebih tepatnya. Sebelum acara berlangsung, kami sudah meet up duluan di perpustakaan UI. Ya biasa, jaringan anak FIM. Kurniawan Gunadi sendiri adalah FIM 16 sedangkan saya FIM 21. Di masa-masa seleksi FIM 19, saya ingat banget dengan insight yang dia sampaikan, walaupun mungkin dia tidak sadar dengan pesan yang disampaikan saat itu.

“FIM hanyalah kolaborator kebaikan, bukan tujuan akhir.”

Pesan ini begitu insightful bagi saya. Karena berkali-kali saya ikut seleksi FIM, barulah di percobaan ketiga saya lolos. Di berbagai tulisan dan sharing tentang FIM, saya sering mengulang pesan ini. Di tulisan Antara FIM dan FLS, Jalan atau Tujuan adalah salah satunya.

Seperti halnya Azhar Nurun Ala, saya terkesan dengan first impression Kurniawan Gunadi ketika menyapa saya. Kami sebelumnya memang sudah bertemu. Tepatnya 2 tahun lalu di Unair Kampus B. Universitas yang sama dengan pertemuan saya dengan Azhar Nurun Ala, hanya beda titik kampus saja.

Sebagai passion writer, seperti biasa saya akan berbagi dengan kacamata writer create writer. Gimana caranya saya bisa membantu kamu untuk menjadi penulis juga. Insight penting yang saya dapatkan dari pertemuan ini adalah tentang perspektif. Saya akan ceritakan poin per poin ya.

1. Perspektif dan Cara Menyampaikannya

Kurniawan Gunadi adalah alumni seni rupa. Di jurusan seni rupa, ada satu hal sederhana yang dibahas cukup panjang. Satu semester atau mungkin satu tahun. Apa itu? Perspektif.

Singkatnya, perspektif adalah sudut pandang. Setiap dari kita pasti punya sudut pandang tersendiri akan suatu hal. Dalam konteks melihat pernikahan misalkan. Bagi saya yang berumur 26 tahun, tentu berbeda dengan kamu yang saat ini masih kuliah awal, atau bahkan sudah menikah bertahun-tahun. 

Dalam menulis juga. Kamu mungkin melihat perspektif menulis sebagai sarana curhat, berbagi manfaat, atau sekadar hobi saja. Saya juga punya perspektif sendiri tentang menulis. Bagi saya, menulis bukan doang. Menulis adalah perjuangan, pergerakan, dan perubahan. Sangat panjang jika diceritakan. Tapi dengan perspektif inilah sampai sekarang saya bertahan dan menjalani proses menulis dengan otentik. Menjadi passion writer, your partner to be a writer.

Setiap dari kita punya sudut pandang masing-masing. Satu cerita dengan seribu perspektif. Melihat dengan perspektif berbeda menjadi kunci bagi kita untuk berbagi cerita yang memberikan something new dan aha moment kepada pembaca.

Paling gampang begini. Banyak yang menulis tulisan ala-ala refleksi. Tapi apa yang membuat refleksimu berbeda dengan refleksi penulis lainnya? Perspektif.

Gimana caranya bisa memberikan perspektif berbeda? Ya lihat saja dari angle yang berbeda. Sederhana kan? Atau coba baca teknik chunking berikut. Tulisan 4 tahun lalu dan masih nyambung sampai sekarang.

2. Ketakutan Datang Hanya Karena Tidak Dibiasakan

Sudah punya nih perspektif yang berbeda akan suatu hal. Ternyata masih ada PR lainnya. Apa itu? Kepercayaan diri.

“Duh aku gak pede nih. Soalnya nggak ada yang bahas beginian.”

“Duh gimana ya. Takut nanti ada yang komentar nggak-nggak.”

“Duh, kalau jelek gimana.”

Yaelah. Hidupmu terlalu banyak duh dan mengeluh. Udah, mulai aja dulu.

Ketakutan yang kamu alami sekarang, atau lebih tepatnya yang pernah kita alami adalah karena belum terbiasa saja. Jadi MC misalkan. Bagimu yang pertama kali jadi MC, pasti tuh banjir keringat pas pengalaman pertama. Tapi pas udah berkali-kali, nyaman aja tuh. Malah jadinya nagih. Bahkan bisa tampil dengan pede dan otentik.

Untukmu yang masih takut untuk berbeda, udahlah mulai aja dulu. Asalkan yang kamu sampaikan memiliki pesan kebaikan, lanjutkan saja. Ambil langkah dan siap bertanggungjawab.

Sekali lagi, ketakutan terjadi karena kita tidak terbiasa melakukan suatu hal tersebut. Karena itu, mulailah dan biasakanlah.

3. Apresiasi Diri Dahulu, Baru Pikirin Orang Lain

Masih tentang ketakutan. Biasanya rasa takut itu terjadi karena kecenderungan orientasi kita berkarya adalah pada orang lain, bukan untuk diri sendiri.

Saya masih ingat banget dengan pesan seorang pembicara di tahun 2015 atau 2016, saya lupa. Saat itu di UNPAD Jatinangor, Rio Alfajri memberikan pesan yang maknanya kurang lebih begini.

“Jika kamu berkarya untuk diri sendiri, itu egois. Tapi jika kamu berkarya untuk orang lain, itu non sense. Jadi, berkaryalah untuk diri sendiri dan orang lain.”

Menggunakan dua kacamata, begitulah intinya. Berkarya bukan hanya semata-mata untuk diri sendiri atau hanya untuk memuaskan orang lain saja. Gabungkan kacamata pembaca dan penulis. Caranya gimana? Ya sederhana. Pastikan ada pesan kebaikan yang disampaikan. Bukan curhat tanpa arah.

Seorang teman lainnya, Tengku Novenia Yahya pernah berpesan yang lebih kurang maknanya begini.

“Writing is expression, not impression.”

Kalaulah saya menyempurnakan, jadinya begini.

“First, writing is expression. Then, writing is impression.”

Saya pribadi cenderung berkarya harus mendahulukan diri sendiri barulah orang lain. Yang penting diri ini suka dulu, baru mikirnya orang lain. Tapi bukan berarti buta terhadap feedback pembaca loh ya. Karena itulah penting bagi penulis untuk mengapresiasi diri sendiri dibandingkan menunggu apresiasi orang lain. Lah kalau orang lain nggak ada yang muji gimana? Apakah akan berhenti menulis? Ya nggak gitu juga kan?

Jangan terlalu keras dengan diri sendiri sehingga jadi lupa untuk mencintai diri sendiri. Mendahulukan apresiasi diri dibandingkan menunggu pujian orang lain adalah salah satu caranya. Dalam sebuah event yang diselenggarakan FIM Depok dengan topik Self Love, Aku Dulu Baru Kamu, saya pernah bikin reviewnya di sini. Baca saja.

4. Perencanaan Hidup Bagi Penulis

Last but not least. Perencanaan hidup bagi penulis.

Banyak orang yang mengira bahwa hidup penulis penuh dengan ketidakpastian. Jawabannya sih bisa jadi iya, bisa jadi nggak. Ya tergantung bagaimana caranya menjalani hidup sebagai penulis. Kalaulah berkarir sebagai penulis kantoran seperti content writer atau posisi lain yang tetap di sebuah kantor, ya mungkin hidupnya pasti. Ada gaji pasti. Ada kantor pasti. Ada jam pulang dan kerja pasti. Lalu bagaimana dengan penulis yang tidak punya kantor? Menjalani hidup sebagai pekarya indie.

Banyak loh jalan hidup bagi seorang penulis. Nggak kaku sebatas menulis, menerbitkan, lalu menjual buku. Nggak segitu aja. Ada banyak banyak jalan lain yang mungkin sulit terlihat hanya dari permukaan.

Hidup dengan ketidakpastian? Ya bisa jadi. Maka wajar saja orangtua dan mungkin calon mertua punya kekhawatiran tersendiri. Nggak semua loh ya. Tapi pasti ada. Lantas bagaimana mengantisipasinya?

Buatlah perencanaan hidup sebagai penulis. Ingin menulis apa? Bagaimana cara menghidupi diri dan keluarga? Apakah ingin menjadi penulis part time atau full time? Darimana saja penghasilan didapat? Berapa buku yang ingin diterbitkan setiap tahun? Kapan saja waktu menulis? Dan seterusnya.

Tentu, masih banyak pertanyaan lain yang bisa membantu perencanaan hidup sebagai penulis yang kerap dinilai dengan ketidakpastian. Karena itulah buat perencanaan hidup. Dan tentu, perencanaaan setiap orang pasti berbeda. Jadi tidak perlu saling membandingkan. Saling berdiskusi, tentu saja boleh.

***

Insight ini adalah tentang perspektif. Jika kamu punya perspektif yang otentik tentang menulis, kamu pasti akan menikmati proses yang kerap dinilai tidak pasti ini.

Selamat berproses!

Dan,

Terima kasih Mas Gun. 😀

FIMers Bareng Kurniawan Gunadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *