Ahad, 8 Oktober adalah hari pertama status baru sebagai suami. Banyak yang bertanya, bagaimana perasaannya setelah menikah? Jawaban yang mungkin kita tidak asing mendengarnya adalah,
“Enak atau enak banget. Kalau tahu begini, sudah sejak dulu saya menikah.”
Jawaban itu sah-sah saja. Namun saya ingin memberikan alternatif jawaban dan perpsektif lain.
Yang saya rasakan adalah ketenangan. Abstrak memang, tapi itulah yang saya rasakan. Saya pun berhusnuzan, semoga inilah makna sakinah yang seringkali disampaikan dalam doa-doa pernikahan.
Namun apakah sakinah satu-satunya tujuan? Tentu saja tidak. Salah satu proses belajar yang harus dijalani adalah bertumbuh dan belajar bersama. Bagaimana caranya? Setelah menikah, saya mengajak istri untuk membuat jurnal digital. Isinya sederhana saja. Ada 3 kolom utama. Tanggal, momen, dan lesson learn. Apa tujuannya? Untuk mengingat momen dan memetik hikmah setiap harinya. Apakah konsisten dilakukan? Tidak juga. Kadang ada yang bolong-bolong. Ada juga yang mengisinya setelah sekian hari terlewati.
Kebiasaan kecil ini mungkin remeh, tapi begitu berarti. Setidaknya bagi saya pribadi. Saya dipaksa untuk belajar, bertumbuh, mencari sudut pandang positif, memetik hikmah, setiap harinya. Sang istri walaupun tidak rutin melakukan, setidaknya masih terdorong juga untuk berpikir agar selalu ada hikmah setiap harinya. Tertarik untuk mencoba?
Sebulan Setelah Menikah
Akad dan resepsi pada 8 dan 14 Oktober. 10 hari setelahnya kami pergi ke Jakarta bersama. Orang-orang ada yang menganggapnya bulan madu. Bisa jadi. Namun yang kami lakukan bukanlah sebatas jalan-jalan. Melainkan belajar bersama. Belajar di mana? Di banyak tempat. Salah satunya adalah Pelatihan Forum Indonesia Muda angkatan 25. Mengenai pelatihan ini sudah sering saya ceritakan di berbagai platform. Baik di blog, Instagram, bahkan banyak buku yang saya tuliskan. Salah satunya 17 Insight Pelatnas FIM 21. Silakan download saja, gratis.
Baca tulisan lainnya:
- Antara FIM dan FLS, Jalan atau Tujuan?
- Membangun Keluarga Ideologis dari Pendiri FIM: Impian, Kejujuran, dan Masa Depan
Dalam Pelatihan Forum Indonesia Muda (FIM) ini, kami hadir dengan peran yang berbeda. Saya sebagai panitia sedangkan istri sebagai peserta. Proses seleksinya cukup ketat. Namun yang perlu saya tegaskan di sini adalah, kelulusan istri tak ada sangkut pautnya dengan kehadiran saya sebagai panitia. Bahkan saya sudah berikan ketegasan yang jelas. Baik kepada istri atau panitia lain yang bertanggungjawab dalam kelulusan. Alhamdulillah, istri pun lulus dan menjalani proses belajarnya di sana. Saya pun juga belajar banyak.
Selain belajar di FIM, ada banyak pertemuan bermakna yang penuh pelajaran lain yang saya dapatkan. Tulisan ini akan meringkas apa yang saya pelajari. Baik saat hadir bersama istri atau saat bertemu dengan para guru secara personal.
Ustadz Wahid, sosok guru yang saya temui setiap pekan.
“Menikah itu menerima satu paket lengkap, termasuk menerima kekurangan.”
Kak Kusnan, sosok pemuda visioner yang saya temui sejak 2014.
“Berikan kesempatan dan tempat untuk belajar bersama bagi keluarga. Saling melengkapi dan bertumbuh.“
Coach Rene Suhardono, salah satu role model.
“Kalian sudah memulai ini dengan baik. 5 tahun lagi, coba lakukan hal serupa.”
Ustadz Faris BQ, sosok ustadz yang diikuti sejak 2019
“Jadilah hamba dari Allah dan khalifah bagi sesama manusia. Bukan sebaliknya.”
Ustadz Bendri Jaisyurrahman, pegiat parenting “fatherman”.
“Menikah itu karena Allah, bukan karena komponen di luar.”
Ustadz Hadi Nur Ramadhan, motivator sejarah nasional.
“Saat pernikahan menghadapi konflik, maka ingatlah kembali alasan awal kenapa kamu menikahi pasangan. Karena dengan begitulah cara untuk memperbaharui energi cinta.”
Ustadz Deden Makhyaruddin, dalam kajian di AQL Islamic Center.
“Saat ada sandaran selain Allah, biasanya sandaran kita kepadanya akan lebih kuat daripada sandaran kepada Allah.”
Kak Arry Rahmawan, mentor menulis pertama.
“Belajar untuk manajemen ekspektasi, membuka pintu komunikasi, lalu sama-sama memahami.”
***
Sebenarnya selama sebulan pernikahan bukan hanya mereka yang memberikan pelajaran. Banyak para guru dan momen lain yang memberikan pelajaran. Namun setidaknya, tulisan ini adalah ikhtiar untuk mengabadikan pelajaran yang bisa kita maknai bersama. Setidaknya selama kami “bulan madu” di Jakarta dan sekitarnya.
Sebulan sudah terlewati. Selanjutnya, mari kita tetap belajar dan bertumbuh bersama.
Menjelang hari pernikahan, saya dan istri telah menulis buku berjudul Teropong Waktu. Buku ini ditulis dengan konsep memoar perjalanan tentang refleksi yang ditujukan sebagai kenang-kenangan pernikahan. Buku ini bisa diakses gratis secara digital atau membeli buku fisiknya. Khusus pembelian fisik, profitnya akan ditujukan untuk pembangunan wakaf sumur bersama Komunitas Kampar Berbagi. Silakan download atau beli bukunya di link bio @rezky_passionwriter