Terkesan paradoks ya pesan tentang Ramadan? Namun memang, pernyataan itu tidak salah tulis.
Yang ditulis adalah “menjelang akhir Ramadan, berdakwahlah ke luar masjid”. Pernyataan ini bukan berarti mengabaikan iktikaf di hari-hari terakhir Ramadan. Kita masih tetap bisa iktikaf kok di malam hari. Mau iktikaf penuh tanpa keluar masjid? Ayolah coba jujur. Seberapa banyak dari kita yang mampu? Bukan berarti tidak menganjurkan loh ya. Namun jika melihat fakta di lapangan, cara paling realistis adalah iktikaf di malam hari saja. Setidaknya setelah salat tarawih, tetap bertahan di masjid hingga waktu subuh. Atau datang di tengah malam, lalu lanjut salat tahajud, sahur bersama, hingga salat Subuh berjamaah. Untuk penjelasan terkait iktikaf, ada referensi bacaan bagus dari IG @sabilunnashr. Coba baca deh.
Berdakwahlah ke luar masjid di hari terakhir (atau lebih tepatnya di pertengahan Ramadan) adalah hal yang penting untuk dilakukan. Karena kita melihat banyak “orang hilang” saat memasuki waktu tersebut. Saf di masjid pun semakin maju ke depan. Ke mana mereka hilang?
Kafe? Mal? Atau salat di rumah?
Jika salat di rumah, hanya dirinya dan Allah yang tahu. Jika jawabannya kafe dan mal, bisa jadi. Karena terbukti semakin hari tempat tersebut semakin ramai. Berburu makanan hari raya, pakaian lebaran, hingga sebatas nongkrong. Bahkan mulai dari buka bersama.
Dakwah bukan hanya dibutuhkan di dalam masjid. Bahkan jauh lebih dibutuhkan di luar masjid. Karena di masjid rata-rata sudah orang “baik”. Orang yang menjemput hidayah dengan mendatangi. Sedangkan orang yang di luar masjid? Mereka menunggu hidayah. Bukan mendatangi, tapi didatangi. Dan ini adalah peluang dakwah.
Beberapa hari lalu saya menulis di Instagram yang berjudul “Tips untuk Tokoh Publik Kita di Bulan Ramadan.” Kata tokoh publik dicoret bukan tanpa alasan. Karena sebenarnya tips tersebut bisa dilakukan oleh siapa saja. Namun akan lebih powerful jika dilakukan oleh tokoh publik. Dilakukan oleh mereka yang punya kekuasaan dibandingkan orang pada umumnya.
Salah satu yang dibahas dalam tulisan itu adalah membuat publikasi kreatif. Jika biasanya mengucapkan Marhaban Ya Ramadan dengan foto raksasa, apa yang diharapkan sebenarnya? Eksistensi diri? Membuat orang tahu bahwa kita menyambut Ramadan dengan bahagia? Boleh-boleh saja. Tapi apa nilai tambahnya? Nyaris tidak ada. Maksimal di eksistensi, tapi minimal di esensi.
Pendekatan kreatif yang bisa dilakukan adalah dengan membuat publikasi yang memuat ajakan dakwah seperti:
- Buka bersama boleh. Namun jangan lupa salat Magrib berjamaah.
- Ramadan itu satu bulan. Bukan hanya satu pekan. Ayo gaspol sampai akhir!
- Akhir Ramadan itu berbuat amalan, bukan berburu pakaian.
Cetak spanduk ukuran raksasa dan letakkan di posisi strategis seperti pinggir jalan protokol. Atau paling mudahnya, pasang di mana spanduk ucapan-ucapan biasanya ada. Tak perlu disandingkan dengan foto sosok. Jujur saja, hal semacam itu agak norak. Sebagaimana ucapan sambutan bagi atlet berprestasi oleh para politisi. Seolah menjadi yang paling kontributif bagi para atlet.
Saat saya menulis tentang ide spanduk, ada seorang kepala desa yang merespon dengan positif. Katanya ingin mencoba di daerahnya. Sekian hari saya tunggu, ternyata benar dieksekusi. Ini buktinya.
Saya pun bertanya dengan Ihfazni Arham, Kepala Desa Salo yang memasang spanduk tersebut. Apa motivasinya memasang hal tersebut?
“Pesan-pesan nasihat saling mengingatkan jauh lebih diperlukan oleh masyarakat saat ini. Ketika kualitas dan kuantitas ibadah masyarakat lebih baik, akan meningkatkan mentalitas dan keyakinan dalam menjalani hari-hari sebagai makhluk Allah. Hal itu akan menciptakan suasana negeri yang nyaman dan aman serta tentunya mendapat berkah dari Allah.”
Jawaban yang sebenarnya tidak mengejutkan lagi karena memang beliau punya latar belakang pendidikan agama yang baik. Di sinilah urgensinya orang baik memimpin. Agar lebih banyak kemaslahatan yang disebarluaskan.
Pertanyaan selanjutnya, apakah benar pesan yang disampaikan oleh pemegang kebijakan bisa lebih powerful dibandingkan masyarakat umum? Beliau mengiyakan. Salah satu contohnya adalah saat pemegang kebijakan mengumumkan untuk membayar zakat. Dengan adanya himbauan serta kebijakan, zakat yang dikumpulkan bisa lebih maksimal.
“Kalau gitu, berdakwah hanya untuk pemegang kebijakan dong?”
Tidak juga. Dakwah itu bukan tugas pemegang kebijakan. Dakwah sudah seharusnya menjadi panggilan bahkan kewajiban bagi siapa saja. Bagi saya yang menulis dan Anda yang membaca. Tentu perannya berbeda. Namun yang pasti, setiap kita wajib berdakwah dengan kapasitas masing-masing.
Penceramah berdakwah melalui mimbar.
Penulis berdakwah dengan tulisan.
Penguasa berdakwah dengan kebijakan.
Pengusaha berdakwah dengan bisnisnya.
“Lah, pengusaha bisa berdakwah juga?”
Tentu saja. Contoh dekatnya cobalah untuk memberikan ruang salat yang kondusif bagi pengunjung. Atau tutup saat waktu salat. Atau berikan juga himbauan bagi para pengunjung untuk salat saat waktunya. Bukankah itu semua dakwah? Percayalah, dakwah itu tidak harus dengan berceramah.
Melanjutkan dengan konteks cerita di awal tulisan ini. Berdakwah di luar masjid saat pertengahan dan akhir Ramadan. Banyak hal yang bisa kita lakukan. Salah satu yang paling “mudah” adalah membuat publikasi kreatif.
Pengurus masjid, ormas Islam, atau siapa saja yang peduli dengan dakwah, cobalah buat spanduk ukuran besar dan pasang di tempat strategis. Mulai dari pagar masjid, jalan protokol, atau bahkan sewa billboard jika punya budget. Berapalah uang yang harus dikeluarkan demi keperluan dakwah. Apalagi saat bulan Ramadan. Insyaallah pahalanya akan berlipat ganda.
Apa isi tulisannya? Sebagaimana ajakan yang disampaikan di awal tadi, coba saja gunakan kalimat tersebut. Atau jika punya redaksional menarik lain, boleh berikan idenya ya.
Menjelang hari terakhir Ramadan, berdakwahlah ke luar masjid. Tapi tetap, maksimalkan ibadah dalam masjid. Masih ada hari-hari terakhir Ramadan yang bisa kita maksimalkan. Yuk manfaatkan. Semoga kita semua Allah pantaskan untuk mendapatkan pahala lailatul qadr. Aamiin.