Membangun Keluarga Ideologis dari Pendiri FIM: Impian, Kejujuran, dan Masa Depan

Menjelang adzan Asar, sinyal wifi kosan tiba-tiba hilang.

“Tunggu aja. Paling nanti penjaga kos yang perbaiki.”

Asumsinya begitu. Tapi ternyata usai shalat Asar pun wifi masih belum nyala lagi. Saya turun ke lantai bawah untuk ngecek, masalahnya apa. Handphone yang semasa pandemi tidak menggunakan paket kuota terpaksa beli kuota. Untuk apa? Ada kelas yang ditunggu sore ini. Dari @AhlanRamadhan.id mengundang Pak E dan Bunda untuk berbagi cerita, “Membangun Keluarga Ideologis.”

Saya telat untuk masuk kelas zoom karena harus mengurus perihal teknis dulu di bawah. Beruntung ada streaming via Youtube yang bisa dilihat ulang. Terima kasih banyak totalitasnya ya panitia. Terima kasih banyak.

Mungkin ada yang heran, seberapa penting sih kelas sore ini? Tidak perlu saya jawab panjang lebar kali tingi. Saya sarankan kamu untuk baca tulisan sederhana tentang Menjadi Keluarga. yang inspirasinya adalah mereka berdua. Elmir Amien dan Siti Markhamah Fauzie atau yang biasa dikenal Bunda Tatty.

***

Dulu, pas awal-awal saya dengar sharing Pak E dan Bunda di Pelatnas FIM 21, jujur saja saya geli sendiri. Bukan karena romantisnya mereka di atas panggung saat bercerita. Tapi saat para jomblo di ruangan mulai berekpresi yang tidak-tidak. Harap maklum.

Geli saat melihat ekspresi peserta, bukan berarti tanpa pelajaran berharga. Buktinya, 1 dari 17 insight yang saya tuliskan di ebook 17 Insight Pelatnas FIM 21 adalah tulisan khusus tentang mereka. Jika kamu ingin membaca 1 judul saja, silakan baca di Instagram tentang Menjadi Keluarga. Tapi jika kamu ingin membaca utuh 17 insight yang saya dapatkan, silakan hubungi saya via WA saja. Nanti saya kasih ebook dalam format pdf.

“Bunda itu seperti rem bagi Pak E.”

“Pak E itu yang memberi energi bagi bunda.”

Mereka saling membalas pujian saat moderator Faisyal Syahri bertanya kesan satu sama lain. Begitu romantis? Ya. Buktinya kolom komentar terlihat rusuh. Bagimu yang streaming di Youtube atau Zoom pasti paham apa yang saya maksud.

Bukan hanya saling melempar pujian. Kisah pertemuan dan perjuangan mereka pun begitu indah.

Jadi ceritanya, Pak E membaca tulisan Bunda di koran. Bukan hanya membaca. Tulisan tersebut sampai dikliping. Kisah ini ketahuan setelah mereka menikah. Apakah ini namanya mengagumi dalam diam? Uwuw sekali.

Tapi tunggu. Kisah sore itu bukan hanya tentang romantisme asmara saja. Tapi juga perjuangan atas sebuah mimpi bersama.

Forum Indonesia Muda adalah mimpi mereka bersama. Mimpi keluarga biologis yang meluas menjadi mimpi keluarga ideologis. Apa yang mereka lakukan saling melengkapi. Bunda yang mempunyai gagasan, Pak E yang mencari anggaran. Begitu kisah singkatnya. Cerita singkat ini juga ditampilkan sedikit oleh peserta Api Ekpresi Forum Indonesia Muda. Grup yang mendapatkan standing applause dan membuat para juri speechless walau tidak juara. Kelompok siapa? Ya siapa lagi~

***

Mari bertanya pada diri sendiri. Masihkah kamu punya mimpi?

“Masih? Kok pakai kata masih? Bukannya mimpi itu sepanjang hidup?”

Bisa jadi. Tapi saya tidak mengiyakan. Kenapa? Karena bisa jadi, kini kita tidak lagi punya mimpi. Alasannya apa? Berbagai macam. Mulai dari kehilangan kepercayaan diri, terjebak dengan zona kesibukan kerja, bahkan sampai pesimis dengan kondisi masa depan bangsa. Banyak hal yang bisa menjadi pembenaran bagi kita tidak untuk tidak lagi bermimpi.

Maka coba tanya lagi pada diri, masihkah kamu punya mimpi? Bahkan bukan hanya mimpi pribadi, tapi mimpi yang merangkul sebanyak mungkin manfaat. Mimpi yang kelak akan disepakati bersama keluarga. Adakah?

“FIM tidak boleh berhenti, kecuali Allah yang membuat kita berhenti.” (Pak E)

“Kalau kita yang punya keinginan, kita yang harus dulu rela berkorban.” (Bunda Tatty)

Perlu rasanya kita jeda sejenak untuk memikirkan ulang tentang mimpi. Mimpi yang bukan hanya terucap saja. Tapi mimpi yang diperjuangkan dari hati. Saya jadi teringat dengan pesan Ustadz Oemar Mita di tulisan lainnya:

“Jika kamu benar-benar jujur dengan cita-cita akhiratmu, demi Allah tidak ada yang bisa membantumu kecuali Allah itu sendiri.”

Maksudnya?

Walaupun kamu terjatuh, lingkungan tidak mendukung, hambatan ada di mana-mana, kamu akan dikuatkan, dimampukan, dan diberikan jalan oleh Allah. Pertanyaannnya, sudahkah jujur dengan tujuan?

***

Saya pernah merasakan fase di mana tidak lagi punya mimpi. Punya sih, tapi hanya sekedar angan saja. Fase ini begitu membosankan. Salah satu faktornya adalah karena kurang mengapresiasi diri. Sibuk melihat orang lain, tapi lupa melihat diri sendiri.

“Kita harus sabar, bersyukur, dan yakin kalau Allah itu sayang sama kita” (Pak E)

Pesan dari Pak E ini sederhana. Begitu sederhana. Bicara tentang sabar dan syukur. Bahkan terkesan seperti nasihat klise. Tapi bagaimana dengan nasihat ketiga? Yakinkah bahwa Allah sayang dengan kita? Ya, kita. Saya, kamu, mereka semua, tanpa terkecuali. Yakinkah?

Pertanyaan ini bisa jadi membuat ragu. Karena kalaulah benar kita yakin Allah sayang dengan kita, lantas kenapa bisa bersedih? Kenapa berputus asa? Kenapa tak yakin lagi dengan mimpi yang dulu pernah dimiliki?

Pernah suatu hari seorang teman memberikan komentar dari tulisan saya yang berjudul Kegagalan Terbesar Seorang Muslim.

“Sometimes I wonder, apakah Allah masih berkenan mengampuni hambaNya yang nista ini dengan segala dosa-dosa yang pernah dilakukannya selama ini?”

“Meragukan kemurahan Allah atas ampunan-Nya?”

“Something like that”

“Menurutmu, Allah sayang kepadamu nggak?”

“Tanpa kasih sayang-Nya mungkin sudah binasa dari dunia ini.”

“Kalau kamu percaya Allah sayang ke kamu, gimana bisa kamu meragukan kemurahan Allah untuk memaafkan hamba-Nya?”

Seorang teman itu terdiam. Saya juga terdiam. Kadang, kita memang butuh memberi jeda sejenak untuk merenungkan kasih sayang Allah. Bukan meragukan Allah. Tapi untuk meyakinkan diri atas kasih sayang Allah itu sendiri.

Tentang nasihat klise tadi, perihal sabar, syukur, dan ikhlas, saya jadi teringat dengan pesan seorang guru lainnya. Rene Suhardono.

“Allah punya caranya tersendiri untuk mengajarkan setiap hamba-Nya atas hal-hal yang kita anggap klise itu. Pelajaran dengan cara yang spesifik untuk masing-masing dari kita. Dan pelajaran itu telah, sedang, dan akan terjadi.”

Setiap dari kita punya jalannya masing-masing untuk belajar. Maka tidak usah dipaksakan sama. Lelah nanti.

***

Atas sebuah mimpi, penting bagi kita untuk terus meyakinkan diri. Bertanya kepada diri sendiri, apakah ini adalah mimpi yang jujur? Bertanya juga kepada Allah, agar diberikan kelurusan dan keyakinan.

Saya, kadang masih ragu dengan diri sendiri. Saya sudah serius menulis sejak 2009. Menulis dari jurnal harian, menerbitkan buku, hingga membantu para penulis lainnya. Jangan kira jalan ini lancar begitu saja. Kurangnya rasa syukur kepada Allah membuat saya lupa bahwa langkah saya begitu sayang jika harus dihentikan.

Sore itu, Bunda memberikan kalimat sederhana. Begitu sederhana.

“Alhamdulillah, sejak PSBB dan pulang dari New Zealand Bunda udah nulis 300 halaman”

Masa pandemi untuk #dirumahaja Bunda jadikan sebagai momen untuk berkarya. Kamu gimana? Sudah buat apa aja?

Untukmu yang katanya pengen jadi penulis, sudah nulis berapa halaman semasa pandemi? Atau jangan-jangan itu bukan mimpi yang jujur? Bisa jadi itu hanya mimpi keren-kerenan saja? Ya bisa jadi.

Berlaku juga untuk mimpimu yang lain. Jika mimpimu jujur, kamu pasti terus berjalan kan? Termasuk mimpi untuk memperjuangkan sebuah nama.

***

“Pola asuh keluarga Pak E lebih merdeka, semua boleh aja asal hati-hati. Kalau Bunda overprotective dari opa.”

Diskusi mereka berlanjut ke perihal keluarga. Dua sosok manusia yang dibesarkan berbeda lalu dipertemukan dalam jalan perjuangan yang sama. Sayangnya, kita kerapkali takut dengan perbedaan calon pasangan yang malah menimbulkan keraguan. Padahal perbedaan itu adalah keniscayaan. Maka yang sebaiknya kita tanyakan adalah

“Siapkah aku dan kamu berjuang bersama nantinya?”

Bagaimana dengan membangun keluarga ideologis seperti halnya judul kelas ini? Pak E berpesan:

“Pertama, ideologis itu kan mulainya dari ide. Nah, keluarga ideologis itu dimulai dari membiasakan untuk menjembatani ide-ide. Jadi tidak ada kata “pokoknya gini.” Biasakan diskusi. Yang kedua, nilai-nilai itu harus dicari dan dicontohkan ke anak. Sehingga tahu apa yang boleh dan tidak boleh.”

Maka untukmu yang akan berkeluarga, coba tanyakan lagi pada diri. Sudah siapkah untuk terbuka satu sama lain mendikusikan suatu hal? Sudah adakah value yang kelak akan diturunkan dalam keluarga?

Banyak. Ada banyak pertanyaan lain bagimu yang akan berkeluarga. Maka persiapkan diri sebaik-baiknya.

“Pilihlah jodoh yang baik dengan cara yang benar.” (Bunda Tatty)

“Untuk mendapatkan jodoh yang terbaik, jadilah yang terbaik.” (Pak E)

Terima kasih Pak E.

Terima kasih Bunda.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *