Bersyukurlah menjadi bagian yang sedikit. Bagi sebagian besar orang, angka 100an itu bukan apa-apa. Tapi sedikit orang yang sudah mempersiapkan Ramadhan. Mereka yang mempersiapkan Ramadhan dari sekarang bukan distribusi normal di statistika. Maka, bersyukurlah.
(Ustadz Akmal Sjafril)
Pesan pembuka untuk mengawali kajian Ahlan School yang diinisiasi oleh @AhlanRamadhan.id. Ramadhan lalu di masa pandemi, komunitas ini mengadakan kajian menjelang berbuka puasa. Bahkan mereka berhasil bikin buku yang berjudul #AhlanInsights loh. Isinya tentang kumpulan insight kajian yang didapat selama kajian Ramadhan edisi pandemi. Mau pesan, silakan ke link ini.
Ramadhan berlalu, lantas apa lagi? Apakah ditunggu saja? Daripada menunggu yang bersifat pasif, kenapa kita tidak mempersiapkan yang bersifat aktif? Nah, hadirlah Ahlan School.
Kali ini menghadirkan Ustadz Akmal Sjafril sebagai pemateri. Di blog ini, sudah banyak insight kajian beliau yang saya tulis, Cari saja di kolom pencari “Akmal Sjafril”.
Baca juga: Dulu Jahat, Sekarang Taat (Insight Ahlan School)
***
Ramadhan sebagai olimpiade taqwa. Ada 4 kata dalam kalimat ini. Tapi mari kita bahas dua kata terakhir saja, olimpiade dan taqwa.
Taqwa = Tujuan
Jika ada kata taqwa dalam Al-Quran, maka berhati-hatilah. Waspadalah. Apalagi jika diawali dengan “hai orang-orang yang bertaqwa.” Kenapa? Karena ada pesan penting dalam ayat tersebut. Tentu, seluruh ayat Al-Quran begitu penting. Tapi mari kita simak ayat-ayat yang menggunakan kata taqwa.
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim. (QS Ali Imran : 102)
Berhati-hatilah dan pastikan diri bahwa jangan mati kecuali dalam keadaan Muslim. Begitu penting pesan ini.
Ada banyak ayat lain yang menggunakan kata taqwa Kamu bisa baca secara manual di Al-Quran atau bisa juga membaca ayat yang sudah dikumpulkan di blog berikut.
Jadi apa sih arti taqwa sebenarnya? Bukankah setiap khutbah Jumat selalu diulang-ulang kata dan seruan untuk bertaqwa?
Taqwa maknanya adalah takut. Jika seseorang bertakwa, dia akan takut kepada Allah. Takut bukan berarti ketakutan loh ya.
Ada perbedaan makna saat kita takut kepada manusia dan takut kepada Allah. Semakin takut kepada manusia, akan semakin jauh daripadanya. Tapi semakin takut kepada Allah, semakin dekat kita kepadanya.
Orang yang takut akan waspada, akan berhati-hati. Begitulah sederhananya ketaqwaan kita kepada Allah dibuktikan. Sudahkah kita berhati-hati dalam menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya?
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS Al-Baqarah : 183)
Dalam QS Al-Baqarah ayat 183 disampaikan bahwa output dari puasa Ramadhan adalah taqwa. Bukan hanya sebatas menahan lapar dan haus saja. Kalau hanya sebatas itu, anak kecil saja bisa. Tapi kita, bukanlah anak kecil lagi. Bahkan, sudah berapa tahun kita melewati puasa Ramadhan? Apakah outputnya dalam setiap tahun itu lagi – itu lagi? Tidak ada peningkatan sama sekali selain menahan lapar dan haus?
Manusia tidak sama dengan binatang. Dan puasa pun mengajarkan kita akan hal tersebut. Maksudnya?
Binatang jika lapar, maka dia akan makan. Jika haus, dia akan minum. Jika birahi, dia bisa berkelahi dengan lawan jenisnya. Bagaimana dengan manusia? Puasa harusnya bisa membedakan kita dengan sebaik-baiknya daripada binatang. Bahkan mohon maaf, banyak kelakuan yang binatang tidak lakukan, tapi manusia melakukan. Contohnya adalah homoseksual. Walaupun ada referensi yang menuliskan ada juga binatang yang menyukai sesama jenis, tentu tidak layak kita benarkan sebagai manusia. Karena secara fitrah, kita bukan binatang. Kita adalah manusia yang diciptakan Allah untuk tujuan mulia. Puasa adalah salah satu jalan untuk mewujudkan misi tersebut. Menjadi hamba yang bertaqwa.
Olimpiade = Cara
Teori bahwa output dari Ramadhan adalah menjadi hamba yan bertaqwa sudah kita ketahui sejak dulu. Tapi bagaimana cara mencapainya? Lihatlah Ramadhan sebagai olimpiade. Hah? Maksudnya gimana?
Mari kita ulang sejenak kenangan kita saat sekolah tingkat akhir. Saat ingin masuk perguruan tinggi, apa yang akan kita lakukan? Belajar semaksimal mungkin agar hasil di ujian bisa memuaskan. Saat ujian, apa yang kita lakukan? Bukan lagi belajar, tapi mengerjakan ujian.
Contoh lainnya.
Saat seorang atlet akan mengikuti pertandingan, tentu dia akan latihan dengan berbagai macam cara. Sepakbola misalkan. Latihan 5 kali dalam sepekan hanya untuk pertandingan 2 x 45 menit.
Ramadhan pun seperti itu. Ramadhan hanya berdurasi maksimal 30 hari. Tidak bisa serta merta kita tancap gas di hari pertama tanpa ada persiapan sebelumnya. Karena itulah pentingnya mempersiapkan Ramadhan sejak kini. Sejak Rajab dan Sya’ban. Bahkan jika bisa, kita siapkan sejak sekarang.
Ilustrasinya begini.
Jika di Rajab kita menggunakan gigi 3, maka di Sya’ban kita menggunakan di gigi 4. Awal Ramadhan, tancap gigi 5. Bahkan di 10 hari terakhir, gaspol lebih lagi. Tidak mungkin di Ramadhan bisa langsung tancap gas gigi 5 jika tidak ada persiapan sebelummya. Panaskan terlebih dahulu mesinnya.
Bagaimana dengan Syawal? Sewajarnya, Syawal memang masa kita beristirahat. Tapi bukan berarti jatuh sejatuh-jatuhnya.
Sekarang begini. Jika skor kita di Sya’ban adalah 4, Ramadhan tahun ini adalah 5, maka di bulan Syawal tidak masalah kita turunkan skor jadi 4.5. Tapi di Ramadhan tahun depan, kita tidak lagi memulai dari angka nol. Setidaknya di Sya’ban tahun depan kita mulai dengan skor 4,5, Ramadhan 5,5 dan Syawal 5. Terbayang ya? Grafik naik turun itu wajar. Tapi bukan berarti jatuh sejatuh-jatuhnya.
Tapi, mau bagaimanapun, Ramadhan bukanlah waktu kita untuk berkompetisi dengan orang lain. Ramadhan adalah sarana dan wadah kita untuk berkompetisi dengan hawa nafsu sendiri. Karena kalau kita fokusnya melihat orang lain, tidak jarang ada rasa minder bahkan merasa aman.
Melihat ibadah orang shalih yang bisa khatam Al-Quran sekian kali dalam sebulan sudah minder duluan. Lah kita, sekali aja udah syukur.
Melihat ibadah orang lain di Ramadhan malas-malasan, lah kita bisa lebih baik. Setidaknya ada baca Al-Quran, orang lain malas. Lah kita, merasa baik dan merasa aman.
Carilah rekor sendiri. Personal best, bukan other best. Bandingkan Ramadhan tahun ini dengan tahun lalu. Karena perbandingan terbaik dan teradil itu ya dengan diri sendiri. Apalagi setiap dari kita punya kondisi dan situasi berbeda kan?
Terakhir.
Mungkin ada di antara kita yang membaca tulisan ini merasa pengen banget untuk memanfaatkan Ramadhan sebaik-baiknya. Tapi karena pekerjaan, harus lembur sampai malam. Tarawih tidak dapat. Iktikaf 10 hari terakhir terabaikan. Lantas apa yang harus dilakukan?
Akui terlebih dahulu bahwa kondisi itu tidak ideal. Karena mau bagaimanapun, 10 hari terakhir adalah masa pertempuran akhir. Tidak layak rasanya kita menggadaikan waktu emas hanya untuk diskon baju lebaran. Bahkan untuk pekerjaan pun kita layak mengendorkan. Tapi ya gimana, kondisi kita tidak sama.
Kalau nggak optimal, ngomong sama Allah. Sama bos aja kalau gajinya gak pas, kan bisa nego. Kalau pas ibadah nggak optimal, pernah nggak nego sama Allah agar dimampukan untuk optimal?
Ngobrol sama Allah, minta solusi. Jangan dicari-cari dan dijadikan pembenaran. Allah itu bukan ATM yang hanya diminta saat butuh. Butuh interaksi sebagai bukti butuhnya kita sebagai hamba.
Niat memang mendahului amal, tapi jangan mereduksi niat “yaudahlah ya ya, kan udah niat.”
Sama bos saja komunikasi menjadi kunci untuk kinerja. Apalagi sama Allah, komunikasi jadi kunci untuk beribadah. Mintalah kepada Allah. Ngobrollah kepada Allah. Mintalah ketaatan agar diri yang lemah ini bisa memanfaatkan Ramadhan sebaik-baiknya. Kelak, Allah akan memberikan jawaban terbaik.
Selamat mempersiapkan olimpiade taqwa!