Menyimak kajian di pagi hari adalah hidayah yang mahal. Tapi sudahkah kita mensyukuri hidayah yang mahal tersebut? Atau karena sudah terbiasa, kita mengabaikannya begitu saja? Tidak lagi berharga.
Sebuah kalimat pengingat diri di pagi hari. Saat menyimak kajian Ahlan School yang menghadirkan Farah Qonita sebagai pemateri pagi. Dia pun menambahkan kalimat sederhana.
“Semoga Allah tambahkan ilmu kita.”
Bukan hanya ilmu saja yang bertambah seharusnya. Tapi juga ilmu yang bermanfaat. Karena ada begitu banyak orang yang bertambah ilmunya, tapi malah tinggi hati. Bahkan tidak sedikit yang bertambah ilmu tapi malah dengan narasi yang indah menjadi propaganda kemaksiatan. Ada banyak. Semoga Allah lindungi kita dari jebakan tersebut. Coba deh baca tulisan dari Risalah Amar ini.
***
Dulu jahat, sekarang taat. Sebuah harapan bagi kita tentunya. Pun kalau kamu yang dulunya merasa tidak jahat, alias sudah baik dari sononya, bukankah semakin taat adalah sebuah harapan?
Pernah jahat adalah sebuah kekeliruan. Bagi sebagian orang mungkin adalah aib. Tapi bukan berarti pernah jahat akan menjadikan kita selamanya jahat.
“Tapi dosaku banyak banget.”
“Teman-temanku udah pada menjauhiku semua.”
“Kelurgaku nggak mendukung untuk menjadikanku taat.”
Mungkin ada banyak alasan-alasan yang membenarkan kita menjadi jahat dan enggan menjadi taat. Tapi mari kita check up diri masing-masing. Selama ini referensi kita apa? Keburukan atau kebaikan? Atau bahkan keburukan yang dibalut begitu indah sehingga terlihat itulah kebenaran?
Selama ini mungkin yang kita lihat hanya oppa-oppa Korea. Atau menjadi fanboy atau fangirl dari boyband dan girlband yang kita sudah tahu cara berpakaian dan pergaulannya salah. Tapi karena mereka hadir saat diri ini down, maka merekalah yang menjadi referensi kita dan perlahan menjadi penguat -yang sebenarnya rapuh- bagi diri. Sebuah pembenaran akan selalu ada, “mereka ada baiknya juga kok.”
Mari check up diri masing-masing. Referensi kita sejauh ini apa? Keburukan atau kebaikan?
***
Pernahkah kita mengingat fase taat di masa lalu? Lalu pernahkah kita bersyukur atas pergerakan kecil menuju taat yang sudah kita lewati?
Setiap dari kita pasti pernah taat. Pernah dan istiqomah tentu dua hal yang berbeda. Maka saat kita pernah taat di masa lalu, adakah rasa rindu untuk kembali taat? Atau saat kita ingin menjadi taat, adakah rasa keinginan yang begitu kuat? Tapi sayang, rasa keinginan itu kalah dengan nafsu yang lebih dominan menguasai. Bisa jadi nafsu itu datang dari diri sendiri. Bisa jadi juga dari ajakan orang luar yang lebih kuat bisikannya daripada bisikan fitrah dalam diri.
Semandirinya diri kita, tidak ada makhluk yang independen tanpa bantuan Allah. Termasuk saat kita dulu pernah taat. Fase taat itu datangnya atas izin Allah. Maka wajarlah saat setiap memulai kajian, kita selalu diajak untuk bersyukur atas kenikmatan iman dan Islam. Ya, sebegitu berharganya. Maka saat kita ingin kembali atau memulai fase taat, maka mintalah kepada Allah.
“Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” (QS As-Sajadah : 9)
Setiap dari kita adalah anak dari ayah dan ibu. Ada gen ayah dan ibu. Bahkan sifat, karakter, potensi hingga hobi dari ayah dan ibu pasti ada dalam diri kita. Walaupun tidak sepenuhnya sama. Begitu pula diri kita yang ruhnya ditiup oleh Allah. Maka pasti ada aspek Rabbani dalam diri kita. Ada banyak potensi taat dalam diri kita. Tapi sayang sekali kita jarang untuk bersyukur atas apa yang Allah berikan. Kita menyia-nyiakan fase taat yang pernah dilewati. Atau bahkan kita mengabaikan rasa keinginan untuk menjadi taat.
Dari dulu, potensi taat itu sudah ada dalam diri kita. Tanpa mungkin disadari, kita telah bersaksi bahwa Allah adalah Tuhan sejak dulu. Tapi kini, mungkin kita sudah lupa atas kesaksian itu. Maka semoga tulisan ini menjadi pengingat bahwa kita pernah bersaksi. Atau buka kembali Al-Quran. Baca pelan-pelan ayat ini
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. (QS Al-Araf : 172)
***
Dulu, kita pernah taat. Dulu, kita sudah pernah bersaksi. Tapi dulu akan tetap menjadi kenangan jika kita tidak ingin berubah. Bahkan untuk menjadi taat pun kita diberikan pilihan oleh Allah.
Coba pelan-pelan maknai arti secara keseluruhan QS Al-Balad. Ada sebuah proses di mana kita diberikan pilihan. Dan pilihan untuk menjadi taat memang ada konsekuensi atas apa yang harus kita lakukan.
Atau coba buka QS Asy-Syams. Baca pelan-pelan. Tiga ayat dari keseluruhannya saja begitu berkesan.
“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS Asy-Syams 8-10)
Allah berikan dua potensi dan pilihan. Kefasikan atau ketakwaan. Maka jika ingin menjadi orang yang beruntung karena ketakwaaan, yang harus dilakukan bukan hanya memilih dan lepas begitu saja. Akan tetapi rutin mensucikan jiwa. Caranya? Coba saja cek aktivitas keseharian kita? Sudahkah banyak dengan referensi kebaikan, keburukan, atau keburukan yang dibalut begitu indah seolah-olah menjadi kebaikan dan kebenaran? Pertanyaan ini jawab saja jujur dari diri sendiri.
Masih ragu apakah jalan ini baik atau buruk? Coba deh cek diri sendiri. Saat melakukan suatu kesalahan, kita pasti merasakan ketidaknyamanan. Tahu kok ini salah. Ada yang berjuang keluar, ada yang memilih jalan kenyamanan karena dirasa menyenangkan. Tapi coba deh tanya pada diri sendiri. Pasti tetap ada kecenderungan untuk arah kebaikan.
***
Mari kita sejenak kembali ke sirah sahabat nabi. Sirah bukanlah kisah fiksi. Sirah adalah fakta yang harusnya bisa menjadi energi bagi kita.
Mungkin kita skeptis untuk menjadi taat karena referensi sejauh ini hanya itu-itu saja. Sosok yang mungkin menyebalkan sehingga enggan bagi diri untuk menjadi taat. Tapi coba deh baca beberapa kisah hikmah sahabat ini. Saya tidak perlu menceritakan panjang lebar tentang kisah mereka. Kamu bisa membacanya secara mandiri dari buku sirah atau tinggal mengetik namanya di Google. Tapi mari kita bahas sekilas saja.
Abu Sufyan. Karena ketokohan dan tahta yang dimiliki, dia malah menjadikannya sebagai senjata untuk memerangi Rasulullah. Ketokohan dan tahta membuat mata hatinya tertutup. Tapi beruntung, di akhir hayat menjadi taat dan membela Rasulullah.
Hindun binti Utbah. Oh, jangan ditanya. Dialah sosok yang memakan jantung paman Rasulullah, Hamzah bin Abdul Muthalib. Kurang jahat apa coba? Tapi siapa sangka, di akhir hayatnya pun mendapat hidayah Allah, menjadi taat dan pembela Rasulullah. Menariknya, Abu Sufyan dan Hindun binti Utbah adalah pasangan jahat menuju pasangan taat. Masyaallah.
Ikrimah bin Abu Jahal. Dari namanya saja kita sudah tahu siapa ayah beliau. Kurang jahat apa coba? Mungkin, karena faktor keluargalah yang membuat hatinya tertutupi menerima kebenaran yang Rasulullah sampaikan. Ayahya wafat di Perang Badar. Di Perang Uhud dia berhasil membalas dendam. Tapi siapa sangka di akhir hayatnya pun menjadi taat? Kalau kamu pernah mendengar kisah sahabat yang di masa kritis mendahulukan sahabatnya untuk meminum air karena saling mencintai, nah, beliaulah salah satunya.
Khalid bin Walid. Ah, sosok ini tidak perlu diragukan lagi. Dialah tokoh kunci di Perang Uhud yang memaksa pasukan Islam mundur. Saat mendapat hidayah Islam, jasanya luar biasa. Dari jahat menjadi dahsyat. Setiap perang dia menangkan. Ya begitulah sosok yang sudah tersentuh cahaya Islam. Dulunya begitu kuat memerangi Islam, saat taat begitu kuat membela Islam.
Wahsyi binti Harb Al Habsyi. Latar belakangnya memang yang paling berbeda. Bukan orang terpandang, tapi dosa dan penenbusan dosanya penuh akan hikmah. Budak dari Hindun yang membunuh Hamzah bin Abdul Muthalib. Dia melakukannya terpaksa, demi kemerdekaannya dari status hamba. Hingga suatu titik cahaya Islam menyentuh hatinya, dia pun bersyahadat dan melaporkannya kepada Rasulullah. Tentu ini sebuah kabar gembira. Tapi Rasulullah menghindari Wahsyi. Bukan karena Rasulullah membenci Wahsyi. Tapi karena begitu dalam kesedihan Rasululah saat mengingat kematian pamannya. Hingga di akhir hayat, dialah yang berhasil membunuh tokoh Islam dan musuh Islam dengan tombaknya. Ya, Musailamah Al-Kadzab seorang nabi palsu tewas dengan tombak Wahsyi.
***
Hidayah Allah memang tidak pilih-pilih orang. Selagi ada keinginan, pasti ada potensi jalan hidayah. Bentuk jalan hidayah dan perjuangan setiap dari kita pastinya berbeda. Coba deh maknai QS Al-Lail ayat 4-10.
Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. (QS Al-Lail : 4-10)
Usaha kita memang beda-beda, tidak usah dipaksakan sama. Adapun jika ada jalan kebaikan yang bisa kita ikuti, silakan jalani. Kadang memang butuh paksaan. Demi kebaikan, apa salahnya. Maka sepanjang perjalanan, jangan lupakan untuk berhusnuzan kepada Allah. Ingat kembali dengan Hadits Qudsi tentang “Aku berdasarkan prasangka hamba-Ku”. Hadits tersebut jika didalami, seharusnya bisa menjadi kunci bagi kita untuk selalu percaya akan jalan hidayah yang sedang diusahakan.
Seburuk apa pun diri kita dahulu dan kini, jangan putus asa. Sirah sahabat nabi adalah bukti. Teman-teman sekitarmu yang menjadi taat pun juga bukti. Seperti halnya Wahsyi yang begitu sedih dan takut untuk bertemu nabi karena telah membunuh paman nabi, QS Az-Zumar ayat 53 adalah salah satu asbabun nuzul untuk menghibur dirinya.
Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Az-Zumar : 53)
Ada satu lagi kunci dalam memaknai hidayah yang Allah berikan. Maknai sebuah peristiwa dengan logis dan keimanan. Maksudnya? Langsung ke contoh deh.
Di suatu malam, kamu capek sekali. Biasanya bisa bergadang sampai jam 12. Tapi malam itu, jam 9 kamu sudah ketiduran. Keesokan harinya, kamu bangun lebih pagi. Biasanya bangun jam 5. Eh tapi ini bangun jam 4. 1 jam lagi menuju subuh. Logis dong kalau tidur lebih awal efeknya akan bangun lebih awal. Tapi lihat juga peristiwa ini dengan kacamata iman. Bisa jadi, Allah membangunkanmu lebih awal agar kamu memulai kembali kebiasaan shalat tahajud yang sudah lama ditinggalkan.
Kamu mungkin memiliki banyak pengalaman unik lainnya. Pengalaman yang dengan kacamata logis masuk akal, tapi dengan kacamata iman hal tersebut begitu berkesan. Allah memberikan jalan kepada setiap hamba dengan cara yang berbeda.
Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). (QS Al-Baqarah : 269)
Hidayah itu tidak akan datang langsung tiba-tiba kepada kita. Harus ada anak tangga yang kita lewati. Memurnikan niat dan mensucikan hati jiwa menuju hidayah Allah dan istiqomah adalah tugas kita sepanjang hayat. Maka syukurilah setiap langkah yang kita jalani sekecil apa pun itu. Bersabar dan teruslah melangkah.
Ada banyak catatan kajian lagi yang sudah saya tuliskan di blog ini. Coba saja buka kategori Insight Kajian atau kategori lain yang relevan dengan kebutuhan. Semoga bisa jadi perantara kita menuju hidayah Allah ya.