“Kak, apa rasanya gagal di SNMPTN?”
Apa ya jawabannya. Jujur saja, saya tidak tahu. Karena memang, saya nggak pernah ikut SNMPTN saat puluhan teman seangkatan atau ribuan siswa lainnya berjuang untuk meraih kampus impiannya.
“Lah, lalu kamu masuk kuliah caranya gimana?”
NYOGOK.
Wow, enak aje.
***
Siapapun yang mengalami masa SMA, pasti pernah merasakan kegalauan dalam menentukan tujuan hidup. Mulai dari asmara hingga mau kuliah di mana. Karena saya anak yang “baik-baik”, jadi masalah asmara bukanlah kegalauan yang terlalu besar. Nggak tahu deh kalau ada yang galau karena saya ya. Ehm.
Tapi kalau pertanyaannya mau kuliah dimana? Nah, saya merasakan hal yang sama.
Semasa SMA, saya punya 4 opsi kuliah.
- Manajemen UI
- Psikologi UI
- Teknik Geologi ITB
- Teknik Geologi UPN
Alasannya apa?
Pilihan 1 dan 2, sejujurnya karena gengsi sih. Jaket kuning gitu loh. Apalagi saya dulu Ketua OSIS. Makin keren dong, Ketua OSIS, kuliah di UI. Tinggal gandengannya aja yang belum.
Tapi jurusan manajemen dan psikologi saya pilih karena saya suka di bidang itu sih. Itu jujur. Bacaan dan ketertartikan saya semasa SMA ya bidang itu.
Tapi semua pilihan berubah saat saya kenal dengan sosok yang inspiratif. Seorang senior yang meraih medali perunggu di Olimpiade Sains Nasional dan menembus pelatnas menuju internasional. Shaleh, baik, dan kuliah di ITB. So inspiring!
Hingga akhirnya, pilihan saya pun beralih ke teknik geologi. Alasannya? Pertama, karena tertipu “inspirasi semu.” Kedua, karena saya anak olimpiade kebumian (walaupun gagal di tingkat kabupaten selama 2 tahun berturut-turut). Ketiga, karena kata orang, kalau kuliah di teknik geologi dan kerja di perusahaan perminyakan atau sejenis, gajinya besar. See, alasan yang begitu polos.
Tapi saya sadar diri saat itu. Pelajaran eksakta saya banyak yang remedial. Apakah karena saya bodoh? Bukan. Karena saya malas belajar. Tidak punya ketertarikan di bidang akademik. Lalu bagaimana mungkin siswa yang malas belajar, nilai eksakta menyedihkan, lalu berjuang melawan ratusan siswa lain di ujian bernama SNMPTN? Di sini, realistis berperan.
Hingga akhirnya saya mencoba jalan lain yang tetap halal. Jika universitas negeri dirasa sulit untuk ditembus, universitas swasta dengan kualitas oke pun menjadi pilihan. Hingga akhirnya, atas berbagai pertimbangan saya pilih UPN Veteran Yogyakarta.
Saya masih ingat. Ada 3 tes yang saya ikuti.
Pertama, tes tertulis. Saya bersama 5 teman lain berangkat dari Pekanbaru ke Jogja untuk tes langsung. Bela-belain habis ongkos pesawat pulang pergi tapi hasilnya? Gagal. Bahkan saya tes hingga 5 kali! Entah saya yang bodoh atau gimana, kurang tahu deh.
Kedua, tes undangan. Ada 2 pilihan saat itu. Prestasi atau nilai. Saya memilih prestasi kepemudaan karena punya banyak pengalaman dan sertifikat. Satu teman saya memilih nilai dengan lampiran rapor. Hasilnya? Teman saya lulus, dan saya? Lagi-lagi gagal.
Ketiga, tes kerjasama perusahaan. Prosesnya? Saudara jauh saya ada kerja di perusahaan perminyakan dan menawarkan jalur kerjasama yang sah. Tapi hasilnya? Lagi-lagi gagal.
Apakah saya drop? Sejujurnya sih tidak Tapi ini malah jadi momentum bagi saya. Sebuah pertanyaan paling mendasar dalam kehidupan saya gali jawabannya.
Sebenarnya Kamu Mau Jadi Apa Sih?
Apakah saya kuliah di manajemen karena ingin jadi manajer?
Apakah memilih psikologi karena ingin jadi psikolog?
Tidak, karena saya memilih gengsi jaket kuning. Tapi uniknya, saya malah bisa jadi pembicara di UI.
Lalu, kenapa saya kuliah di teknik geologi? Apakah karena saya ingin jadi insinyur?
“ . . . karena kata orang, kalau kuliah di teknik geologi dan kerja di perusahaan perminyakan atau sejenis, gajinya besar.“
Paham kan, apa yang saya inginkan saat itu? Bukan tentang menjadi insinyur. Tapi ingin mendapatkan gaji yang besar. Pertanyaannya, apakah gaji besar hanya didapat dengan menjadi insinyur?
Akhirnya saya putuskan. Setahun lulus SMA, saya tidak kuliah. Sebuah keputusan yang tak disangka-sangka oleh orang di sekitar saya. Termasuk mama saya. Dan banyak orang yang salah kira. Mereka mengira saya tidak langsung kuliah karena drop ayah saya meninggal di hari pertama ujian nasional. Padahal tidak ada pengaruhnya.
Tentu saja keputusan ini tidak disetujui dengan mudah oleh mama saya. Tapi akhirnya, mam saya merestui. Kuncinya adalah :
- Diskusi dari hati ke hati
- Jelaskan ke orang tua, apa rencana yang akan dilakukan?
- Tujuan akhirnya mau kemana?
Nah, dalam tahap ini, banyak orang gagal. Tahu kenapa? Karena tidak ada 3 poin tadi. Si anak pengen “pokoknya aku pengen ini” dan orang tua menjawab “kamu belum tahu apa-apa. Papa lebih tahu yang terbaik untuk kamu.”
Lakukan 3 poin tadi, insya Allah ridho orang tua pun didapati.
***
Lalu apa yang saya lakukan selama 1 tahun di masa gap year?
- 6 bulan berkelana Jakarta
- 1 bulan di kampung halaman, jadi motivator
- 14 hari umroh
- 1 bulan di Daarut Tauhiid Bandung
- 1 bulan di Kampung Inggris, Pare
Dalam 1 paket, saya menyimpulkan kuliah di universitas kehidupan untuk menjadi Moslem Billionaire. Pengusaha, motivator, penulis. Itu pilihan saya kala itu.
Ohya, satu kunci yang harus dipegang saat memilih jalan yang berbeda adalah, jangan membandingkan diri dengan orang lain.
***
Di tahun berikutnya, saya kuliah secara formal. Mengambil jurusan bisnis manajemen. Perhatikan, bisnis manajemen loh, bukan manajemen.
Di masa-masa perkuliahan awal, saya merasa tidak nyaman karena perbedaan kultur budaya dan agama. Bahkan jujur saja, saya sempat ingin pindah dan cuti. Tapi keputusan itu tidak saya realisasikan. Hanya keinginan sekilas.
Saya hadapi, hayati, nikmati. Tentu saja dengan prinsip yang dipegang tadi, jangan membandingkan diri dengan orang lain. Karena setiap pilihan kita berbeda. Lantas bagaimana bisa membandingkan tenaga gajah dengan kemampuan ikan berenang. Tidak adil dong?
Perlahan saya mulai nyaman dan bergerak. Bisnis saya mulai jalan. Pilihan hidup saya pun semakin tercerahkan. Jika disimpulkan, prestasi standar tapi otentik yang saya dapatkan :
- Lulus 3.5 tahun cumlaude dengan “skripsi solusi” berjudul : Passionpreneurship, Konsep Entrepreneurship Mengubah Passion Menjadi Bisnis
- Presiden Legislatif kampus yang berhasil launching buku di akhir periode
- Bisnis berjalan dan berlanjut ke perusahaan yang lebih besar tanpa apply sana-sini
Kalau dikatakan apakah saya puas dengan pencapaian sekarang, saya memilih menjawab “saya bersyukur”. Karena sekali lagi, kalau membanding-bandingkan, kita tidak akan pernah puas.
Karena lihat saja, pasti ada :
- Yang nilai akademisnya lebih tinggi dibandingkan sekedar cumlaude 3.5 tahun
- Yang menjadi aktivis kampus dan relasi di sana-sini
- Yang bisnisnya punya omset lebih besar
Tapi saya bersyukur dengan pencapaian dan keunikan yang saya dapatkan. Skripsi solusi, buku di akhir periode, dan status “business owner”. Dan tentu saja, banyak syukur lain yang tak bisa saya tuliskan di sini.
Untukmu yang sekarang belum lulus SNMPTN, selow aja. Ingat, jalan itu ada banyak. Pertanyaannya, kamu udah berjalan atau belum?
“Alah, kamu cuma ngomong doang. Nggak ngerti apa yang kami rasakan.”
Yap, itu terserah kamu. Saya kan hanya bercerita. Sebagai penguat, saya akan tambahkan true story.
Cerita pertama.
Teman satu angkatan. Kami sekelas selama 10 tahun dari SD hingga SMA kelas 10. Kelas 11 dan 12 kami beda kelas. Prestasinya tidak perlu diragukan lagi. Bahkan pilihannya setelah lulus SMA adalah kuliah di Amerika.
Semua proses sudah dia urus. Tapi ternyata, ada kendala yang tidak bisa diselesaikan. Saya lupa detailnya seperti apa. Yang jelas, dia gagal kuliah di Amerika. Maka pilihannya di dalam negeri adalah kedokteran Universitas Indonesia. Tapi karena persiapannya tidak sematang yang lain (lebih berfokus pada Amerika), dia hanya mendapatkan pilihan kedua, Kesehatan masyarakat Universitas Indonesia. Tapi di tahun kedua, dia pindah ke kedokteran UGM kelas internasional.
Tapi kisah belum berakhir. Di semester awal-awal kuliah di UGM, ibunya meninggal dunia karena kanker payudara. Saya mengunjunginya dari rumah sakit, rumah duka, hingga pemakaman. Tapi dia?
Hampir saja dia tidak bisa melihat ibunya untuk terakhir kali. Dia bahkan hanya bisa melihat ibunya di rumah kampung, sebelum pemakaman. Sekarang, bayangkan jika dia kuliah di Amerika?
Cerita kedua.
Adik kelas 2 tahun di bawah. Di dream list yang digantungkan di langit-langit kelas, dia menuliskan IPB atau IPDN sebagai kampus impian. Dia berjuang untuk itu.
Saya tak tahu usaha detailnya seperti apa. Yang jelas, di akhir-akhir, dia hampir tidak mendapatkan itu semua. IPB gagal. Bahkan dia “hanya” kuliah Pekanbaru.
“Musibah” baginya belum berakhir. Ayahnya meninggal. Anak kampung, keluarga pas-pasan, lalu kuliah di IPDN. Mimpi yang terlalu tinggi. Begitulah tebakan orang-orang pada umumnya.
Tapi nyatanya? Dia berhasil lulus IPDN secara murni. Mau nyogok? Uang dari mana? Tapi bukan berari saya bilang orang yang lulus di sekolah kedinasan rentan uang belakang loh ya. Silakan cari tahu sendiri aja. Hikmahnya adalah, kalau jalan kita udah di sana, ya hambatan apapun, pasti Allah melancarkan.
Cerita ketiga.
Teman satu angkatan lagi. Masih ingat dengan teman yang lulus di UPN tadi? Saya dapat kabar, dia baru lulus per Januari kemarin. Berarti 2012-2017 akhir. Hitung aja berapa semester. Malah saya yang kuliah telat, lulus duluan. Terlepas dari faktor lain kenapa dia telat, itu urusan berbeda. Dan seperti halnya UI, saya bisa jadi pembicara di UPN. Hikmahnya, bukan seberapa cepat kamu memulai. Tapi bagaimana kamu menjalani pilihan yang kamu ambil.
Setiap orang punya jalannya masing-masing. Tugas kita adalah menjalani pilihan dengan sebaik-baik mungkin. Bukan membandingkan dengan orang di sebelah kiri atau kanan.
Jawab saja,
Sebenarnya kamu mau jadi apa sih?
Jawab dengan kejujuran hati. Bukan dengan nafsu sesaat. Bisa jadi yang kamu pilih adalah jalan, bukan tujuan akhir. Lihat lebih jauh ke depan.
Baca juga : Yakin Pengen S2? Jangan-jangan Hanya Ini yang Kamu Inginkan
Ada sebuah tips yang efektif dan ini sudah saya biasakan dalam memutuskan sebuah pilihan. Start with why. Urutannya, why – what – how.
Banyak orang yang salah melangkah. Mereka mulai dengan how. Contoh?
HOW : Bagaimana caranya kuliah di UI? Ikut bimbel
WHAT : Apa sih makna kuliah di UI? Akses pendidikan terbaik
WHY : Kenapa kuliah di UI? Nggak tahu. Keren aja.
Efek pilihan pertama, walaupun nyatanya dia lulus tapi performnya biasa-biasa aja.
Tapi jika dibalik.
WHY : Kenapa kuliah di UI? Saya ingin menjadi public figure yang memberikan pengaruh dengan prestasi
WHAT : Apa makna kuliah di UI? Relasi yang luas dengan kualitas oke.
HOW : Bagaimana caranya kuliah di UI? Belajar gigih, bikin life plan, bimbel dst.
Efek cara pikir kedua, walaupun dia tidak lulus, dia akan memperjuangkan WHY-nya. Karena yang paling penting bukanlah UI, tapi reason behind UI.
Start with why, you will find the way.
Saya sarankan deh, baca teorinya dan tonton videonya. Simon Sinek, start with why.
***
“Terus Rez, sekarang kamu jadi apa?”
Inspirational speaker, creative solver, passion writer.
Dan saya menikmati pilihan itu. What’s next? Kita lihat saja nanti.