Sudahkah Jujur Pada Diri Sendiri?

“Sore ini kosong kah? Jika berkenan, mau dijadiin host bareng Chairul Sinaga.

Seorang teman pengurus FIM Jakarta 2020 mengubungi saya untuk Ngabubulive sore ini. Dadakan memang. Tapi karena lagi lowong, saya terima saja. Beruntung bisa sekalian nyimak apa yang akan disampaikan. Judulnya selintas biasa saja, Tips Menghafal Quran.

Sore ini, saya “diarahkan” untuk menyimak diskusi seputar Quran. Kemarin sore, saya “memutuskan” untuk menyimak @AhlanRamadhan.id yang temanya juga hampir sama. Itu pun saya putuskan setelah membaca pesan tambahan di grup, bukan broadcast utama. Sebelumnya saya tidak meniatkan hadir. Walau hasilnya, saya tetap ikut dan menyimak.

Atas momen dua hari ini, saya bertanya pada diri sendiri. Apa pelajaran yang ingin Allah berikan?

***

Saya adalah tipe orang yang “bodo amat” saat memutuskan suatu hal. Asalkan saya tahu tujuan, maka jalan saja. Mau apa kata orang, ya biarkan. Bahkan walau hati berbisik ragu, saya tetap jalan saja. Karena seringkali ragu itu hadir bukan untuk mengingatkan, tapi malah menghambat. Tapi belakangan, entah kenapa saya jadi terpikirkan tentang hal sederhana. Kejujuran hati.

Saya teringat dengan tulisan tentang Mindfullness Writing. Tulisan itu awalnya hadir karena diskusi dengan seorang penulis lainnya. Tulisannya bagus. Tapi jika dibandingkan dengan saya, suara khasnya berbeda. Saya dengan tone yang lebih cepat dan (semoga) insightful, dia dengan tone lebih pelan dan kontemplatif. Kadang saya berpikir, apakah saya harus menulis seperti itu? Karena tulisan semacam itu lebih menyentuh. Asumsi saya begitu. Nyatanya tidak harus juga. Bukankah setiap tulisan punya penikmatnya sendiri dan setiap pembaca punya seleranya sendiri? Banyak penulis yang tidak pede dengan tulisannya ya karena itu. Coba deh baca Mindfullness Writing.

Kalau ingin melihat lebih jauh, setiap dari kita punya jalannya masing-masing untuk mencapai tujuan kecil yang berbeda tapi berujung sama. Yang penting Allah ridho. Begitu pula tulisan. Nggak masalah gaya tulisan kita beda. Toh ujungnya sama kan? Semoga saja.

Berbicara tentang kejujuran hati ini, saya suka sekali mengingatkan diri dengan pesan dari Ustadz Oemar Mitha yang juga sudah saya tulis di blog.

“Jika kamu benar-benar jujur dengan cita-cita akhiratmu, demi Allah tidak ada yang bisa membantumu kecuali Allah itu sendiri.”

Maksudnya?

Walaupun kamu terjatuh, lingkungan tidak mendukung, hambatan ada di mana-mana, kamu akan dikuatkan, dimampukan, dan diberikan jalan oleh Allah. Pertanyaannnya, sudahkah jujur dengan tujuan?

***

Cara masing-masing, tujuan kecil berbeda, tapi berujung sama.

Dua kelas di sore ini menarik untuk dimaknai. Kemarin di Ahlan Ramadhan dibawakan oleh Nusaibah Azzahra. Tadi di FIM Jakarta dibawakan oleh Chairul Sinaga. Saya tidak ingin membandingkan siapa yang lebih baik atau siapa yang hafalannya lebih banyak. Itu tidak terlalu penting. Tapi saya melihat, ada insight yang menarik.

Nusaibah Azzahra adalah perempuan. Moderatornya pun perempuan. Pembawannya lebih tenang dan menyentuh. Bagi sebagian orang mungkin nyaman. Saya? Sejujurnya nggak terlalu. Tapi tetap, ada banyak insight yang saya catat.

Chairul Sinaga adalah laki-laki. Moderatornya saya, laki-laki juga. Pembawaan kami lebih cair dan santuy. Saya pribadi nyaman. Insight pun banyak yang saya catat. Di diskusi itu, Chairul menyampaikan tentang 5 tips menghafal Quran, 4 tips murajaah, dan pilihan antara menambah hafalan atau mengulang hafalan. Saya tak tuliskan semuanya. Kalau mau versi utuh, minta ke dia saja. Atau kalau masih bisa, coba simak live IG @FIMJakarta maksimal hingga pukul 16.00 WIB 14 Mei 2020.

Anyway, saya tidak ingin mengatakan Chairul lebih baik dibandingkan Nusaibah loh ya. Ini hanya perihal nyaman. Dan nyaman tidak bisa disalahkan. Apalagi jika itu sama-sama mengandung kebaikan. Sama seperti gaya tulisan yang saya sampaikan sebelumnya. Yang salah itu kalau kamu nyaman, tapi cuma dianggap teman. Eh.

Ada satu pesan yang saya ingat kuat dari Chairul. Disampaikan terakhir, di nomor 5, pada tips menghafal Quran. Apa pesannya? Niat yang lurus.

***

Dulu sekitar usia 14-15 tahun, saya hafal juz 30. Bagi sebagian yang lain, ini mungkin biasa. Tapi bagi saya, ini sebuah prestasi sendiri karena saya tidak sekolah di pesantren. Dua kali lipat dari usia SMP, jumlah hafalan saya masih menyedihkan. Kenapa bisa? Karena dosa.

Jawaban klasik, tapi benar begitu adanya. Kita semua adalah pendosa. Ya, kita semua. Kamu yang membaca, apalagi saya yang menulis. Dosa dan aib kita hanya ditutup oleh Allah yang Maha Baik. Kalaulah aib kita dibuka, follower di social media pasti sudah unfollow. Bukankah kini kita terjebak dengan penilaian dunia maya?

Kita adalah pendosa. Tapi apa respon terbaik yang bisa kita berikan? Berputus asa atas rahmat Allah atau berharap kepada Allah agar semakin disayangi dan dipahamkan atas kasih sayang-Nya?

Berputus asa atas rahmat Allah mungkin tidak akan dilakukan. Tapi energi semacam itu sering kita rasakan. Contohnya di diskusi dengan seorang teman atas tulisan saya tentang Kegagalan Terbesar Seorang Muslim.

“Sometimes I wonder, apakah Allah masih berkenan mengampuni hambaNya yang nista ini dengan segala dosa-dosa yang pernah dilakukannya selama ini?”

“Meragukan kemurahan Allah atas ampunan-Nya?”

“Something like that”

“Menurutmu, Allah sayang kepadamu nggak?”

“Tanpa kasih sayang-Nya mungkin sudah binasa dari dunia ini.”

“Kalau kamu percaya Allah sayang ke kamu, gimana bisa kamu meragukan kemurahan Allah untuk memaafkan hamba-Nya?”

Seorang teman itu terdiam. Saya juga terdiam. Apakah seorang teman itu berputus asa atas rahmat Allah? Entahlah. Coba saja kamu rasakan energinya.

Bagaimana dengan berharap kasih sayang Allah?

Di suatu malam, saya menulis perenungan.

Selama ini kita MINTA kepada-nya agar disayangi. Memangnya SELAMA INI kita tidak disayangi? Bagaimana jika kita meminta agar DIPAHAMKAN dengan kasih sayang-nya? Bukankah dengan memahami, kita bisa BERSIKAP PANTAS dengan Dia yang Maha Menyayangi?

Bukankah selama ini Allah begitu sayang kepada kita? Kitanya saja yang belum paham dan bersikap tidak sepantasnya atas kasih sayang Allah. Betul?

Tentang kejujuran. Ini adalah perjalanan panjang.

Hal yang saya khawatirkan adalah saat saya tidak lagi berbuat baik hanya karena asumsi penilaian manusia dan bisikan keraguan diri. Maka benarlah pesan Ustadz Bachtiar Nasir yang saya dengar dari channel Youtube AQL Islamic Center:

“Perlu bagi kita untuk berdoa kepada Allah agar dilindungi dari kuasa diri sendiri. Karena kuasa diri sendiri tak jarang terselip bisikan setan. Karena itu, jangan sampai sedetik pun kita terlepas dari kuasa dan lindungan Allah. Berdoalah kepada Allah agar selalu dijaga.”

Tadabbur Ustadz Bachtiar Nasir atas Tafsir Al-Azhar Buya Hamka untuk Surah An-Naas

***

Pernahkah usahamu memperjuangkan sebuah nama kandas? Di saat yang sama, kamu sedang berbenah untuk lebih baik. Alhasil, kamu kecewa dan usahamu untuk menjadi lebih baik pun terhenti.

Pernahkah kamu menulis di dunia maya dengan niat awal yang “katanya” ingin bermanfaaat, menjadi tabungan amal, dan untuk Allah? Tapi saat kamu sudah menulis dan publish, ternyata yang like, comment, dan share sangat sedikit dibandingkan akun lain yang konetennya  biasa saja. Alhasil, kamu kecewa dan tidak lagi menulis.

Pernahkah kamu ingin lebih dekat dengan Quran karena niatnya agar ingin disayang Allah? Kamu pun menonton kajian dan memperbanyak bacaan. Tapi saat kamu berproses untuk lebih dekat, kamu tidak merasakan “keajaiban” yang seperti orang-orang katakan. Alhasil, kamu kecewa dan pendekatan dengan Quran menurun.

Di akhir Instagram Live, Chairul menyampaikan pesan yang dia tuliskan di blog.

“Jika engkau jujur KEPADA ALLAH, niscaya Allah akan jujur KEPADAMU.”  

(HR. An-Nasai)

“… Seandainya mereka benar dalam keimanan mereka kepada Allah dan ketaatan mereka kepada-Nya, niscaya itu lebih baik bagi mereka daripada kemunafikan dan kemaksiatan terhadap perintah-perintah Allah.

(QS. Muhammad: 21)

Apa-apa yang terjadi sehari dua hari ini hingga menghasilkan tulisan ini bukanlah sebuah kebetulan. Allah ingin mengajarkan saya atas hal yang amat mendasar dalam kehidupan. Kejujuran pada diri sendiri. Mungkin berlaku juga buat kamu yang membaca.

Jadi, sudahkah jujur pada diri sendiri?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *