The New Way of Writing – Insight Ideafest 2019

Mari mulai dengan pertanyaan sederhana. Menurutmu, apa definisi menulis?

Dalam sharing session, pertanyaan ini sering saya ajukan untuk meluruskan pendapat yang selama ini orang keliru. Penting untuk disampaikan. Karena dulu, saya sempat keliru mendefinisikan hingga akhirnya menunda bahkan antipati dengan menulis. Nah, dalam sharing session, saya sering memberikan clue berupa gambar ini.

Coba jawab dengan satu kalimat berdasarkan empat gambar tadi. Menurutmu, apa definisi menulis?

Bagi saya sederhana. Menulis adalah menuangkan pemikiran dan perasaan melalui tulisan. Maka selama kamu punya otak untuk berpikir dan hati untuk merasa, kamu pasti bisa menulis. Sesederhana itu. Bagaimana dengan kualitasnya? Bisa dan kualitas adalah dua hal yang berbeda. Mulai dari bisa, lalu dengan proses akan menjadi berkualitas. Percaya saja.

Writing for the angsty generation. Begitulah tema kelas kedua dari Ideafest yang saya pilih hari itu. Berdasarkan timeline, beberapa nama yang dipanggung adalah Belle Biarezky, R. Yuki Agriardi, Aldrian Risjad, Sahid Permana, Tommy Chandra, Lala Bohang, David Irianto, Fryza Pavitta. Saya tidak terlalu hafal dan paham detail. Saya masuk ke kelas saat sesi sudah berjalan. Di tengah kelas, ada telpon masuk. Saya keluar sebentar, dan sepertinya melewatkan satu sesi speech pembicara, Lala Bohang.

***

Iman Usman – Manfaatkan Q&A

Saat saya masuk, Iman Usman, Co-Founder RuangGuru sudah mulai bicara. Tidak banyak yang saya dengar. Tapi kata kunci yang saya ingat adalah memanfaatkan Q&A di social media.

Bagi kamu yang follow @ImanUsman dan baca bukunya Masih Belajar, tentu tidak asing dengan apa yang saya maksud. Ya, di social media dan bukunya, Iman Usman menjadikan tanya jawab sebagai tools baginya untuk menulis. Tentu, pertanyaan yang diajukan tidak random. Terkait bidang yang dia geluti. Dan jika Q&A itu dikumpulkan, bisa menjadi draft tulisan loh.

Nah, bagimu yang ingin menulis buku, gunakan deh cara ini. Simpelnya begini. Coba kamu explore #AskRezky di Instagram. Melalui tagar itu, saya memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan tentang kepenulisan. Ada lebih dari 50 sampai saat ini. Pertanyaan itu bisa menjadi arsip saat orang lain bertanya. Saya cukup memberikan link atau meminta yang bertanya untuk menelusuri #AskRezky Arsip ini bahkan menjadi salah satu buku yang akan saya terbitkan dalam tantangan #1Month1Book di 2019. Ya, insyaallah akan ada tambahan 12 buku yang saya terbitkan. Mohon doanya.

Cukup jelas ya. Kenali expertmu apa. Jawab pertanyaan di social media. Dan mulailah bercerita!

***

Yuki Agriardi – Bikin Aja Dulu, Nyusun Belakangan

Yuki Agriardi namanya. Siapa dia, kamu bisa googling di internet. Cukup sulit bagi saya untuk menjelaskannya karena baru inilah pertama kali saya bertemu. Singkatnya saya mendefinisian, Yuki adalah visual artist.

Berbeda dengan saya yang menulis, Yuki melukis. Tapi bukan berarti tidak ada yang bisa saya ambil dong ya. Pelajaran dan inspirasi bisa datang darimana saja.

“Saya melakukan terapi dengan menggambar 1 gambar per hari. Nggak mudah memang melakukannya setiap hari. Karena pasti ada fase nggak pengennya. Apa yang saya tulis, beragam. Drawing with many feelings. Nggak tahu gimana caranya nyusun jadi kesatuan utuh. Tapi bikin aja dulu, nyusunnya belakangan.”

Berbagai insight darinya saya kumpulkan menjadi kalimat barusan. Ya, baginya menggambar adalah terapi. Menarik sekali. Apalagi setiap hari kan ya. Kalau saya sih tantangannya tentu saja menulis. 30DWC adalah salah satunya. Melakukannya secara random, bukan masalah. Toh nanti bisa disusun belakangan. Tentu ada keuntungan tersendiri ketika sudah menyusun konsep dari awal. Tapi jika tidak punya konsep utuh bukan berarti menjadi alasan sekaligus pembenaran untuk menunda kan. Seperti kata Yuki. Bikin aja dulu, nyusunnya belakangan.

***

TB Putera – Mulai dari Recehan

Kamu tahu Zach King? Nah, di IG @TBPutera dia menyampaikan bahwa Zach King adalah salah satu fansnya yang berasal dari LA, Lenteng Agung. Haha.

Antara TB Putera dan Zach King punya persamaan. Content creator berbasis video. Ya, lebih kurang seperti itu. Jelasnya kamu bisa bandingkan sendiri karya mereka di dunia maya.

Saat pertanyaan tentang menulis buku dia ajukan, jawabannya menarik.

“Saya hanya mulai dari recehan di twitter.”

Kamu sudah dapat insightnya?

Jika selama ini kamu merasa masih berkarya yang recehan, it’s okay, bisa kok jadi buku. Riset aja dari postingan selama ini, ada yang suka? Kalau ada, jadikan deh buku. Apalagi bagi kamu yang sudah benar-benar berkarya dengan rapi. Pertanyaannya adalah, seberapa pede kamu untuk menjadikannya sebagai kesatuan karya berupa buku? Ya, itu tantangan bagimu.

***

Sahid Permana & Aldrian Risjad – Gagasan Musisi

Jika kamu penikmat musik indie, nama mereka seharusnya tidak asing. Seharusnya sih. Bagi saya yang tidak tahu banyak tentang musik, ya wajar saya tidak tahu. Saya tetap menyimak penyampaian mereka dan melanjutkan diskusi di belakang panggung.

Sun Eater. Simpelnya sih ini adalah label musik indie. Mohon diluruskan jika saya keliru.

Dalam websitenya, saya melihat ada lima artis indie. Dalam waktu dekat, Sun Eater akan menerbitkan buku mereka. Lebih dari satu. Sahid Permana dan Aldrian Risjad adalah salah duanya. Judul bukunya apa, saya belum bisa menjawab. Tunggu aja tanggal mainnya. Tapi yang menarik adalah kenapa musisi menulis buku? Apakah buku yang ditulis adalah chord gitar? Ya tentu tidak relevan lagi dengan zaman sekarang dong.

Sekali lagi saya harus menekankan, saya tidak paham banyak tentang dunia musik. Suara saya di tenor atau baritone aja tidak tahu. Atau malah di sofran dan alto? Nah kan bingung. Haha.

Sama dengan menulis sebenarnya. Musik adalah wadah untuk menyampaikan nilai. Nilai seperti apa yang akan disampaikan. Apakah kelak ada pembacanya jika menjadi buku, tentu saja ada. Bukunya seperti apa? Bukan chord gitar. Tapi filosofi dari lagu yang dibawakan oleh para musisi tersebut. Bisa jadi kenangan masa kecil. Pengalaman hidup paling berkesan.  Ya, setiap karya ada penikmatnya. Singkatnya lagi adalah, topik yang lebih spesifik dan mengakar.

Berkarya adalah wadah menyampaikan pesan. Maka jika kamu memiliki pesan kebaikan yang dipendam, jangan salahkan banyak pesan keburukan yang lebih didengar.

***

Tommy Chandra & David Irianto – Menuliskan Budaya Cina ala Anak Muda 

Dua nama ini baru saya kenali hari itu. Tidak banyak penjelasan tentang mereka saat sesi. Ya mereka lebih banyak bercerita tentang karyanya. Tapi kalau saya mesti memperkenalkan, maka saya mengulang saja pesannya saat di kelas.

“Hanya orang Cina yang boleh bilang Cina.”

Suasana kelas tertawa. Ya, mereka akan menulis tentang itu. Bikin karya tentang identitas “Cina” yang sesungguhnya. Bagaimana budaya Tionghoa peranakan. Termasuk istilah-istilah yang akar katanya selama ini kita tidak tahu. Cuan, soto, bakpau, ayo apa lagi?

Tentu, yang akan dituliskan bukan hanya buku teks biasa yang kerap membosankan. Infografis dan editorial akan menjadi senjata utama mereka. Yap, berkarya dan kolaborasi adalah kunci

***

Belle Biarezky & Fryza Pavitta – Konsultan Kreatif Kepenulisan

Simpul Group dan Pear Press adalah wadah tempat mereka berkarya. Karena belum mendapatkan banyak informasi di kelas, saya pun melanjutkan diskusi di belakang panggung dengan Fryza.

Kalau kamu melihat di belakang cover Masih Belajar bukunya Iman Usman, ada logo Pear Press. Ya, itulah wadah berkarya mereka. Story telling consultant? Lebih kurang seperti itu. Jika Pear Press produknya buku, Simpul Group karyanya adalah jasa untuk perusahaan. CMIIW. Silakan googling saja yak. Anyway, Pear Press bukan “hanya” penerbitan loh ya. Saya mendefinisikannya seperti konsultan kreatif kepenulisan. Ya, seperti yang saya jalani. Tentu, mereka lebih berpengalaman, Yap, PR untuk belajar lebih banyak.

Banyak insight untuk berkarya dengan passion saya dapatkan dari diskusi singkat dengan mereka. Ya bisa jadi, karya otentik seperti @BukuUntukIbu bisa kolaborasi kan?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *