Peran Umat Islam dalam Berdirinya Republik Indonesia

Review Kajian Ustadz Akmal Sjafril
Jumat, 23 Agustus 2019

Peradaban atau Bangunan?

Kenapa Indonesia negara mayoritas Islam tapi yang dipopulerkan adalah candi? Pertanyaan yang sensitif? Tunggu, jangan tersinggung dulu. Tapi ini sungguh layak untuk dipertanyakan. Bagaimana bisa?

Apakah benar candi-candi yang dipopulerkan itu adalah bukti ‘peradaban’ nusantara?

Mari kita lihat lebih luas. Kita ambil saja contoh bukti ‘peradaban’ terkenal seperti Piramida dan Colosseum? Mari tanyakan lagi, apakah benar itu bukti peradaban?

Peradaban kata dasarnya adalah adab. Adab sendiri menurut Prof. Naquib al-Attas adalah “pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan darjat, yang merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta.”

Maka akankah ada peradaban tanpa adanya adab? Piramida yang megah sejatinya dibuat sebagai kuburan para raja. Colosseum yang menjadi bentuk glorifikasi Romawi hadir sebagai tempat pertarungan manusia dan binatang. Maka pantaskah bangunan megah disebut peradaban? Peradaban batu, mungkin iya.

Konsep kita dalam menilai peradaban ini sangat penting. Karena jika tidak, akan mudah bagi kita untuk terperangah dengan penilaian yang keliru. Contoh paling menarik adalah Finlandia yang disebut-sebut dengan negara paling bahagia. Tapi kenapa bisa tingkat bunuh dirinya tinggi? Bahkan Indonesia yang ‘hanya’ menempati peringkat 90an sebagai negara paling bahagia tapi tingkat bunuh dirinya 5 kali lebih kecil dibandingkan Finlandia? Ada apa dengan Finlandia? Oh bukan, lebih tepatnya adalah ada yang keliru dengan bagaimana kita menjadikan suatu hal sebagai indikator. Termasuk indikator peradaban.

Maka layak kita pertanyakan lagi, apakah benar Angkor Wat yang ‘hilang’, Colesseum yang menjadi kandang tanding gladiator, dan Piramida yang menjadi kuburan para raja disebut sebagai bukti peradaban? Bukan, itu adalah bangunan.

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia memiliki Candi Borobudur yang digadang-gadang sebagai keajaiban dunia. Sah-sah saja jika kita berbangga. Tapi tunggu, ada sebuah fakta yang sengaja tidak diungkapkan. Fakta bahwa Candi Borobudur yang begitu megah itu hilang selama 800 tahun? Bukan hilang ditelan bumi tentunya. Tapi ditinggalkan oleh masyarakat setempat. Mungkin suatu hal yang wajar jika ditinggalkan oleh satu atau dua orang karena ingin berpindah tempat tinggal. Tapi apa sebab jika ditinggalkan secara kolektif, bukan secara pribadi? Tentu, patut kita bertanya.

Hingga akhirnya Candi Borobudur ditemukan oleh Raffles tahun 1814. Tapi jangan dikira bahwa bentuk Candi Borobudur sekarang adalah bentuk aslinya. Sudah berkali-kali dilakukan pemugaran.

Sekali lagi, mari kita bertanya, kenapa ditinggalkan?

Apa kaitannya dengan peran umat Islam dalam berdirinya Republik Indonesia?

Prolog ini sangat penting untuk disampaikan karena umat Islam tidak meninggalkan hal serupa seperti Piramida, Colosseum, ataupun Borobudur. Karena bukan itulah esensi dari peradaban. Lalu apa yang umat Islam berikan?

4 Peran Umat Islam dalam Kemerdekaan

Pertama, Watak Egalitarianisme

Islam mengubah tatanan masyarakat yang feodal menjadi egaliter. Yang awalnya berkasta-kasta menjadi sama rata. Ini bukan hal yang mudah. Dan Islam-lah yang menghadirkannya.

Majapahit adalah kerajaan Hindu. Tapi jangan dikira semua masyarakatnya beragama Hindu. Begitu pula dengan Sriwijaya sebagai kerajaan Budha maka masyarakatnya pasti beragama Budha. Tidak juga. Masyarakatnya tetap saja menganut animisme dan dinamisme. Sedangkan agama kerajaan hanya dianut oleh para bangsawan dan kasta tertentu. Agama elitis.

Lalu Islam datang. Dan Islam datang bukan top down, tapi bottom up. Disukai oleh masyarakat awam. Karena apa? Karena ada daya tarik, yaitu kesederhanaan. Ibadah tidak ribet.

Masjid yang sederhana adalah contohnya. Dibangun dengan gotong royong, dinikmati bersama. Saf terdepan bagi yang duluan datang, bukan bangsawan ataupun pejabat. Tidak ada juga keharusan membangun masjid yang mewah dan berlomba untuk tinggi-tinggi menara. Toh di dalamnya kita juga ‘merendah’ ke bumi untuk Yang Maha Tinggi kan? Pun jika ada masjid yang membangun tinggi menara tidak harus disalahkan. Itu hanyalah bentuk wujud keindahan, bukan keharusan.

Idul Adha kemarin, ada yang menarik. Dan biasanya ini akan terjadi berulang-ulang seolah tidak ada pembahasan lain. Barisan JIL berceloteh, “untuk apa kurban, lebih baik uangnya diberikan sebagai beasiswa.” Mereka menyerang, tapi lupa berkaca. Barisan JIL lupa dengan ajaran dinamisme dan animisme yang memberikan sesajen tiap hari dan tidak jelas diperuntukkan dengan siapa. Sedangkan Islam jelas, kurban sekali setahun diperuntukkan bagi saudara yang membutuhkan. Bukan hanya saudara seiman loh ya.

Kedua, Rasionalitas dan Bahasa

Bahasa daerah yang dikenal adalah huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Tapi apakah semua masyarakat menggunakan bahasa itu? Tidak juga. Yang menggunakan hanya bangsawan saja. Bahkan banyak kitab-kitab seperti karangan Mpu Tantular bukanlah fakta, tapi budaya. Kitab yang dibuat untuk memuji raja-raja. Apakah mungkin sastrawan kerajaan mengkritisi para raja? Tidak mungkin. Bisa hilang dia keesokan harinya. Maka kitab karangan sastarawan hanya budaya, bukan fakta. Kitab hanyalah kajian para arkelog, bukan kajian para sejarawan.

Hindu dan Budha yang datang dari luar tidak mengakar ke masyarakat. Tidak membawa serta filsafatnya. Faktanya Hindu dari India tidak sama dengan Hindu di Bali.

Bagaimana dengan Islam? Islam datang dengan membawa tulisan dan ilmu, beserta falsafahnya. Bahasa yang dibawa pun mengakar ke masyarakat. Banyak bahasa daerah yang pernah ditulis dengan bahasa Arab. Abjad Jawi dan tulisan Arab Melayu misalkan. Adapun huruf Pallawa tidak digunakan untuk bahasa daerah.

Di daerah tertentu, bahkan ada kurikulum yang mewajibkan untuk belajar Arab Melayu. Saya yang dulunya semasa SD belajar Arab Melayu tapi kini tidak pernah lagi, sampai sekarang pun masih bisa membaca dengan baik. Dan itu bukan hanya saya. Sebagian besar masyarakat Riau bisa membaca Al-quran, biasanya bisa membaca Arab Melayu.

Bahasa menunjukkan logika. Beda bahasa kadang-kadang beda logika. Bisa saja bahasanya beda kosa katanya, tapi logikanya sama.

Kita ambil contoh logika orang feminis. Alasan yang sering diangkat sehingga tidak menutup aurat adalah karena mereka tidak malu. Untuk apa malu membuka aurat. Maka dalam logika mereka, malu adalah sesuatu yang jelek. Sedangkan dalam Islam, malu adalah sebuah kebaikan. Katanya sama, tapi logikanya beda.

Itulah logika barat. Dalam barat, malu adalah shame, embarrase. Dan itu berkonotasi negatif semua. Atau setidaknya menggunakan kata shy. Tapi dalam bahasa Indonesia, malu adalah suatu hal baik. Karena apa? Karena kita menggunakan logika Islam. Dalam Islam, malu bukanlah hal yang jelek.

Kita harus sensitif dengan kata. Apalagi jika berhadapan dengan ghazwul fikr. Karena mereka akan mengubah logika kata itu sendiri.

Itulah hebatnya Islam. Datang dengan falsafahnya. Bukan hanya bahasa saja. Cara berpikirnya diubah. Beda dengan Hindu dan Budha yang hanya kebudayaan saja.

Ketiga, Ghirah dan Perjuangan

Dalam agama Kristen, Tuhan Bapa menciptakan manusia lalu menyesal. Apa efeknya pada jiwa manusia? Merasa hina.

Sedangkan dalam Islam Allah menciptakan manusia sebagai khalifah. Sebagai wakil Allah di dunia. Bahkan Allah pun membela manusia di depan malaikat. Coba saja tadaburi QS Al-Baqarah 30. Kira-kira wakil Allah di dunia adalah hina atau mulia?

Kenapa Islam banyak aturan? Pakai baju kanan dulu. Masuk kamar mandi kaki kiri dulu, keluar eh kanan dulu. Kok repot banget?

Jawaban yang sederhana saja. Yang banyak protokoler itu bangsawan atau rakyat jelata? Maka dalam Islam, manusia diatur dan dimuliakan.

Bagaimana kita mendefinisikan diri kita, maka di situlah letak ghirah kita. Ghirah menurut Buya Hamka adalah cemburu. Terutama cemburu dalam beragama. Selera kita bukan lagi hal remeh temeh. Tapi apa yang Allah suka. Dan cara pikir seperti ini akan hadir jika kita benar dalam memahami konsep adab yang disebutkan tadi.

Seringkali kita dicekcoki dengan ucapan melestarikan tradisi nenek moyang. Tapi tradisi yang seperti apa? Menyembah batu? Islam hadir dengan membawa tauhid. Seleranya sudah tinggi. Maka suatu hal yang aneh jika zaman now tapi masih saja membawa embel-embel ajaran nenek moyang. Bayangkan saja jika nenek moyang hadir sekarang tapi kita masih saja seperti dahulu. Malu mereka.

Nenek moyang yang baik, adalah nenek yang tidak mau, kita, cucunya mengikuti jejaknya. Nenek moyang menginginkan cucunya lebih baik dari dia. Maka jika dulu sudah menyembah batu, ya masa sekarang juga masih begitu?

Selera yang tinggi, ghirah yang kuat ini menjadi ancaman serius bagi penjajah. Segala cara dilakukan untuk melawan umat Islam. Disekulerkan, dilemahkan. Karena jika agamanya lemah, maka ghirahnya lemah.

Contoh logika keliru lain adalah tentang iman yang kuat adalah tenang-tenang saja walaupun berada di lingkungan yang buruk. Mereka berucap, “iman saya kuat, tidak akan terpengaruh.”

Padahal Islam mengajarkan jika ada kemungkaran lawan dengan tangan, atau lawan dengan ucapan, dan selemah-lemahnya adalah perlawanan dengan hati. Iman kuat harusnya bergerak, bukan diam saja.

Keempat, Menjadikan Indonesia Sebagai Warga Dunia

Sebelum bicara dunia, maka bicara terlebih dahulu tentang nasional. Dan Islam melewati fase itu. Dulu sebelum Kongres Pemuda banyak kelompok dari berbagai daerah. Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Celebes, dan masih banyak lagi. Tapi ada yang ‘aneh’. Ada yang namanya Jong Islamieten Bond.

Cikal bakal berdirinya Jong Islamieten Bond ini bermula dari tokoh Jong Java yang curhat kepada tokoh Sumatera, KH Agus Salim. Dia mengatakan di Jong Java Islam tidak diakomodir. Lalu hadirlah Jong Islamieten Bond. Nah, curhat hal ini saja sudah menarik. Karena dengan hadirnya Islam hilang batasan kedaerahan menjadi lebih luas.

Dan hebatnya Jong Islamieten Bond, 4 tahun setelah Kongres Pemuda Kedua mereka sudah membantu Palestina. Melakukan aksi untuk Palestina. Mengirimkan bantuan ke Palestina. Menjadi warga dunia. Indonesia belum ada loh saat itu. Indonesia baru ada tahun 1945.

Indonesia belum ada, tapi sudah dukung Palestina. Ketika Indonesia merdeka duluan, Palestina memberi dukungan duluan. Lalu sekarang, nggak dukung Palestina dengan berbagai pembenaran, sebutan apa yang cocok ntuk kita? Jangan buat nenek moyang kita malu.

1934 ada peristiwa menarik. Sumpah Pemuda Keturunan Arab.  Di Sumpah Pemuda Keturunan Arab tersebut mereka bersumpah bahwa tanah airnya adalah Indonesia. Oleh karena itu, keturunan Arab harus melaksanakan kewajibannya sebagai orang Indonesia. Padahal Indonesia belum ada.  

Perlu diketahui, dulu Belanda membuat 5 kasta. Keturunan Belanda, orang Eropa bukan Belanda, keturunan China, keturunan Arab, dan warga pribumi.

3 hal yang menarik dari momen Sumpah Pemuda Keturunan Arab. Pertama, Indonesia belum ada tapi mereka bersumpah tanah airnya adalah Indonesia. Kedua, mereka mengadakan kongres dalam masa-masa yang terancam untuk turut membantu pribumi. Karena usai Sumpah Pemuda 1928 Belanda memperketat pengawasan, tapi mereka tetap melaksanakan. Dan ketiga, mereka menolak untuk diistemewakan oleh Belanda. Alasannya apa? Karena Islam.

Islam telah memperluas pandangan bangsa, mempersatukan bangsa, dan membawa Indonesia ke persaudaraan global. (Ustadz Akmal Sjafril)

***

Ada yang berargumen bahwa yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia bukan hanya Islam. Tapi jangan menafikan peran dan perjuangan Islam. Karena faktanya ada upaya untuk mengaburkan peran Islam. Sebagai umat Islam kita wajib mengetahui sejarah ini agar tidak inferior dengan argumen-argumen seperti tadi.

***

Kajian ini dilaksanakan pada hari Jumat, 23 Agustus 2019 di AQL Islamic Center. Video lengkap bisa ditonton di channel Youtube AQL Islamic Center atau klik link berikut

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *